Empat terdakwa kasus dugaan makar di Sorong, Papua Barat Daya, mengaku hanya melaksanakan perintah dari Presiden Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB). Mereka menegaskan tidak ikut terlibat dalam perumusannya.
Pengakuan itu disampaikan Terdakwa Abraham Goram Gaman ketika membacakan nota keberatan atau eksepsi dalam persidangan yang digelar di Ruang Arifin A Tumpa, Pengadilan Negeri (PN) Makassar Senin (15/9/2025). Abraham menjalani sidang bersama Terdakwa Piter Robaha, sementara dua terdakwa lainnya yakni Nikson May dan Maksi Sangkek menjalani sidang bersama.
“Kami berempat orang ini hanya melaksanakan perintah Presiden NFRPB. Sedangkan mengenai hal ikhwal tentang NFRPB telah diuraikan atau dijelaskan dalam dokumen yang telah kami serahkan kepada pihak penyidik Polresta Sorong, kami berempat tidak terlibat di dalam proses penyusunannya,” ujar Abraham membacakan nota keberatannya dalam persidangan.
Abraham mengaku diperintahkan untuk menyampaikan surat yang berisikan tentang perundingan damai antara NKRI dan NFRPB kepada Presiden RI Prabowo Subianto. Hal itu dimaksudkan untuk menyikapi politik identitas yang telah berlangsung sekitar 60 tahun di Papua Barat.
“(Surat disampaikan) dengan cara yang damai dan bermartabat, yang pemberitahuannya juga disampaikan kepada pemerintah daerah di seluruh Papua Barat atau tanah Papua,” jelasnya.
Dia turut menyoroti persoalan video yang disebut dalam dakwaan Jaksa Penuntur Umum (JPU) mengandung ujaran kebencian atau permusuhan berdasarkan perbedaan ras, suku, kebangsaan, dan golongan tertentu. Dia menegaskan hal tersebut tidak benar.
“(Dalam video itu) Kami hanya memberitahukan proses pengantaran Surat Presiden NFRPB dan menyatakan harapan biarlah semua yang dilakukan terjadi menurut kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa untuk mendatangkan damai sejahtera bagi semua orang di tanah Papua,” paparnya.
“Dan semua yang kami lakukan adalah atas perintah Presiden NFRPB, Yang Mulia Yaboisembut, bukan inisiatif kami,” sambung Abraham.
Abraham menyatakan menolak dakwaan JPU yang menyebut keempat terdakwa melakukan makar atau permufakatan jahat untuk memisahkan diri dari NKRI atau membentuk negara dengan pemerintahan sendiri. Pasalnya berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar pada 1949, wilayah kedaulatan NKRI hanya meliputi wilayah mantan kolonial Hindia Belanda.
“Bahwa Papua tidak dimasukkan dalam wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS). Sehingga parlemen Belanda pada tahun 1951 telah menaikkan status politik dan hukum Papua Barat menjadi satu provinsi seberang lautan di bawah pengawasan dari kerajaan Belanda dengan nama Nederlands Niew Guinea (Papua Belanda),” terangnya.
Diketahui, empat anggota NFRPB didakwa melakukan makar dengan maksud memisahkan Papua Barat dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perbuatan keempat terdakwa disebut melanggar Pasal 110 ayat 1 KUHP juncto Pasal 106 KUHPidana pada dakwaan kesatu.
Kemudian pada dakwaan kedua, perbuatan para terdakwa diatur dalam Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Para terdakwa juga dikenakan Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 53 KUHPidana juncto Pasal 87 KUHPidana.