Kabar duka itu datang begitu berat. Rasanya belum siap kehilangan sosok yang begitu konsisten berbagi ilmu, gagasan, dan kepedulian.
Sekitar dua tahun lalu, almarhum kanda Aswar meminta waktu untuk bertemu di rektorat. Pagi itu, kami saling menyemangati. Saya meminta beliau mengurus kepangkatan dan rutin memeriksakan kesehatan di RS Unhas, bahkan menawarkan tim medis untuk datang jika perlu.
Saya sampaikan bahwa pimpinan Unhas berkewajiban memberi layanan terbaik dalam segala aspek. Mendengar itu, beliau tersenyum bangga dan senang.
Sambil bercanda, ia berkata, “Walau sibuk sekali sebagai Rektor, harus lebih sering menulis, ya.” Saya hanya menjawab, “Siap, kanda! Tapi semangatki juga.” Begitulah, kami terus saling menguatkan, sampai akhirnya beliau jatuh sakit.
Bagi saya, Dr. Aswar Hasan bukan sekadar kolega di lingkungan akademik; ia adalah mata air pengetahuan yang tak pernah kering, alirannya menembus batas ruang kuliah dan seminar.
Saya mengenalnya bukan pertama kali di forum resmi atau rapat, melainkan lewat tulisan-tulisannya yang bertebaran di berbagai media, selalu sarat makna. Dari sana, saya melihat sosok penulis yang produktif, yang menjadikan pena bukan sekadar alat mengajar, melainkan jembatan nurani publik.
Ia adalah pemikir yang konsisten. Tidak menulis demi musim, apalagi demi tepuk tangan sesaat. Sejak awal menapaki jalan akademisi, ia memilih peran yang tidak semua orang berani memanggul: menjadi intelektual publik.
Ia menulis tentang politik, sosial, komunikasi, tetapi lebih dari itu, ia menulis tentang wajah kita sebagai bangsa. Ia mengajak kita bercermin pada cita-cita kemerdekaan yang mulai buram, pada arah yang kerap goyah, pada umat yang kian terpinggirkan.
Saya tersentuh setiap kali mengingatnya. Dalam keadaan sakit sekalipun, ia masih menggerakkan jemarinya untuk menulis demi mencerahkan umat. Baginya, menyalakan cahaya pengetahuan adalah kewajiban yang tak boleh padam, bahkan di tengah rasa sakit yang membatasi gerak.
Namun Aswar bukan hanya seorang akademisi. Di balik wawasannya yang luas, tersimpan keteduhan seorang ulama. Ia aktif di Masjid Al Markaz Al Islami, juga di Masjid Ikhtiar yang berada di kampus Unhas Baraya.
Kedua rumah ibadah itu menjadi ladang pengabdiannya, tempat ia mengalirkan ilmu, memimpin, membimbing, dan berdakwah dengan lisan yang menyejukkan serta tulisan yang menggerakkan.
Dakwahnya tidak menggurui, melainkan merangkul; tidak menghakimi, melainkan mengajak. Ia memahami bahwa kata-kata yang lahir dari hati akan sampai ke hati pula.
Melalui tulisan, ia berdiri di tengah pusaran zaman, menegur dengan santun namun tegas, menuntun tanpa mengangkat suara, dan menjaga agar kita tidak lupa pada akar nilai yang membentuk kita. Ia mengingatkan bahwa ilmu bukanlah menara gading, melainkan cahaya yang harus jatuh ke tanah, menerangi jalan orang banyak.
Hari ini, Unhas kehilangan seorang panutan. Saya kehilangan sahabat dan teladan, sosok yang menghiasi hidupnya dengan ilmu, mengabdikan penanya bagi pencerahan umat, dan menautkan akal dengan nurani.
Sebagai pimpinan universitas, saya menyampaikan belasungkawa yang sedalam-dalamnya. Kehilangan ini berat bagi seluruh almamater, namun saya yakin Unhas akan terus menjaga api intelektualisme serta kedalaman pengetahuannya. Kami akan merawat warisan pemikirannya agar tetap berdenyut, melintasi zaman.
Kepergiannya meninggalkan sunyi, namun bukan kehampaan. Setiap kalimat yang ia tinggalkan adalah jejak yang tak akan pudar. Semoga kita yang masih di sini mampu melanjutkan warisan terpentingnya: keberanian untuk berpikir dan ketulusan untuk berbagi.
Selamat jalan, kanda Aswar. Kami mendoakan semoga Allah menempatkanmu di sisi-Nya, di tempat terbaik, lapang, dan damai. Aamiin.
Oleh: Jamaluddin Jompa, Rektor Universitas Hasanuddin