Adik Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla (JK), yang bernama Halim Kalla ditetapkan tersangka kasus dugaan korupsi Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 di Mempawah, Kalimantan Barat (Kalbar). Proyek ini sebelumnya mangkrak sejak dibangun pada awal 2008.
Dilansir infoNews, total ada empat tersangka dalam kasus ini. Selain Halim Kalla (HK) selaku Presiden Direktur PT BRN, juga ada Dirut PLN 2008-2009 Fahmi Mochtar (FM).
Sementara dua lainnya yakni RR selaku Dirut PT BRN, dan HYL selaku PT Praba. Para tersangka belum ditahan.
“Setelah berjalannya kemarin tanggal 3 Oktober, kami tetapkan sebagai tersangka melalui mekanisme gelar,” kata Kakortas Tipikor Polri, Irjen Cahyono Wibowo, dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Senin (6/10).
Dirangkum infocom, berikut fakta-fakta Halim Kalla dkk ditetapkan tersangka kasus korupsi:
Perkara ini mulanya ditangani penyidik Polda Kalbar sejak 7 April 2021. Kasus kemudian diambil alih Kortas Tipikor Bareskrim Polri pada Mei 2024.
Kasus dugaan korupsi ini diduga terjadi sejak tahun 2008 hingga 2018. Proyek tersebut tidak selesai alias mangkrak karena fee atau biaya secara tidak sah kepada pihak tertentu yang tidak memenuhi syarat dalam lelang.
“Adapun modus terjadinya tindak pidana korupsi di mana di dalam prosesnya itu dari awal perencanaan ini sudah terjadi korespondensi. Artinya ada permufakatan di dalam rangka memenangkan pelaksanaan pekerjaan, setelah dilakukan kontrak, kemudian ada pengaturan-pengaturan sehingga ini terjadi keterlambatan yang mengakibatkan sampai dengan tahun 2018 itu sejak tahun 2008 sampai 2018 itu diadendum,” ujar Cahyono.
“Nah, kemudian akibat dari pekerjaan itu ini pembangunannya mangkrak sampai dengan saat ini dan sudah dinyatakan total loss oleh BPK,” lanjutnya.
Direktur Penindakan Kortas Tipikor Bareskrim Polri, Brigjen Toto Suharyanto, mengatakan ia telah memeriksa puluhan saksi. Ia kemudian mengungkap kongkalikong antara Fahmi Mochtar dan Halim Kalla.
“Mens rea yang dibangun adalah pelaksanaan lelang tersebut didapat fakta tersangka FM selaku Dirut PLN telah melakukan permufakatan untuk memenangkan salah satu calon dengan tersangka HK dan tersangka RR selaku pihak PT BRN dengan tujuan untuk memenangkan lelang PLTU 1 Kalimantan Barat,” kata Toto.
Toto mengatakan KSO PT BRN dan Alton diduga lolos atas arahan FM. Padahal, menurut dia, perusahaan itu tidak memiliki syarat teknis dan administrasi.
“Tersangka FM telah meloloskan dan memenangkan KSO BRN, Alton dan OJSC meskipun tidak memiliki syarat teknis maupun administrasi. Selain itu, diduga kuat bahwa perusahaan Alton, UGSC tidak tergabung dalam KSO yang dibentuk dan dikepalai oleh PT BRN,” ujarnya.
KSO BRN kemudian diduga mengalihkan seluruh pekerjaan kepada PT Praba Indopersada pada tahun 2009. Polisi menduga ada pemberian fee kepada KSO BRN oleh HYL selaku Direktur PT Praba Indopersasa.
“Pada tahun 2009, sebelum dilaksanakan penandatanganan kontrak, KSO BRN telah mengalihkan seluruh pekerjaan kepada PT Praba Indopersada dengan dirut tersangka HYL dengan kesepakatan pemberian imbalan fee Kepada PT BRN selanjutnya TSK HYL diberi hak sebagai pemegang keuangan KSO BRN,” jelasnya.
Toto menyebutkan PT Praba juga tidak memiliki kapasitas untuk mengerjakan proyek tersebut. FM dan RR melakukan penandatanganan kontrak dengna nilai Rp 1,2 triliun dan tanggal efektif kontrak 28 Desember 2009 dengan masa penyelesaian sampai 28 Februari 2012.
“Pada tanggal 11 Juni 2009 dilakukan penandatanganan kontrak oleh tersangka FM selaku dirut PLN dengan tersangka RR selaku dirut PT BRN dengan nilai kontrak USD 80.848.341 dan USD 507.424.168.000 sekian atau total kurs saat itu Rp 1,254 triliun saat itu,” kata Toto.
Pada akhirnya, perusahaan yang menenangkan proyek hanya melakukan 57 pekerjaan. Proyek tak selesai meski ada 10 kali perubahan kontrak.
“Pada akhir kontrak KSO BRN maupun PT Praba Indopersada baru menyelesaikan 57 pekerjaan. Kemudian telah dilakukan beberapa kali amandemen sebanyak 10 kali dan terakhir 31 Desember 2018,” tuturnya.
Proyek disebut berhenti karena alasan ketidakmampuan keuangan PLN. Namun, menurut polisi, proyek telah berhenti sejak 2016 dan ada pembayaran proyek ke para tersangka dengan cara tidak sah.
“Akan tetapi fakta sebenarnya pekerjaan telah terhenti sejak 2016 dengan hasil pekerjaan 85,56 persen sehingga PT KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp 323 miliar (untuk pekerjaan konstruksi sipil) dan sebesar USD 62,4 juta (untuk pekerjaan mechanical electrical),” ujarnya.
Kerugian negara akibat proyek ini yang ditaksir mencapai lebih dari USD 62 juta atau Rp 1,3 triliun. Jumlah itu, menurut Toto, berasal dari perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Kemudian, kita juga telah menerima laporan hasil pemeriksaan investigatif kompensasi kerugian negara dari BPK terkait dengan pembangunan pembangkit listrik atau PLTU-1 Kalimantan Barat dengan kapasitas 2×50 megawatt. Kemudian, dari BPK, tadi sudah disampaikan oleh Bapak Kortas, kerugian negara adalah total kerugian senilai USD 62.410.523,20 dan Rp Rp 323.199.898.518. Kira-kira Rp 1,3 triliun,” ucapnya.
Keempat tersangka belum ditahan. Keempatnya akan diproses untuk dicegah ke luar negeri.
“Ada pasti (dicegah ke luar negeri), itu pasti ada, tindakan itu pasti ada,” kata Cahyono.
Cahyono menambahkan, pihaknya sudah meminta Imigrasi mencegah keempat tersangka bepergian ke luar negeri. “Jadi simultan nanti. Pada saat penetapan tersangka tim kami juga sudah akan mengeluarkan pencegahan bepergian keluar negeri,” imbuhnya.
Selain tindak korupsi, Bareskrim Polri juga mengusut dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Tersangka yang dikenakan TPPU akan segera diumumkan.
“Jadi kami nanti ada akan rilis kembali ya, terkait pihak yang akan kita tetapkan kemudian, dengan dilapisi pasal TPPU-nya,” sambung Cahyono.