Warga Buat Petisi Dukung Sofifi Jadi DOB di Malut, Legislator PKS-NasDem Ikut

Posted on

Sejumlah warga di Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara (Malut) membuat petisi sebagai sikap dukungan pemekaran Sofifi menjadi daerah otonomi baru (DOB). Legislator PKS, Gerindra, hingga NasDem ikut menandatangani petisi tersebut.

“Anggota DPRD Kota Tidore Kepulauan itu dari Partai PKS Fahrizal Do Muhammad, kemudian Hasanuddin Fabanyo dari NasDem, dan Idrus Salim dari Gerindra. Selain tandatangan petisi, mereka juga berikan orasi politik,” ujar Juru Bicara Majelis Rakyat Kota Sofifi (Markas), Ibrahim Asnawi kepada infocom, Jumat (18/7/2025).

Penandatanganan petisi berlangsung di pelataran Masjid Raya Shaful Khairaat di Kelurahan Sofifi, Kecamatan Oba Utara, Tidore Kepulauan, Jumat (18/7) pukul 13.20 WIT. Warga yang hadir menandatangani petisi disebut sekitar 1.000 orang.

“Berdasarkan data dari pengurus Masjid Raya Sofifi itu ada sekitar 350 jemaah, dan itu semua tanda tangan. Tapi massa masih terus berdatangan, jadi kita estimasi massa yang akan menandatangani petisi hari ini hampir 1.000 orang,” tuturnya.

Ibrahim menyebut, tanda tangan petisi dilakukan di atas lembaran kain putih ukuran 1,5 x 98 meter. Saat ini seluruh lembar kain penuh dengan tanda tangan yang didominasi kaum perempuan, bahkan ada warga dari luar Sofifi yang ikut menandatangani petisi.

“Nah, saat proses tandatangan berlangsung, ada mobilisasi massa dari luar dan itu keterpanggilan moril. Bahkan ada dukungan dari Kecamatan Jailolo Selatan (Kabupaten Halmahera Barat), datang mendukung,” katanya.

Menurutnya, dukungan ini sekaligus membantah pernyataan Wali Kota Tidore Kepulauan, Muhammad Sinen bahwa orang di luar Tidore jangan bicara DOB Sofifi. Bagi Ibrahim, itu pernyataan keliru.

“Itu keliru, Sofifi ini seluruh masyarakat Maluku Utara punya hak konstitusional untuk bicara kedudukan ibu kota provinsi,” ujar Ibrahim.

Lebih lanjut Ibrahim menuturkan, aksi kali ini sebagai bentuk sikap dalam menagih janji konstitusional yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999. Nantinya, tanda tangan petisi tersebut akan dibahas lebih lanjut.

“Kami bawa dalam rapat internal Markas bersama tokoh-tokoh masyarakat, baik tokoh adat, agama, pemuda. Kita akan rapat untuk langkah-langkah strategis ke depan,” katanya.

Karena persoalan DOB Sofifi tidak bisa diselesaikan di level pemerintah daerah, maka ia berharap Presiden Prabowo Subianto bisa menuntaskannya. Sebab, secara kasat mata, ada kesan egosentris antara pemerintah daerah.

“Kita berharap presiden dengan kewenangannya menerbitkan peraturan pengganti undang-undang untuk selesaikan sengkarut kedudukan dua undang-undang ini,” katanya.

“Kami ingin melaksanakan amanat konstitusi Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara sebagaimana diatur pada Pasal 9 Ayat (1), bahwa Ibu Kota Provinsi Maluku Utara berkedudukan di Sofifi,” katanya.

Ibrahim menegaskan, petisi yang dibuat ini bukan merespons aksi penolakan DOB Sofifi yang digelar warga di halaman Kedaton Kesultanan Tidore pada Kamis (17/7). Tapi aksi tuntutan DOB Sofifi sudah digelar sejak lama.

“Sudah berpuluh tahun. Jadi ini bukan soal tuntutan daerah otonomi baru sebagaimana yang disuarakan daerah lain. Sofifi itu lahir 26 tahun yang lalu dan sampai sekarang janji (pemekaran) tinggal janji,” tuturnya.

Menurutnya, petisi ini sebagai bentuk amarah masyarakat untuk menagih janji negara, terutama yang lahir dan besar di Sofifi. Sebab, ketika negara tidak melaksanakan janjinya, maka itu sama halnya dengan pembangkangan konstitusi.

Ibrahim juga menyebut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang pembentukan kabupaten/kota, termasuk Kota Tidore Kepulauan, mencederai amanat konstitusi. Terutama yang tertuang dalam UU Nomor 46 Tahun 1999.

“Karena mengapling sebagian wilayah Kecamatan Oba, Kabupaten Halmahera Tengah, yang masuk dalam klausul Undang-Undang Nomor 1 (2003) tadi. Mestinya Undang-Undang Nomor 1 harus ada pasal pengecualian,” katanya.

“Sebab, di Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 itu menegaskan, bahwa Kecamatan Oba, Kabupaten Halmahera Tengah menjadi wilayah yang nanti dipersiapkan untuk menjadi daerah otonomi baru, yang kita sebut dengan ibu kota provinsi yang ada di Sofifi itu,” tambah Ibrahim.

Ibrahim menilai, ada tumpang tindih regulasi sehingga perlu diselesaikan oleh pemerintah, terutama pemerintah pusat. Karena ada kerancuan hukum dari dua undang-undang tersebut.

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.

Ibrahim juga menyebut keinginan besar dari DOB Sofifi adalah mendekatkan pelayanan publik terhadap masyarakat. Karena Maluku Utara sebagai daerah kepulauan, urusan administratif di Sofifi harus dilakukan di Tidore.

“Syukur-syukur kalau pengurusan di Tidore satu-dua jam bisa clear. Tapi kalau andai kata satu-dua minggu, kira-kira berapa ongkos biaya yang harus dikeluarkan,” katanya.

Kedua lanjut Ibrahim, ada disparitas atau kesenjangan pembangunan antara Sofifi dan Tidore yang cukup tajam. Misalnya persoalan sampah, sejauh ini warga yang bermukim di wilayah ibu kota tersebut kesulitan membuang sampah.

“Orang tinggal di gunung buang sampah di gunung, tinggal di pantai buang sampah ke laut, tinggal di sungai buang sampah di sungai, lalu orang yang di tengah kota buang sampah di mana?” ujarnya.

Selain itu, jika Sofifi tidak dimekarkan menjadi ibu kota provinsi, maka alokasi anggaran tidak akan besar. Pada akhirnya, Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat sulit terdistribusi.

“Selain itu, daya beli di Sofifi kecil sekali, padahal ini ibu kota provinsi. Belum ada kasuistik di Indonesia yang ibu kota daya belinya kecil, belum ada. Hanya Ibu Kota Provinsi Maluku Utara di Sofifi, jadi banyak hal yang bisa diurai,” tuturnya.

“Jadi aksi kami ini akan berlanjut sampai Sofifi ditetapkan sebagai DOB. Baik secara yuridis maupun de-facto,” imbuh Ibrahim.

Diberitakan sebelumnya, aksi demonstrasi menolak Sofifi jadi DOB itu berlangsung di Kedaton Kesultanan Tidore, Kamis (7/7) sekitar pukul 10.00 WIT. Aksi tersebut melibatkan perangkat adat Kesultanan Tidore, ASN, hingga warga dengan mengenakan pakaian dan ikat kepala warna putih.

Ibrahim juga menyebut keinginan besar dari DOB Sofifi adalah mendekatkan pelayanan publik terhadap masyarakat. Karena Maluku Utara sebagai daerah kepulauan, urusan administratif di Sofifi harus dilakukan di Tidore.

“Syukur-syukur kalau pengurusan di Tidore satu-dua jam bisa clear. Tapi kalau andai kata satu-dua minggu, kira-kira berapa ongkos biaya yang harus dikeluarkan,” katanya.

Kedua lanjut Ibrahim, ada disparitas atau kesenjangan pembangunan antara Sofifi dan Tidore yang cukup tajam. Misalnya persoalan sampah, sejauh ini warga yang bermukim di wilayah ibu kota tersebut kesulitan membuang sampah.

“Orang tinggal di gunung buang sampah di gunung, tinggal di pantai buang sampah ke laut, tinggal di sungai buang sampah di sungai, lalu orang yang di tengah kota buang sampah di mana?” ujarnya.

Selain itu, jika Sofifi tidak dimekarkan menjadi ibu kota provinsi, maka alokasi anggaran tidak akan besar. Pada akhirnya, Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat sulit terdistribusi.

“Selain itu, daya beli di Sofifi kecil sekali, padahal ini ibu kota provinsi. Belum ada kasuistik di Indonesia yang ibu kota daya belinya kecil, belum ada. Hanya Ibu Kota Provinsi Maluku Utara di Sofifi, jadi banyak hal yang bisa diurai,” tuturnya.

“Jadi aksi kami ini akan berlanjut sampai Sofifi ditetapkan sebagai DOB. Baik secara yuridis maupun de-facto,” imbuh Ibrahim.

Diberitakan sebelumnya, aksi demonstrasi menolak Sofifi jadi DOB itu berlangsung di Kedaton Kesultanan Tidore, Kamis (7/7) sekitar pukul 10.00 WIT. Aksi tersebut melibatkan perangkat adat Kesultanan Tidore, ASN, hingga warga dengan mengenakan pakaian dan ikat kepala warna putih.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *