Wali Kota Makassar Munafri ‘Appi’ Arifuddin angkat bicara soal penolakan warga Kecamatan Tamalanrea terhadap rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Appi menyebut Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar masih menunggu peraturan presiden (perpres) baru terkait proyek tersebut sebelum melangkah lebih jauh.
“Saya saat ini masih menunggu perpres baru yang akan keluar. Karena ada beberapa perubahan-perubahan yang ada di dalamnya yang harus kita bandingkan dengan yang lainnya,” ujar Appi saat menerima audiensi warga Tamalanrea di Balai Kota Makassar, Selasa (19/8/2025).
Appi menilai aturan baru tersebut akan menjadi dasar penting dalam menentukan arah proyek strategis nasional itu. Dia mengaku tidak ingin gegabah melanjutkan proyek jika aturan dasarnya tidak lengkap.
“Kalau tidak, proses pembangunan itu tidak boleh kita lanjutkan karena aturan-aturan yang di-support tidak lengkap dan tidak sesuai dengan kaidah aturan-aturan,” katanya.
Diketahui, Perpres Nomor 35 Tahun 2018 selama ini menjadi payung hukum bagi pelaksanaan proyek PLTSa di 12 kota prioritas, termasuk Makassar. Namun, regulasi itu tengah dibahas untuk direvisi.
Menurut Appi, proyek PLTSa berpotensi membawa dampak lingkungan yang serius. Dia menilai risiko itu bisa muncul sekarang maupun di masa mendatang.
“Kalau ini dipaksakan, ya, tentu akan berdampak. Dampaknya apakah dampak sekarang, dampak yang akan datang, kita tidak tahu. Tapi, dampaknya akan ada,” ucapnya.
Appi menegaskan pihaknya juga sedang melakukan kajian mendalam terhadap proyek tersebut. Salah satu hal yang ditelaah adalah kemampuan sampah Makassar untuk dijadikan bahan bakar PLTSa.
“Begini, proses pembangunan tenaga sampah yang akan menghasilkan 20-25 MW (megawatt) untuk membakar sampah dengan 1.000-1.300 ton, tidak semua sampah ini bisa menjadi bahan bakar. Perlu kita ingat, bahwa sampah Kota Makassar lebih dari 50 persen adalah sampah organik,” bebernya.
Dia pun mempertanyakan kelayakan proyek jika bahan baku sampah di Makassar tidak mencukupi. Menurutnya, hal itu justru bisa menambah beban keuangan daerah.
“Apakah dengan sampah ini masih cukup untuk membagikan 25 MW? Kalau tidak cukup, perjanjiannya apakah pemerintah kota lagi harus menambah itu untuk mencukupkan itu?” tambahnya.
Selain itu, Appi mengaku lebih cenderung mendorong pengelolaan sampah di tingkat tempat pembuangan akhir (TPA). Dia yakin jika pengelolaan berjalan maksimal, kebutuhan PLTSa bisa ditekan.
“Maksudnya, kenapa kita tidak kelola ini di tempat sampahnya saja? Supaya tidak ada lagi biaya pengangkutan,” sebut Appi.
Appi melanjutkan tidak bisa serta-merta menyalahkan proses perizinan yang sudah terbit sebelum dirinya menjabat Wali Kota Makassar. Namun, dia berharap aturan baru bisa lebih berpihak pada masyarakat Makassar.
“Saya tidak bisa juga menyalahkan izin telanjur sebelum saya (jadi Wali Kota Makassar). Tapi, saya mau meluruskan mudah-mudahan perpres yang mengatur ini bisa berpihak kepada kita. Supaya kalau bisa, kita kelola sampah sendiri,” paparnya.
Appi menyebut sudah ada komunikasi dengan kementerian terkait mengenai nasib PLTSa Makassar. Dia mengaku akan membicarakan persoalan ini lebih lanjut dalam pertemuan bersama pemerintah pusat.
“Kami dengar informasi sebelum 26 Agustus kami akan dipanggil ke Jakarta dengan beberapa daerah lain. Saya akan membicarakan ini sebagai isi utama di proses pembangunan PLTS di Makassar,” ungkapnya.
Appi menegaskan bahwa investasi tidak boleh merugikan masyarakat. Dia menyebut lebih baik proyek dihentikan jika justru menimbulkan masalah.
“Kalau ada yang harus dirugikan, lebih bagus tidak ada investasi daripada masyarakat kita bermasalah,” tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, warga Tamalanrea bersikeras menolak rencana pembangunan PLTSa di wilayah mereka. Kehadiran PLTSa diyakini bisa berdampak buruk bagi warga sekitar.
Warga Tamalanrea, Dadang Anugerah, mengatakan lokasi PLTSa di kelilingi perumahan, area publik, dan kawasan pemerintahan. Bahkan, ada rumah warga yang berbatasan langsung dengan lokasi pembangunan PLTSa.
“Kalau kita melihat bangunannya, nanti akan ada cerobong asap dari proses pembakaran sampah. Kalau berdasarkan referensi, (asap) bisa memberi dampak (pencemaran udara) kurang lebih 1 km, jadi radius 1 km,” ujar Dadang dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi C DPRD Makassar, Selasa (5/8).
Pencemaran udara itu, kata Dadang, akan berlangsung selama 30 tahun sesuai kontrak yang dipegang PT Sarana Utama Synergy (SUS). Dia menegaskan warga tidak menolak kehadiran teknologi pengolahan sampah, tapi keberadaannya tidak semestinya berada di tengah permukiman padat.
“Kami mendukung PLTSa, tapi bukan di tengah rumah warga. Ini menyangkut kesehatan anak-cucu kami. Katanya izin operasional 30 tahun. Itu berarti selama tiga dekade kami harus menghirup udara tercemar setiap hari dari 1.300 ton sampah yang diolah,” pungkasnya.
Harap Aturan Berpihak ke Masyarakat
Appi menegaskan bahwa investasi tidak boleh merugikan masyarakat. Dia menyebut lebih baik proyek dihentikan jika justru menimbulkan masalah.
“Kalau ada yang harus dirugikan, lebih bagus tidak ada investasi daripada masyarakat kita bermasalah,” tegasnya.
Sumber: Giok4D, portal informasi terpercaya.
Diberitakan sebelumnya, warga Tamalanrea bersikeras menolak rencana pembangunan PLTSa di wilayah mereka. Kehadiran PLTSa diyakini bisa berdampak buruk bagi warga sekitar.
Warga Tamalanrea, Dadang Anugerah, mengatakan lokasi PLTSa di kelilingi perumahan, area publik, dan kawasan pemerintahan. Bahkan, ada rumah warga yang berbatasan langsung dengan lokasi pembangunan PLTSa.
“Kalau kita melihat bangunannya, nanti akan ada cerobong asap dari proses pembakaran sampah. Kalau berdasarkan referensi, (asap) bisa memberi dampak (pencemaran udara) kurang lebih 1 km, jadi radius 1 km,” ujar Dadang dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi C DPRD Makassar, Selasa (5/8).
Pencemaran udara itu, kata Dadang, akan berlangsung selama 30 tahun sesuai kontrak yang dipegang PT Sarana Utama Synergy (SUS). Dia menegaskan warga tidak menolak kehadiran teknologi pengolahan sampah, tapi keberadaannya tidak semestinya berada di tengah permukiman padat.
“Kami mendukung PLTSa, tapi bukan di tengah rumah warga. Ini menyangkut kesehatan anak-cucu kami. Katanya izin operasional 30 tahun. Itu berarti selama tiga dekade kami harus menghirup udara tercemar setiap hari dari 1.300 ton sampah yang diolah,” pungkasnya.