7 Cerita Rakyat Toraja yang Penuh Pesan Moral dan Sarat Nilai Kehidupan

Posted on

Toraja dikenal bukan hanya lewat keindahan alam dan upacara adatnya yang unik, namun juga melalui cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun. Kisah-kisah ini sarat akan pesan moral, nilai kehidupan, serta kearifan lokal yang masih relevan untuk dipelajari.

Beberapa yang paling terkenal di antaranya adalah legenda Puang Lakipadada, kisah La Dana dan Kerbaunya, cerita Tunaqna Eran di Langiq, Landorundun, dan Datunna Ulaq Sitammu Tedong. Cerita-cerita rakyat ini tidak hanya menghibur, tetapi juga berfungsi sebagai sarana pendidikan bagi generasi muda Toraja.

Melalui kisah-kisah tersebut, nilai-nilai luhur seperti kejujuran, kecerdikan, hingga rasa hormat terhadap kepada orang tua terus dilestarikan. Nah, berikut kumpulan cerita rakyat Toraja yang penuh pesan moral dan sarat akan nilai kehidupan.

Simak kumpulan kisah di bawah ini!

Dikisahkan pada zaman dahulu, manusia masih bisa berhubungan langsung dengan Tuhan melalui sebuah tangga suci yang disebut Eran di Langi’. Dari langit tersebut, turunlah seseorang yang disebut Tomanutung.

Dia bernama Puang Tamboro Langi’ yang menjadi raja pertama yang memerintah di Kapuangan Kalindo Bulanan Lepongan Bulan. Di Bumi, dia menikahi Sandabilik, seorang perempuan dari Sungai Sa’dan di Sapan Deata.

Dari pernikahan itu lahirlah beberapa anak yaitu Puang Papai Langi’, Puang Messok, Sanda Boro, serta Puang Membali Buntu. Salah satu anaknya yaitu Sanda Boro kemudian menikah dengan seorang putri bernama Puang Bu’tui Pattung yang dikenal juga sebagai Ae’ Gading dari Batu Borrong.

Pernikahan Sanda Boro dan Ae’ Gading kemudian melahikan seorang tokoh besar bernama Puang Lakipadada. Semasa hidupnya, Lakipadada harus menghadapi kenyataan pahit.

Satu per satu orang yang dicintainya meninggal dunia, mulai dari saudara perempuannya, ibunya, hingga para pengawal dan pelayannya. Kematian yang berulang-ulang ini menimbulkan ketakutan mendalam dalam dirinya.

Ia pun mulai menyadari bahwa tidak ada manusia yang bisa lepas dari kematian. Karena itulah Lakipadada bertekad mencari mustika Pedampi Tang Mate, sebuah benda sakti yang diyakini mampu memberikan kehidupan kekal.

Perjalanannya penuh dengan rintangan dan ujian, hingga akhirnya ia terdampar di wilayah Gowa. Namun, usahanya tetap tidak membuahkan hasil sehingga pada akhirnya, Lakipadada pun mengalami kematian sebagaimana manusia lainnya.

Dari kisah ini, manusia diajarkan bahwa kehidupan dan kematian sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Manusia hanyalah ciptaan yang harus menyadari keterbatasannya dan hidup bukan untuk menuruti kehendak sendiri, melainkan dalam bimbingan Sang Pencipta.

Kisah Puang Lakipadada memberi teladan agar setiap orang belajar menerima takdir serta menata hidup sesuai nilai-nilai ilahi.

Sumber: Jurnal Institut Agama Kristen Negeri Toraja berjudul “Kajian Pedagogis Makna Cerita Rakyat Lakipadada dan Implikasi terhadap Pendidikan Agama Kristen dalam Keluarga di Gunung Kandora Lembang Palipu Kecamatan Mengkendek Kabupaten Tana Toraja”

La Dana merupakan seorang anak petani yang memiliki kepandaian dan kecerdikan. Kelebihan yang dimiliki oleh La Dana berupa kepandaian dan kecerdikan sering kali tidak digunakan pada hal-hal yang baik, justru digunakan untuk menipu orang lain.

Pada suatu hari, La Dana Bersama temannya diundang untuk menghadiri upacara adat pemakaman di Tanah Toraja. Pelaksanaan upacara adat di Tanah Toraja yang melaksanakan proses pemotongan hewan kerbau dengan tujuan untuk dimakan secara bersama-sama dan dibagikan kepada para tamu.

La Dana dan temannya sebagai tamu pada upacara adat tersebut juga mendapatkan daging kerbau. La Dana mendapatkan bagian kaki belakang kerbau sedangkan temannya mendapatkan seluruh bagian kerbau kecuali bagian kakinya. Hal tersebut membuat La Dana cemburu kepada temannya yang mendapatkan bagian lebih banyak.

La Dana mencoba menggunakan kepandaian dan kecerdikan yang dimilikinya untuk memikirkan cara agar dia mendapatkan bagian daging kerbau yang lebih banyak dari temannya. Akhirnya La Dana menyarankan kepada temannya untuk menggabungkan seluruh jatah daging kerbau mereka. Ia berpendapat bahwa seluruh daging kerbau yang terkumpul bisa ditukarkan dengan seekor kerbau yang masih hidup.

La Dana mencoba meyakinkan kepada temannya bahwa kerbau yang mereka dapatkan akan dipelihara hingga gemuk lalu disembelih dan dimakan secara Bersama-sama. Mendengar penjelasan La Dana yang begitu meyakinkan, temannya menyetujui saran dari La Dana.

Daging kerbau yang mereka kumpulkan kemudian diserahkan kepada pemilik hajat untuk ditukarkan dengan kerbau yang masih hidup. Pemilik hajat menyetujui permohonan mereka dengan memberikan seekor kerbau yang kurus. Akhirnya kerbau dipelihara oleh teman La Dana.

Satu pekan kemudian, La Dana sudah tidak sabar menunggu kerbaunya menjadi gemuk sehingga meminta kepada temannya untuk segera di sembelih dengan berkata, “Mari kita potong hewan ini, saya sudah ingin memakan dagingnya,” kata La Dana. “Tunggulah sampai hewan itu agak gemuk!” Jawab temannya.” Akhirnya La Dana pulang dengan tangan kosong dengan perasaan kecewa.

Sepekan berselang, La Dana kembali mendatangi rumah temannya dan membujuknya untuk segera menyembelih kerbau tersebut. “Mari kita potong hewan ini, saya sudah tidak sabar ingin memakan dagingnya,” bujuk La Dana. “Tunggulah sampai dia menjadi lebih gemuk!” Jawab temannya. La Dana lalu mengusulkan, “Kalau begitu sebaiknya kita potong saja bagian saya, dan kamu bisa memelihara hewan itu selanjutnya.” Temannya berpikir jika kaki belakang kerbau itu dipotong maka tentu ia akan mati.

Maka ia pun membujuk La Dana agar mengurungkan niatnya. Temannya berjanji jika La Dana mau bersabar menunggu, maka akan diberikannya kaki depan kerbau itu juga. Jadi La Dana akan mendapatkan 2 pasang kaki kerbau.

Seminggu berselang La Dana pun datang lagi dan kembali meminta agar bagiannya dipotong. Sekali lagi kawannya membujuk agar ia sedikit bersabar. Kini la pun menjanjikan akan memberikan sebagian badan kerbau itu jika ia mau menunda maksudnya. Akhirnya La Dana pun pulang.

Beberapa hari kemudian, La Dana kembali ke rumah temannya. Lagi-lagi ia meminta agar kerbau itu dipotong. Kali ini kawannya sudah kehilangan kesabarannya. Dengan marah ia pun berkata, “Kenapa kamu tidak ambil saja kerbau ini sekalian! Dan jangan datang lagi untuk mengganggu saya.” Akhirnya La Dana pun pulang dengan gembiranya sambil membawa seekor kerbau gemuk.

Sumber: Daerah tempat Tinggalku Buku Tematik Berbasis Kearifan Lokal oleh Ahmad Munawir, dkk.

Landorundun adalah seorang gadis yang sangat cantik lagi molek. Rambutnya panjang terurai. Dia hidup bersama dengan ayahnya yang bernama Solokang. Selain ayahnya, Landorundun juga memiliki seorang ibu yang bernama Lambaq Susu. Ibu Landorundun berasal dari Sesean (Toraja bagian utara), sedangkan ayahnya berasal dari Rongkonan (Toraja bagian selatan). Mereka hidup bahagia dan saling menyayangi.

Suatu hari Landorundun hendak ke sungai untuk mandi. Hal ini sering dia lakukan setiap harinya. Untuk itu, Landorundun minta izin kepada orang tuanya.

“Mak, saya ingin ke sungai. Hari ini panas sekali, saya merasa begitu gerah. Padahal, kemarin tidak sepanas ini. Ada apa gerangan yang akan terjadi?” Landorundun bertanya kepada ibunya.

“Janganlah engkau berpikir yang macam-macam, Nak. Tidak akan terjadi apa-apa. Berangkatlah engkau ke sungai karena matahari sudah tinggi. Apa perlu Mak temani?” Ibunya berbalik tanya.

“Tidak usahlah Mak, saya bisa pergi sendiri. Lagi pula biasanya saya selalu ke sana sendiri,” jawab Landorundun.

“Baiklah kalau begitu. Tapi, engkau harus ingat Nak, engkau harus pulang sebelum ayahmu datang,” pesan ibunya.

“Memangnya kenapa Mak?”

“Saya juga tidak tahu, akhir-akhir ini ayahmu memang kelihatan aneh. Dia selalu mencarimu jika dia tidak melihatmu,” kata ibunya.

“Iya, Mak. Ayah memang sepertinya berubah. Dia tidak seperti dulu lagi,” kata Landorundun heran.

“Sudahlah, engkau tidak usah memikirkan itu lagi. Lekaslah engkau berangkat,” ujar ibunya.

“Baiklah kalau begitu, saya ke sungai dulu Mak,” kata Londorundun.

“Hati-hatilah engkau di jalan Nak,” pesan ibunya.

“Ya, Mak,” jawab Landorundun.

Setelah mengatakan hal itu Landorundun pun segera bergegas ke sungai. Di dalam pikirannya, air sungai yang begitu jernih telah terbayang. Akhirnya, tibalah Landorundun di sungai. Seperti biasanya, Landorundun langsung menceburkan diri. Dia berenang ke sana kemari.

Setelah lelah, dia mulai beristirahat di pinggir sungai sambil berjemur. Teriknya matahari tidak dipedulikannya. Sambil bernyanyi, dia menyisir rambutnya yang begitu panjang.

Landorundun memang memiliki sebuah sisir yang terbuat dari emas. Setiap dia pergi ke sungai, sisir itu selalu dibawanya. Saat menyisir rambutnya, Landorundun melihat rambutnya sehelai tercabut. Maka dengan segera dia menggulungnya pada sisir emasnya.

Setelah berjemur, Landorundun kembali berenang di sungai. Tapi sebelumnya, dia meletakkan sisirnya di atas sebuah batu besar. Tak lama kemudian angin berhembus kencang. Sisir emas Landorundun ikut tertiup dan jatuh ke sungai. Sisir itu hanyut dan terbawa ke muara hingga ke tengah laut. Hal itu tidak disadari oleh Landorundun. Setelah puas bermain, Landorundun akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah.

Setelah sampai di rumah, Landorundum hendak menyisir rambutnya. Dia tidak melihat sisir itu. Dia lupa letak sisirnya. Landorundun kemudian mencari sisir itu. Setelah merenung dan teringat tempat dia meletakkan sisir itu, dia bergegas menuju ke sebuah batu besar. Namun, dia tidak jua menemukannya.

Dengan peristiwa itu, Landorundun tidak merasa putus asa. Kembali dia menyelam ke sungai. Dia berharap sisir itu ditemukannya di sana. Akan tetapi, setelah lama menyelam, sisir itu tidak jua dia temukan. Melihat hal itu, Landorundun sangat bersedih hati. Sisir itu adalah benda kesayangannya.

Dia kemudian duduk di pinggir sungai terus memikirkan sisirnya. Tanpa dia sadari, air matanya jatuh. Karena memikirkan sisir itu, Landorundun pun tidak ingat pesan ibunya agar cepat pulang ke rumah. Ketika hari petang, Landorundun baru menyadarinya. Dengan tergesa-gesa dia berlari pulang.

Sesampainya di rumah, Landorundun melihat ibunya sedang berada di serambi rumah dengan wajah sedih. Ketika melihat Landorundun, ibunya berdiri dan berlari menghampirinya. Sambil terisak, Lambaq Susu memeluk anak semata wayangnya itu.

Dengan nada sedih ibunya bertanya, “Wahai Anakku, dari mana engkau gerangan Anakku?”

“Maafkan saya Mak! Saya lupa untuk pulang. Mak, apa ayah belum juga datang?” Tanya Landorundun.

“Itulah Nak, ayahmu sedang ke sungai untuk mencarimu. Dari tadi kami menunggumu, namun engkau tak kunjung datang. Akhirnya, ayah memutuskan untuk menyusulmu,” jelas ibunya.

Mendengar hal itu Landorundun hanya mengangguk. Kemudian, Landorundun kembali bersedih. Lambaq Susu heran melihat anaknya seperti itu. Tidak seperti biasanya, Landorundun selalu riang jika kembali dari sungai. Dia akan menceritakan apa saja yang dia lakukan di sungai.

Melihat anaknya seperti itu Lambaq Susu bertanya. Namun belum juga dia bertanya, suaminya datang tergesa-gesa. Solokang seakan ingin mengatakan sesuatu tapi ketika dia melihat Landorundun yang sepertinya sedang bersedih hati, dia tidak jadi mengatakan sesuatu.

Lambaq Susu kembali melanjutkan pertanyaannya kepada Landorundun, “Ada apa denganmu, Nak. Kenapa wajahmu murung begitu?”

“Iya, Nak! Apa terjadi sesuatu di sungai hingga engkau seperti ini?” Tanya Solokang kepada anaknya, Landorundun.

Landorundun terdiam. Setelah didesak oleh kedua orang tuanya, Landorundun akhirnya menjawab, “Tadi sewaktu saya sedang mandi, sisir emasku hilang. Saya telah mencarinya ke mana-mana, tapi saya tak juga menemukannya. Karena keasyikan mencari sisir itulah saya terlambat pulang.”

Mendengar hal itu kedua orang tuanya kontan tertawa. Ayahnya pun berkata, “Anakku, ternyata itu yang telah membuat hatimu sedih. Engkau telah membuat kami berdua panik. Tenanglah Nak! Ayah akan membelikan yang baru untukmu,” kata Solokang menghibur anaknya.

“Maaf ayah, bukannya saya tidak mau. Tetapi sisir itu adalah sisir kesayanganku. Sejak kecil sisir itu telah menjadi milikku,” kata Landorundun sedih.

Melihat hal itu Solokang dan Lambaq Susu terus membujuk anaknya. Karena Landorundun adalah gadis yang penurut akhirnya, dia mengikuti saran orang tuanya.

Sementara itu, nan jauh di sana ada sebuah kapal sedang berlayar. Kapal itu adalah milik seorang pemuda yang secara kebetulan ikut dalam pelayaran itu. Pemuda itu bernama Bendurana. Padahal, sebelumnya dia tidak pernah ikut berlayar.

Salah seorang dari awak kapal itu melihat sesuatu yang berkilau. Saat itu matahari sedang bersinar dengan teriknya. Awak kapal itu kemudian melaporkan hal itu kepada majikannya. Bendurana yang mendengar laporan itu menjadi penasaran. Dia kemudian bergegas ke pinggiran kapal untuk memastikan perkataan dari awak kapal itu. Setelah lama melihat ke sana kemari mata Bendurana tertuju pada benda yang telah disebutkan oleh awak kapal tadi.

Bendurana pun memerintahkan kepada awak kapal untuk segera mengambilnya.

“Pergilah engkau mengambil benda itu. Saya ingin sekali melihat benda apa yang berkilau itu,” kata Bendurana kepada awak kapal.
Akan tetapi, suatu keanehan terjadi. Dari sekian banyak awak kapal yang ada di kapal itu, tak seorang pun yang berhasil mengambilnya. Terlebih lagi, awak kapal yang berusaha mengambilnya, selalu pulang dengan keadaan cacat. Awak kapal pertama yang pergi mengambilnya, kembali dalam keadaan lumpuh. Awak kapal kedua kehilangan salah satu kakinya, awak ketiga kembali dalam keadaan bungkuk, sedangkan awak kapal yang keempat kembali dengan kehilangan salah satu telinganya.

Bendurana yang menyaksikan hal itu merasa takut. Akan tetapi, dia juga sangat merasa heran. Karena rasa penasaran yang menghinggapinya, Bendurana memberanikan diri untuk mengambilnya sendiri. Ketika dia mengambilnya, kaki dan kukunya pun tidak basah karena air. Melihat hal itu Bendurana sangat senang bercampur heran.

Ketika melihat benda yang berkilau itu, yang sebenarnya adalah sebuah sisir emas milik Landorundun yang tertiup angin tempo hari, Bendurana sangat terkejut. Dia melihat sehelai rambut yang tergulung di sisir itu. Bendurana melilitkan rambut itu ke lengannya. Alangkah herannya Bendurana ketika mencapai lilitan ke tujuh, rambut itu memiliki panjang seratus jengkal.

Dia kemudian bertanya-tanya dalam hati, “Dari mana gerangan rambut ini? Pasti pemiliknya adalah seorang gadis yang cantik. Karena helaian rambut ini sangat lembut,” berhari-hari dia memikirkan hal itu.

Hingga suatu hari, ketika dia menengadahkan kepalanya ke atas sambil berpikir, serombongan burung melintas. Salah satu burung itu mengatakan, “Rambut itu milik seorang gadis cantik bernama Landorundun. Dia tinggal di sebuah desa yang sangat jauh. Landorundun sangat sedih ketika sisir emasnya hilang.”

“Ternyata, dugaanku benar. Rambut ini milik seorang gadis cantik,” kata Bendurana dalam hati.

Bendurana pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk mengikuti arah burung itu terbang. Siapa tahu dengan mengikutinya, Bendurana dapat menemukan si pemilik rambut itu. Akhirnya, mereka mengubah haluan. Burung itu melayang-layang mengikuti arah aliran sungai mulai dari muara sampai ke hulu. Ke mana pun burung itu terbang Bendurana selalu mengikutinya.

Pada suatu hari Bendurana tersesat. Tak lama kemudian, burung itu datang dan berkata, “Wahai Tuan, Anda tersesat. Perahunya salah arah. Benarkanlah arah dan tujuannya. Ikuti asal mulanya busa air itu, di atas sumur batu. Di sanalah di hulu sungai.”

Bendurana yang mendengar seruan burung layang-layang di udara itu, langsung mengubah arah perahunya menuju ke utara, tepatnya daerah Minanga. Kemudian, ia membuang sauh di dekat batu yang bernama Batu Sangkinan Lembang yang berarti batu tempat menambat perahu.

Bendurana turun dari perahunya. Kemudian, ia menanam pohon mangga yang rupanya agak lain sebab mangga itu tumbuhnya sangat cepat dan cepat pula berbuahnya. Ketika selesai menanam mangga itu, Bendurana meneruskan perjalanannya ke utara dan sampai di tempat yang bernama “bubun batu” di desa Tanggalaq.

Di tempat itu Bendurana langsung bertemu dengan Landorundun.
“Apa maksud dan tujuanmu hingga datang kemari. Apakah engkau datang untuk menagih piutang di negeri yang terpencil ini,” tanya Landorundun yang merasa heran dengan kedatangan Bendurana.

“Wahai putri yang cantik nan jelita, ketahuilah bahwa saya datang ke negeri yang terpencil ini bukan untuk menagih piutang. Saya hanya ingin mengetahui siapakah gerangan pemilik penggulung rambut emas ini. Menurut kabar yang kudengar, pemiliknya berasal dari negeri ini. Apakah engkau tahu wahai putri cantik nan jelita,” tanya Bendurana sambil menunjukkan penggulung rambut yang terbuat dari emas itu.

“Memangnya ada apa dan apa hubungannya dengan Tuan?” Tanya Landorundun yang merasa tidak kenal dan tidak pernah melakukan perbuatan apa pun yang ada kaitannya dengan pemuda yang ada di hadapannya itu.

“Saya datang ke sini untuk mencari dan mengetahuinya. Menurut kabar yang kudengar, ia berasal dari negeri yang sangat terpencil ini dan namanya adalah Landorundun, seorang gadis cantik nan molek. Kecantikannya tiada bandingannya, katanya.

“Apakah Tuan Puteri mengenalnya?” Tanya Bendurana seperti curiga bahwa yang diajaknya bicara adalah Landorundun karena ciri yang disebutkannya sama seperti ciri fisik yang dimiliki oleh orang yang diajaknya bicara, yaitu sangat cantik.

“Mengapa Tuan mencari Landorundun? Bukankah kalian tidak saling mengenal?” Tanya Landorundun penasaran.

“Dia sangat berarti bagiku. Makanya jauh-jauh saya datang ke negeri yang sangat terpencil ini. Saya berkeinginan untuk menjadikannya sebagai permaisuriku,” jelas Bendurana kepada Landorundun.

“Itu tidak mungkin Tuan, dan itu tidak akan pernah terjadi,” jawab Landorundun yang sangat terkejut mendengar penjelasan Bendurana.

“Dari mana Tuan Puteri tahu kalau itu adalah hal yang mustahil dan tidak akan pernah terjadi?” Bendurana curiga.
“Karena orang yang Tuan cari adalah saya. Sayalah yang bernama Landorundun. Jadi, sekarang silakan Tuan pergi. Tiada artinya Tuan dekati saya karena keluargaku terutama ibuku belum mengizinkanku berpisah dari mereka, apalagi berpisah pergi ke Bone,” jelas Landorundun.

“Saya tetap akan menjadikanmu sebagai permaisuriku, bagaimana pun caranya,” ucap Bendurana dengan tegas.

“Mengertilah Tuan, itu tak mungkin. Tak akan terjadi hal yang demikian,” ujar Landorundun tak kalah tegasnya.

Bendurana sangat kecewa mendengar jawaban Landorundun. la pun mencari akal untuk menundukkan Landorundun. la ingin Landorundun menjadi istrinya, bagaimana pun caranya. la pun mencoba menjebak Landorundun dengan keahliannya dalam menanam pohon mangga.

Suatu hari, Bendurana pun mulai menanam pohon mangga setelah pinangannya ditolak oleh Landorundun. Pohon mangga ini rupanya lain daripada pohon mangga biasanya sebab pohon mangga ini cepat sekali tumbuh dan berbuah. Ketika buah mangga itu mulai masak, pergilah Bendurana ke puncak gunung bersembunyi dan mengintip dari atas.

Harapan Bendurana pun terkabul. Hari itu, secara kebetulan Landorundun turun ke sungai untuk mencuci rambutnya. Setelah itu, ia naik ke darat berjemur sambil menyisir rambutnya. Pada saat itu, Landorundun melihat mangga yang sudah masak tidak jauh dari tempatnya itu. Landorundun pun pergi menjolok sebuah, kemudian memakannya sambil berjemur diri dan bersisir.

Bendurana sangat senang melihat kejadian yang sudah lama dinanti-nantikan dari puncak gunung. la segera turun dari puncak gunung lalu berpura-pura menghitung buah mangganya itu. la pun lalu menyindir Landorundun.

“Siapa yang mengambil buah kesayanganku, menjolok dan memakan mangga manisku,” ujar Bendurana dengan nada menyindir Landorundun.

Landorundun pun tersinggung mendengar sindiran yang dilontarkan Bendurana. la pun berkata, “Tanya si anak gembala dengan anak penjaga kerbau, siapa yang telah mengambil buahmu dan memakan manggamu. Dialah yang memanjat manggamu dan memakan buah kesayanganmu itu bersama semua tanam-tanamanmu yang ada di sini,” ujar Landorundun jengkel.

Setelah mendengar jawaban Landorundun yang tidak mau mengakui perbuatannya, Bendurana pun akhirnya memanggil semua anak gembala yang ada di sekitar tempat itu dengan menanyainya satu per satu.

“Apakah kalian yang telah mengambil dan memakan buah mangga kesayanganku?” Tanya Bendurana.

“Kami tidak pernah mengambil apalagi memakan mangga Bendurana,” jawab anak gembala itu.

“Saya tahu siapa yang telah mengambil dan memakannya,” ujar salah seorang di antara anak gembala yang hadir di tempat itu.
“Kalau begitu siapa? Cepat katakan padaku!” ucap Bendurana dengan nada marah yang dibuat-buat.

“Landorundun yang telah mengambil dan memakan buah mangga beserta tanam-tanamanmu yang lain.”

Landorundun tak bisa mengelak lagi. la mengaku dan berkata, “Akulah sebenarnya yang mengambil dan memakan manggamu dan terserah kepadamu hukuman apa yang harus kujalani,” ujarnya pasrah.

Pada kesempatan itulah Bendurana memutuskan bahwa Landorundun harus menikah dengannya.

“Sebagai hukumannya, engkau harus menikah denganku wahai putri yang cantik nan jelita,” ujar Bendurana dengan tersenyum penuh kemenangan.

“Baiklah kalau itu memang hukuman yang harus aku jalani,” ucap Landorundun pasrah menerima hukuman yang diajukan Bendurana.
Akhirnya, Bendurana bersiap untuk berangkat membawa Landorundun, tetapi ia tidak ingin mertuanya ikut serta bersamanya.

la pun mencari akal bulus untuk mencegah mertuanya itu. la menyuruh mertuanya (Lambeq Susu) pergi mengambil air di tebing gunung dan memberikan perian yang sudah dilubangi pantatnya untuk tempat air. Karena pantat perian itu bocor, air yang dimasukkan tidak kunjung penuh.

Kesempatan baik itu dimanfaatkan oleh Bendurana membawa Landorundun turun ke perahu, lalu berangkat.

Ketika Lambaq Susu menyadari bahwa ia telah diperdaya oleh Bendurana, ia pun segera berlari ke satu tempat yang bernama “Mata Bongi” untuk melihat keberangkatan anaknya. Sia-sialah usahanya karena perahu Bendurana telah berangkat dan suasana gelap menutupi daerah sekelilingnya. Lambaq Susu pun bersedih hati dan menangis tersedu-sedu karena tidak bisa ikut atau pun melihat keberangkatan anaknya.

Bendurana dan Landorundun meneruskan perjalanannya menuju ke Bone. Ketika mereka sudah tiba di Bone, dilangsungkanlah upacara pernikahan dengan menampilkan semua jenis pesta adat.

Selama pesta berlangsung, Landorundun tidak pernah tertawa bahkan tersenyum pun tidak, Ingatannya jauh melambung ke keluarganya, terutama ibunya yang ditinggalkannya. la sangat bersedih karena pernikahannya tidak dapat disaksikan oleh kedua orang tuanya. Wajahnya pun selalu tampak muram, bahkan dia tidak tahu apakah ia harus bahagia atau bersedih atas pernikahannya.

Bendurana sangat khawatir melihat sikap istrinya yang selalu muram dan bersedih.

“Wahai Dinda Landorundun, katakanlah mengapa engkau selalu tampak muram dan bersedih. Adakah yang engkau pikirkan?”

“Tidak ada apa-apa Kanda. Saya tidak memikirkan sesuatu apa pun,” jawab Landorundun menyembunyikan suasana hatinya.

Hari berganti hari dan terus berlanjut, Landorundun tidak pernah merasa nyaman atau bahagia dengan semua yang telah terjadi padanya. Ia terus-terusan bersedih dan muram, sampai suatu ketika datanglah orang suruhan Bendurana untuk menghibur Landorundun.

Orang itu datang dengan sengaja membawa seekor burung gagak yang sudah terpotong kakinya sebelah masuk ke halaman rumah. Burung gagak itu melompat terpincang-pincang dan lucu kelihatannya. Pada saat itulah Landorundun tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan burung gagak itu. Sejak saat itu, hiduplah Bendurana bersama Landorundun dalam suasana bahagia, rukun dan damai.

Sumber: Buku Datu Lumuran Cerita Rakyat Sulawesi Selatan oleh Nurlina Arisnawati

Alkisah pada zaman dahulu kala ketika manusia masih suci dan belum membuat banyak dosa, maka manusia di muka bumi langsung bertemu muka dengan Tuhan Allah. Jadi, manusia masih selalu naik turun langit menemui Tuhan di atas takhta kemuliaan-Nya.

Demikianlah bila ada sesuatu yang akan dilaksanakan manusia di dunia ini maka lebih dahulu naik ke langit menanyakannya kepada Tuhan.

Pada suatu ketika adalah seseorang bernama “Saratuq Sumbung Pio” akan pergi menanyakan sesuatu kepada Tuhan. Saratuq Sumbung Pio ini karena sifatnya tidak baik dan ketika ia kembali dari langit menemui Tuhan, dia mencari semacam korek api kepunyaan Tuhan dalam bahasa Toraja disebut “teqtekan” yang terbuat dari emas.

Tuhan menjadi marah dan karena sangat marah-Nya terhadap manusia khususnya kepada Saratuq Sumbung Pio sehingga menjadi murka. Akibat daripada kemarahan-Nya lalu menerjang tangga yang dilalui manusia ke langit. Tangga ini dinamakan “Eran di Langiq.” Tangga ke langit itu menjadi re-bah dan runtuh ke bumi berantakan.

Tangga ini karena tingginya sehingga ketika runtuh menjadi terpotong-potong yang melintang dari utara ke selatan di wilayah Kabupaten Tana To-raja, Sulawesi Selatan.

Menurut yang empunya cerita (kata orang-orang tua) bahwa puing-puing tangga inilah yang menjadi bukit batu bernama “Buntu Sarira” membelah dua wilayah kabupaten dari utara ke selatan. Jadi, Buntu Sarira di Kabupaten Tana Toraja berasal dari tangga ke langit yang runtuh berantakan karena Tuhan marah kepada manu ia.

Sumber: Buku Himpunan Cerita Rakyat dalam Sastra Toraja oleh Drs JS Sande

Pada suatu hari ada seekor kerbau sedang makan di dekat pinggir hutan. Datanglah seekor ular besar dan dia adalah raja ular. Ular ini berkata pada kerbau, “Hai Kerbau, sebenarnya badan kamu cukup besar lagi bertanduk. Tidak ada jalan untuk bisa melawan kamu, tetapi mengapa kamu membiarkan hidung ditusuk dan ditarik oleh manusia?”

Kerbau ini menjawab lalu katanya, “Sebenarnya manusia itu pintar dan berakal, pemi-kirannya tidak terjangkau dan tidak ada yang dapat menyamai-nya.” Ular menyambung lagi dan berkata, “Manusia itu cobalah dipanggilkan supaya dapat saya melihat dan menyaksikan akan akal dan kebolehannya.”

Kerbau ini pergi memanggil manusia dan membawanya da-tang. Dalam pertemuan ini ular menyapa kepada manusia, “Co-balah kamu memperlihatkan kebolehan dan kemampuan kamu kepadaku, sesudah itu barulah aku juga memperlihatkan kepada kamu akan kejagoanku.”

Sebenarnya maksud ular itu dalam pertemuan ini untuk menyuruh memanggil manusia adalah supaya manusia itu kalau sudah datang lalu ditelannya. Dalam adu pikiran dan kejagoan ini manusia lebih dahulu memohon kepada ular bagaimana ia dapat berimpit dengan batang kayu yang rebah terlentang di depannya. Ular ini kemudian memperagakan permintaan manusia dengan berimpit bersama batang pohon kayu yang terlentang di depannya.

Pada saat ular ini melakukan peragaan ini maka manusia tersebut langsung mengikat ular itu dengan rotan se-banyak dua belas ikatan sehingga ular tidak dapat lepas bahkan bergerak pun sukar sekali. Jadi dalam adu ketangkasan dan pi-kiran ini ular sudah kalah licik oleh manusia.

Melihat peristiwa ini datanglah kerbau menertawai ular yang sudah menderita terikat erat oleh lilitan rotan tadi dan berkata, “Sekarang sudah langsung kamu rasakan dan alami akan kebolehan dan ketangkasan manusia itu.” Kerbau tadi tertawa terus melihat ular yang angkuh kepadanya sehingga ia tidak merasakan ludahnya mengalir (keluar) terus yang mengakibat-kan gigi pada rahang atas terjatuh semua. Itulah sebabnya gigi kerbau pada rahang atas sampai saat ini tidak ada. Kemudian ular tidak dapat menggerakkan badannya di batang pohon kayu sampai akhirnya ia mati.

Sumber: Buku Himpunan Cerita Rakyat dalam Sastra Toraja oleh Drs JS Sande

Den misa pia baine disanga Tulang Didiq. late Tulang Didiq manarang maqtannun. Ia tu Tulang Didiq napakaboroqbang toma-tuanna. Ambeqna Tulang Didiq birisan lako padang sia pangulaq bai alaq tama pangalaq. Iatu ambeqna Tulang Didiq umpatuo misa asu bolong. Iatu asunna susi tau.

Denmi sangallo maqtannunmi tu Tulang Didiq, naia tu ambeqna male untiro parena lako padang. la tonnamarassan maqtannum tu Tulang Didiq lan bala (sulluk banua), saemi tu asu bolong ussalangka-langka tannunna Tulang Didiq. nasambakkimi balida tu asu namate. Belanna matakuq lako ambeqna tu Tulang Didiq nasamboimi sareale dio
laqpek banua.

la tonnasulemo tu ambeqna Tulang Didiq untiro parena, marassambang tu Tulang Didiq maqtannun lan sulluk banua. Pakalan anna saemo tu kadoya dio laqpek banua maqkaaq-kaaq nakua, “Kaaq-kaaq kadoya baqtu apa dio loqpek banua di samboi sareale ditilanni sare ampaq.
“Narangimi ambeqna Tulang Didiq namebali nakua, “Apamo adeqto Tulang Didiq.”

Maqkadami tu Tulang Didiq lan mai sulluk banua nakua, “Ladipatumbari ia ambeq anna bolong tu kusambakki balida inaq namate.” Sengkemi tu ambeqna Tulang Didiq nakua, “Asu tangkumasean penaa tu, totemo lakupasipuliko tu bolong.” la tonnalaumpatei ambeqna tu Tulang Didiq naalanni indoqna talloq manuk misaq napakinalloanni sola barraq tallung liseq. Susito malemi nasolan ambeqna tu Tulang Didiq lanapatei dio tanganga padang.

Tonnamalilumo tu ambeqna lumingka mekutananni lako Tulang Didiq nakua, “Umbara nani lakuni umpateiko, iamoraka indete.” Nakuami tu Tulang Didiq, “Mambelapa ambeq tu kasira-nopunanna oloq-oloq tu kasiunduanna buqkuq-buqkuq.” Ia tonna-lambiqmi tu misa tanete inan pemalaran nakittaqmi Tulang Didiq tu serang buqkuq napessisiranbunimi Tulang Didiq tu talloq manukna rokko toq serang buqkuq lan toq garontoq bottoq namane mekutana tu ambeqna nakua iamoraka te tu lakuni umpateiko, mebalami tu Tulang Didiq nakua iamo te ambeq, pogauqmi tu paqporaunnmi. Napateimi ambeqna tu Tulang Didiq indeto tanete iato. Tonnametemo tu Tulang Didiq sulemi tu ambeqna lako banua. Umbai patang pasaq mangkana napated ambeqna tu Tulang Didiq maqtesseimi tu buqkuq, natessei duka tu talloq manuk napopentiola Tulang Didiq, undadian misaq manuk “londong”. Iate Londong sia kesalle-sallena sia kinaa-naanna duka ia. Tonna randukmo unnoni denmi pissan namale undakaq batik lako tu dininna unpatei Tulang Didiq nakitami tu ulliq Tulang Didiq tisamboq-samboq, unnoninimi tinde londong nakua, “Sirampunko ulliqna Tulang Didiq, sirampunmi sae tu ulliqna Tulang Didiq. “Natolei unnoni tu londong nakua, “Si-rampunko bukunna Tulang Didiq, sirampun omi sae tu bukunna Tulang Didiq. “Namane untolei unnoni tu londong nakua, “Siram-punko Duduqna Tulang Didiq, sirampun omi sae tu Dukuqna Tulang Didiq, namaqkatampakanna unnoni tu londong nakua, “Tuoko sule Tulang Didiq, sae lako tuo tongan sule tu Tulang Didiq.

Ia tonnatuomo sule tu Tulang Didiq nakuami lako manuk londongna, “Tuo moq dikkaq apa taeqmo pakeanku. Natolemi unnoni tu londong nakua, “Saeko pakeanna Tulang Didiq, saemi tu pakean sanda rupanna lanapake Tulang Didiq.”

Tonnagannaqmo tu pakeanna Tulang Didiq Maqkadaomi tu Tulang Didiq nakua, “Denmo te pakean apa taeqmo tu ladikan-dena.” Unnoniomi tu Longdongna nakua, “Saeko kande sanda rupanna.” Mangkato nakuami Tulang Didiq gannaqmo sae tu ladikandena, apa taeqomira tu barua ladinii umpatuo rambu. Unnoni omi tu londongna nakua, “Saeko Banua sakkaq parena, saemi tu banua sibaa alang ponno pare dao.” la tonnagannaqmo katuoanna tu Tulang Didiq, nakuami Tulang Didiq lako Londong-na, “Sakkaqmo rupanna tu ladi potuona, sugiq mokiq apa taeq mira tu tau laumpengkorangankiq.”

Natolemi tu Longdongna unnoni nakua, “Saeko maqrupa tau.” Ia tonnamangkamo unnoni saeni tu tau baqtu pira-pira, lanasua mengkarang dio padang sia dio banua.

Tonnadadi nasangmo gannaqmo sia sundunmo tu katuoan-na Tulang Didiq budamo kaunanna. Ia tu tau allo-allo bangmo mengkarang sia maqlambuk lan tu tanga pangalaq naii Tulang Didiq.

Pakalan denmi sangallo malemi tu indoqna Tulang Didiq undakaq utan paku lako randan salu sikandappiq pangalaq nanii Tulang Didiq. Natiromi tu taqpian nabaa wai lanmai pangalaq, mangngami tu indoqna Tulang Didiq untiroi kumua nadenno ia taqpian nabaa uai lammai pangalaq, sulemi tu indoqna Tulang Didiq lako banua umpokadanni ambeqna kumua den ia taqpian nabaa uai lammai pangalaq. Tonna mangkamo indoqna Tulang Didiq ungkuanni sipaqkada-kadami sola duai nakua tamale umpel-lambiqi, baqtindamo ia tu buda parena lan pangalaq, tantuya tosugiqto. Malemi sola duai urundunnanni tu salu nanii tassuq taqpian lanmai pangalaq pakalan anna tiallingmo narangi sola duai tu tomaqlambuk. Tonna rampomo tama toq lubaqba (pa-ladan) sola duai, makalidikmi kalena untiroi banua sola alang suraq sia iatu mintuq tomengkarang lenduq ia budanna. Ia tonna-tiromi Tulang Didiq bendan dio toq babangan nasuami tu tau lalo untammui anna disua unnoqkoq dao alang nadi toratu. Taeq anna taqde dio pentirona Tulang Didiq tu rupanna ambeqna sola indoq-na, susi dukato tu tau sola duai simpolo tilantaq diong penaanna tu rupanna Tulang Didiq.

Tonnasipaqkada-kadamo Tulang Didiq tu toratunna sola suai, nabunibangmi kaunanna kumua tangia ia Tulang Didiq. Maqpentallunnari namane mangaku tu Tulang Didiq nakua, “Akumo Tulang Didiq tumangka mipatei lan pa-ngalaq, tumipasipuli asu bolong. Lari kutuo sule, iari tu talloq manuk napakinalloannaq indoqku umpatuonaq sule.

Ia tonnamakaroenmo diposaranmi maqrupa-rupa kande melo, ditunuan tedong, bai, manuk sia mintuq-mintuqna kande melo tongan. Randuk allo iato, ia tu tomatuanna torromo ia sola Tulang Didiq, manamanmo katuoanna, belanna napapakkannimo ia Tulang Didiq tu pandarananna indoqna sola ambeqna.

Apa den pissan nalamaqmaruaq-ruaq tu Tulang Didiq laumpogauq suruq. Mengkarangmi tukaunanna, sia maqlambuk, pan-dolo-dolomi te londongna Tulang Didiq, dio toq issong, nasam-bakkimi barang tomaqlambuk. Sengkemi te londong lako Puangna (Tulang Didiq) nakua, “Mangkanak nasambakki barang tomaq-lambuk lan toq issing, lamademoq aku. Nakuami Tulang Didiq, “Umba-umba munii male ia duka lakunii male unnulaqko.”

Mettiaqmi te londongna Tulang Didiq langan langiq naia tu Tulang Didiq undi dio toq tarana namale tama Bulan dao langiq, Ia tonnalamalemo nakuami lako tomatuanna sola duai kumua, “Ia kemamaliqkomi tirobangmokan lan bulan sola londongku.”

Tulang Didiq mora sola manukna tu kanaan lan bulan tu ditiro ke bulan melo (bulan taro-taro). Susito torromi ia tu Tulang Didiq dao bulan sola londongna, naia tu paqkurinanna (kaunana), ambeqna, sola indoqna torromo lan lino, iamo tu membaqkaq sae lako totemo. Padamoto te ulelenna Tulang Didiq.

Ada seorang anak perempuan bernama Tulang Didiq dan pekerjaannya setiap hari adalah menenun. Dia selalu dimanjakan orang tuanya. Ayah Tulang Didiq setiap hari pekerjaannya adalah berkebun dan pergi berburu di hutan.

Pada suatu hari Tulang Didiq menenun, ayahnya pergi melihat tanaman padi di sawah. Tulang Didiq sedang menenun dengan asiknya di kolong rumah, tiba-tiba datanglah anjing ke-sayangan ayahnya merusak dan mengotori tenunnya. Tulang Didiq karena sangat marahnya, dipukullah anjing kesayangan ayahnya dengan belida akhirnya mati. Tulang Didiq karena sangat takutnya disembunyikanlah bangkai anjing itu dengan potongan-potongan tikar yang sudah usang di pinggir rumah.

Ketika ayahnya pulang melihat padi di sawah, Tulang Didiq pura-pura tetap menenun di kolong rumah. Tiba-tiba datanglah terbang seekor burung gagak di pinggir rumah sambil bersiul dan berbunyi-bunyi, “Kaoq-kaoq gagak, ada apa di samping rumah dibungkus dan ditutup dengan tikar yang robek.” Ayah Tulang Didiq setelah mendengarkan bunyian burung gagak itu lalu me-nanyakan hal itu kepada Tulang Didiq. Tulang Didiq lalu men-jawab, “Sebenarnya ini bukan rahasia lagi, tadi saya sedang me-nenun lalu Bolong (anjing ayah) datang merusak dan mengotori tenun lalu saya pukul dengan belida langsung mati.” Ayahnya sangat marah saat itu lalu berkata kepada Tulang Didiq karena anjing kesayangan saya telah engkau bunuh maka saya akan membunuh engkau pula.” Ibunya sangat menyayangi anak pe-rempuannya ini.

Ketika ayahnya akan berangkat dari rumah membawa Tulang Didiq untuk dibunuhnya, dengan sembunyi ibunya memberikan sebiji telur ayam dan tiga butir beras. Demikianlah Tulang Didiq mengikuti ayahnya ke padang belantara untuk di bunuh. Kedua orang ini setelah agak lama berjalan bertanyalah sang ayah kepada sang anak katanya, “Di manakah tempatnya untuk saya mem-bunuhmu apakah di sini ataukah di sana.” Tulang Didiq lalu menjawab, “Barangkali masih jauh tempat berkumpul binatang-binatang dan kerumunan burung-burung.” Mereka lalu menerus-kan perjalanannya lagi dan akhirnya tibalah di padang belantara di sebuah bukit tempat orang melakukan persembahan kurban dan tempat bertengger burung-burung. Ketika Tulang Didiq melihat sebuah sarang burung tekukur di rumpun-rumpun pohon rumputan dan alang-alang lalu segera meletakkan dengan sembunyi telur ayam dan beras yang diberikan ibunya tadi pada waktu berangkat. Setelah itu ayahnya bertanya lagi, “Di tempat inikah saya akan membunuhmu hai Tulang Didiq.” Tulang Didiq lalu menjawab, “Yah di sinilah ayah akan melaksanakan niatnya dan sekarang aku serahkan badanku untuk dibunuh dan silakan ayah membunuh aku.” Sang ayah ini lalu melakukan kehendaknya yaitu membunuh anaknya yang bernama Tulang Didiq.

Kurang lebih 28 (dua puluh delapan) hari lamanya Tulang Didiq telah dibunuh ayahnya, maka telur ayam yang diletakkan di sarang burung tekukur mulai menetas dan melahirkan seekor ayam jantan yang sering disebut dalam bahasa Toraja “Londong”.

Londong atau ayam jantan ini makin hari makin bertambah besar sehingga mulai belajar berkokok. Pada waktu sudah mulai belajar berkokok, ayam jantan ini pergi pula mencari makan. Ayam jantan ini menemukan ulat Tulang Didiq terhambur-hambur sehingga ia berkokok mengumpulkan ulat tersebut. Ayam itu berkokok lagi, berturut-turut, “Kukkuaq-kukkuaq berkumpullah tulang Tulang Didiq; kukkuaq berkumpullah daging Tulang Didiq; kukkuaq hiduplah kembali hai Tulang Didiq. Akhirnya Tulang Didiq hidup kembali karena ayam jantan ini berkokok terus menciptakan tuannya.

Tulang Didiq setelah dapat berbicara lalu berkata kepada ayam jantannya, “Sekarang saya telah hidup kembali tetapi tidak ada pakaian dan makanan.” Lalu ayam itu berkokok lagi sehingga lengkaplah segala kebutuhan bagi Tulang Didiq.

Setelah kebutuhan ini sudah mencukupi semuanya dan lengkap adanya lalu Tulang Didiq berkata pada ayamnya, “Se-karang kita telah kaya, hidup serba cukup tetapi tidak mempunyai rumah, tidak ada daerah atau wilayah untuk tempat berkebun, bersawah dan mengolah tanah.” Ayam itu lalu berkokok lagi, “Kukkuaq lengkaplah rumah tuanku Tulang Didiq; kukkuaq lengkaplah wilayah pemerintahan Tulang Didiq.” Semua per-mohonan Tulang Didiq terkabul dengan melalui kokok ayam sakti ini;

Akhirnya Tulang Didiq berkata lagi kepada ayamnya, “Kita ini sudah tidak kurang sesuatu apa, makanan ada, rumah ada, tanah ada, tetapi ada satu lagi yaitu manusia untuk mengisi negeri yang kaya raya ini dan untuk mengolah tanah ini yang luas ini.” Ayam atau Londong Tulang Didiq itu berkokok lagi, “kukkuaq jadilah manusia dalam negeri ini.” Pada saat itu terciptalah ma-nusia penduduk negeri yang serba ada itu.

Pada suatu hari Ibunda Tulang Didiq pergi mencari sayur-sayuran paku di dekat muara sungai yang kebetulan alirannya bersumber dari hutan tempat Tulang Didiq dan ayam jantannya membangun satu negeri yang indah dan lengkap. Dari aliran sungai itu dia melihat gabah-gabah beras yang banyak dihanyut-kan air sungai ke muara.

Melihat peristiwa ini ibu Tulang Didiq kembali melaporkan kepada suaminya (ayah Tulang Didiq) bahwa di dalam hutan pasti ada seorang raja yang kaya raya dengan tanahnya yang subur dan luas. Kedua orang ini saling memper-cakapkan peristiwa yang aneh ini lalu mereka berkesimpulan untuk pergi meliput dan mencari tempat asal atau sumber daripada gabah-gabah padi yang dihanyutkan air sungai.

Keesokan harinya kedua orang tua ini pergi menelusuri aliran sungai dari hutan itu jauh masuk di hutan. Di tengah-tengah hutan itu mereka mendengarkan bunyi lesung orang sedang menumbuk padi dengan ramainya. Mereka terus meliput sumber bunyi lesung itu.

Akhirnya ditemukanlah suatu negeri yang indah dengan bangunan rumah-rumah adat yang diukir, lumbung tempat padi yang berjejer beserta masyarakat yang hidup aman dan makmur. Melihat keadaan ini kedua orang tua sangat segan untuk masuk bertanya di halaman rumah sehingga ia terpaksa berjalan di luar pagar halaman rumah.

Dari atas rumah Tulang Didiq melihat kedua orang tuanya ini, lalu disuruhlah hambanya untuk men-jemputnya. Mereka berdua dipersilakan masuk di halaman rumah lalu diterima sebagai tamu di lumbung oleh Tulang Didiq.

Dalam percakapan ini Tulang Didiq selalu menyembunyikan bahwa dialah anaknya, tetapi kedua orang tua ini masih tetap membayangkan bahwa roman muka dari orang yang diajaknya berbicara mirip dengan Tulang Didiq.

Pada akhirnya Tulang Didiq mengaku dan berkata, “Akulah Tulang Didiq yang kamu bunuh di padang belantara karena anjing kesayangan yang bernama Bolong dan saya hidup kembali hanyalah karena telur ayam yang diberikan Ibundaku menetaskan seekor ayam jantan.” Ayam jantan inilah yang berbunyi dan berkokok menghimpun segala tulang-tulangku, daging-dagingku yang sudah berhamburan untuk dihidupkan kembali. Mulai pada waktu itu mereka hidup secara bersama dalam negeri yang indah itu dengan bahagia, aman dan makmur sebab segala kebutuhan serba lengkap.

Pada suatu hari Tulang Didiq ini akan melaksanakan pesta pengucapan syukur. Dia dan rakyatnya mulai mempersiapkan segala sesuatunya karena pesta adat ini adalah pesta yang dianggap paling mulia dan paling tinggi.

Rakyat di dalam negeri itu masing-masing melaksanakan pem-bagian tugasnya sesuai dengan penggarisan dari tuannya. Orang-orang perempuan dan gadis-gadis yang masih remaja menumbuk padi dengan alunan bunyi lesung yang sangat ramai sebagaimana lazimnya di desa. Tiba-tiba ayam jantan kesayangan Tulang Didiq ini pergi ke dekat lesung memakan beras, lalu langsung dipukul dengan nyiru oleh seseorang yang sedang bekerja di situ.

Londong atau ayam jantan ini kembali melapor pada tuannya katanya, “Saya telah dipukul oleh orang yang bekerja di tempat menumbuk padi, saya mohon izin dan akan pergi sekarang juga.” Tulang Didiq kemudian menjawab, “Kalau demikian saya juga akan pergi mengikuti engkau, di mana engkau pergi di situ juga saya ikut.”

Tulang Didiq dan ayamnya kemudian memohon izin kepada kedua orang tuanya sambil berpesan, “Sekarang saya dan ayam kesayanganku akan pergi, Ayah dan Ibu tidak perlu lagi bersusah karena semuanya telah sedia dan lengkap. Jika Ayah dan Ibu rindu padaku tengoklah anakmu bersama ayam kesayangannya di bulan dan sekarang izinkanlah kami berangkat.”

Ayam itu dengan tangkasnya terbang menuju ke bulan dan Tulang Didiq berpegang pada susuh kakinya. Itulah sebab jika bulan purnama nampaklah bayangan seperti manusia di dalam bulan dan menurut orang Toraja itulah Tulang Didiq dengan ayamnya yang sudah menjadi dewi bulan.

Mengenai Ayah dan Ibunya serta semua penghuni negeri tinggallah di bumi dan itulah yang berkembang dan menjadi leluhur manusia yang ada sekarang ini.

Demikianlah cerita Tulang Didiq ini.

Sumber: Buku Himpunan Cerita Rakyat dalam Sastra Toraja oleh Drs JS Sande

Ia adeq tonnaia tu paqlitakan loq padang di Rura malunak sia tondok malompo tongan. Belanna kamalunakanna tu tondok iato, buda tonganmi burana tu padang. la tu paqtondokan loq padang di Rura, taeqlen nakakurangan kande. Manaman katuoan-na tu mintuq paqtondokan, sia buda tongan sugiq. Belanna kasugi-ranna tu tau lan tondok padang di Rura, taeqbangmi apa naka-tondok (nakatakuq). Pada malebangmi umpogauq lalan penayan-na sia unturuq paqporaianna, umba-umba tu nasanga melo lan penayanna.

Belanna kasugiranna tau lan tondok iato, pembudami umpo-gauq kapemalaran susinna: maqtadoran, massaruq tallang, maqpa-rekké para, merauk, laqpaq kasalle, metangdoq, sia pemalaran sengaqna.

Loq padang di Rura denmi misaq tau disanga “Londong di Rura” naia tu bainena disanga “Kombong di Rura,” sugiq lallang. Tau ia te, daqdua tu anakna, misaq pia muane na misaq pia baine. la tonnekapuamo te pia sola duai, sipaqkadami tu ambeqna sola indoqna, kumua, “Melo tapasule langnganmi banua te anakta, anna dipasirampanan kapaq.” Naparampomi Londong di Rura, sola Kombong di Rura te penayanna lako paqtondokan loq Padang di Rura. Nakuami tau loq Padang di Rura, melo tongan tu patu penaanmi la umpasule langngan banua (dipasibali) te anakmi. Manassa taeq anta kasalan langngan Puang Matua.

Susito, dipogauqmi te paqmaruasan rampanan kapaq, umpa-sule langangan banua to massiuluq. Dipotauqmi tu pe, alaq kapua iamo tu “Laqpaq.” Maqkadarapaqmi mintuq paqtondokan lan padang di Rura kumua ladiala passangkaran te. Iatonnadipogauq-mo tu pangalukan laqpaq dio toq paladan banua, songloqmi tama padang kalaqparan maqmaruaq-ruaq!

Tonnabannaq nasangmo tau lan padang kalaqparan, maq-maruaq-ruaq, taqkala lammaqmi sia tallan rokko tu padang dini songloq tama kalaqparan. Sabuqnasangmi tu mintuq tau tallan situang pake lan rante. Sabuqnasangmi tu mintuq tau lan padang kalaqparan attu iato.

Sae lako totemo iatu padang di Rura dadimo limbong.
Ia tonnatiromi tau loq padang di Rura tu kasanggangan iato, matakuqmi langngan Puang Matua. Nakanassainasang min-tuq paqtondokan, kumua iamora bannang sierannato, narampo tu kasanggangan belanna iatu Londong di Rura sola bainena Kom-bong di Rura mangkamo umpasule langngan banua to massiuluq. anna mangsan tu mintuq tau lan kalaqparan.

Untambaimi dio mai bali lembangna laussaluanni tu bannang sieranna anna sanggang sia mangsan te tau loq Padang di Rura. Apa moi misaq te bali lembangna taeqbang misaq manarang ussaluanni tu sabaqna.

Undinna to saemi ullando lalanmini Sulo Araq sola Bua Uran rekke padang di Sesean. Rampo rekke padang di Sesean, sipaqkadami Sulo Araq sia Bua Uran, kumua lalao patutungan biaq sauq padang di Rura.

Keqdeqmi tu Solu Araq sola Bua Uran sauq padang di Rura. Rampomi sauq padang di Rura, nasaluanni tu salana, iamora tu pemale umpasule langngan banua, umpasibali to massiuluq, tomisa dikombong. Natindokanmi sule aluk, napobala kollongmi tau loq padang di Rura, bintinmi poleq napotangkean suruq sule, to loq sangpolo padang. Napokumambanmi poleq bangunna banua sule.

Napomandaqmi pole balana tedong, naposampe buyanna manuk.

Kendekmi poleq burana padang, napolangnganmi lipuqna daennan.

Belanna napassakkemo sia napiqpikkimo tanda marendeng topatutungan biaqna Sulo Araq sola Bua Uran daya mai padang di Sesean.

Dipotulerankadami sae lako totemo kumua pariamo tu pattutungan biaqna Sulo Araq sola Bua Uran sia patetengan sulo marorrongmi sauq padang di Rura.

Susimoto tu tunaqna Sulo Araq sola Bua Uran sia patutung-an biaq sia patetengan sulo marorrong sauq padang di Rura.

Dalam cerita ini diceritakan tentang kesuburan tanah di Rura (Kabupaten Enrekang). Karena lemburnya tanah itu, banyak sekali hasilnya. Masyarakat di Rura tidak pernah merasa ke-kurangan makanan bahkan melimpah. Kehidupannya selalu aman, dan juga banyak orang yang kaya. Karena kekayaannya sehingga orang-orang di Rura tidak pernah merasa takut. Mereka masing-masing sibuk melakukan kehendaknya, yang dianggap baik bagi-nya dengan tidak memperhitungkan norma-norma masyarakat yang berhubungan dengan agama dan kebiasaan.

Karena kekayaan mereka itu berlebihan dan serba kecukupan akhirnya mereka sering mengadakan pesta-pesta adat secara besar-besaran seperti maq tadoran, massuraq tallang, maqparekke para, murauk, laqpaq kasalle, metangdoq dan lain-lain.

Salah satu penduduk di Rura bernama Londong di Rura dan istrinya bernama Kombong di Rura, mereka sangat kaya. Mereka mempunyai dua anak satu laki-laki dan satu perempuan. Setelah kedua anaknya sudah besar maka kedua orang tuanya sepakat untuk menjodohkan anaknya. Hal ini dimaklumkan oleh Londong di Rura bersama Kombong di Rura kepada pemuka-pemuka masyarakat dalam lingkungan wilayah Rura. Lalu berkatalah orang-orang di Rura bahwa rencana kamu berdua adalah baik, kita tidak bersalah kepada Tuhan yang Maha Pencipta.

Lalu diadakanlah pesta perkawinan atas kedua anak bersaudara itu. Semua pesta adat telah dilaksanakan tahap demi tahap akhirnya pesta yang paling akhir dalam hubungannya dengan pesta adat perkawinan. Yang paling akhir dilaksanakan adalah pesta adat yang besar bernama pesta Laqpaq di dekat rumah Londong Di Rura. Pada hari pelaksanaan itu seluruh rakyat dari semua penjuru menghadiri pesta puncak dari perkawinan dua orang bersaudara itu.

Pada mereka telah hadir semua di tempat pelaksanaan pesta untuk ramai-ramai, akhirnya dengan tidak disangka-sangka se-hingga tanah yang ditempati tenggelam atau longsor dan semua orang yang hadir tenggelam dalam danau itu. Tersiarlah berita ke seluruh daerah akan terjadinya peristiwa yang mengerikan dan menakutkan itu.

Sampai sekarang tanah di daerah Rura menjadi sebuah kolam. Pada waktu mereka telah menyaksikan kejadian ini mulai orang-orang di Rura takut kepada Tuhan. Timbul pendapat di masya-rakat bahwa kejadian ini disebabkan oleh perbuatan Londong di Rura bersama dengan Kombong di Rura yang menjodohkan kedua anak kandungnya. Akhirnya banyak orang yang tenggelam ke dalam tanah.
Pada akhirnya Londong di Rura dan istrinya bersama masya-rakat di daerah tersebut menyadari bahwa apa yang telah mereka lakukan dikutuk oleh Tuhan.

Penduduk kemudian mengadakan musyawarah bersama untuk pergi mencari/mengundang Sulo Araq dan Bua Uran yang berada di sebelah utara daerah Sesean. Sulo Araq dan Bua Uran kemudian berangkatlah ke dan dari utara ke selatan yaitu menuju ke daerah Rura menyampaikan dan menjelaskan bahwa sangatlah pantang menjodohkan orang yang satu kandungan.

Sulo Araq dan Bua Uran mulai merintis kembali lalu adat yang umum berlaku dan melaksanakan pesta pengurbanan yang mengaku bersalah kepada sang Pencipta tentang perbuatan yang telah bertentangan dengan kehendak-Nya.

Mulailah pada saat itu hasil panen dan ladang berlimpah ruah dan segala binatang peliharaan berkembang dengan pesatnya sebagaimana pada mulanya. Demikianlah akhir cerita ini.

Sumber: Buku Himpunan Cerita Rakyat dalam Sastra Toraja oleh Drs JS Sande

Itulah kumpulan cerita rakyat Toraja yang penuh pesan moral dan sarat nilai kehidupan. Menarik,bukan?

1. Puang Lakipadada: Kisah Pencarian Keabadian

2. La Dana dan Kerbaunya

3. Landorundun

4. Turaqna Eran di Langiq

5. Datunna Ulaq Sitammu Tedong

6. Cerita Rakyat Bahasa Toraja: Uleleanna Tulang Didiq

Terjemahan: Cerita Tulang Didiq

7. Cerita Rakyat Bahasa Toraja: Tunaqna Padang di Rura

Terjemahan: Cerita Padang di Rura

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *