Dugaan Jual Beli Kursi SPMB di SMAN 21 Makassar, Aliansi BTP Ungkap Fakta

Posted on

Aliansi Masyarakat BTP mengungkap adanya dugaan jual beli kursi pada Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) di SMAN 21 Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Dari 13 kursi yang kosong, 7 di antaranya diduga diisi titipan dari oknum anggota DPRD Makassar inisial M dan anggota komite sekolah.

“Nah, dari 13 itu, 7 dari pengurus komite. Salah satunya ada anggota dewan, yang kebetulan memang masuk dalam sistem pengurusan komite itu,” kata Jenderal Lapangan, Andi Rahmat Saleh kepada infoSulsel, Senin (14/7/2025).

Rahmat merincikan bahwa terdapat 13 kursi SPMB yang sebenarnya masih lowong. Kursi kosong itu diperoleh dari 12 kuota penerimaan yang tidak terpenuhi, dan ditambah satu kursi yang pesertanya lolos namun tidak melakukan pendaftaran ulang.

“Jadi dari kursi 13 yang tersisa ini, 12 yang memang tidak terpenuhi kuotanya. Terus ada satu yang tidak daftar ulang. Berarti kan 13,” urainya.

Dia mengungkapkan bahwa oknum anggota DPRD Makassar itu sempat mendaftarkan dua nama termasuk anaknya di SMAN 1 Makassar dan SMAN 8 Makassar, namun tidak lolos. Keduanya kemudian dititipkan untuk diloloskan di SMAN 21 Makassar.

“Dia tidak lulus di SMA 1 dan tidak lulus di SMA 8 juga. Itulah dia coba untuk diaturkan sama kepala sekolah (SMAN 21 Makassar) sama komite,” bebernya.

Belakangan, hal tersebut diketahui oleh orang tua siswa lainnya. Rahmat menyebut temuan itulah yang kemudian memicu massa menggelar demonstrasi.

“Itulah memicu kita ini semua sehingga turun di jalan,” katanya.

Diberitakan sebelumnya, Aliansi Masyarakat BTP menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Disdik Sulsel pada Senin (14/7) sore. Mereka menuding adanya ketidaktransparanan dalam proses penerimaan siswa baru dan dugaan praktik jual beli kursi pada SPMB di SMAN 21 Makassar.

Salah satu orator, Rafi, menyampaikan bahwa terdapat dugaan kuat adanya praktik jual beli kursi oleh oknum di lingkungan sekolah. Selain itu, ada ketidaksesuaian antara data yang disampaikan saat sosialisasi dan realisasi jumlah rombongan belajar (rombel) siswa yang diterima.

“Pendidikan seharusnya tidak berpihak kepada golongan tertentu. Kepala sekolah diduga menjadi makelar menjual kursi bagi mereka yang mampu membayar,” teriak Rafi dalam orasinya.

Menurutnya, pihak sekolah sebelumnya telah mensosialisasikan bahwa setiap rombel akan diisi oleh 40 siswa. Namun kenyataannya, setelah seleksi selesai, hanya 36 siswa yang diterima dalam satu rombel.

“Kami datang ke sini untuk menuntut Dinas Pendidikan sebagai otoritas tertinggi untuk mengatur, mengawasi, dan mengevaluasi. Ini bukan hanya soal angka, ini soal integritas,” tambahnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *