Polisi menetapkan 29 tersangka kerusuhan yang berujung pembakaran gedung dan DPRD Sulawesi Selatan (Sulsel). Para tersangka tidak hanya merusak dan membakar kantor, melainkan ikut menjarah fasilitas dari gedung dewan perwakilan rakyat tersebut.
Diketahui, kericuhan terjadi saat aksi demonstrasi di Makassar pada Jumat (29/8) malam. Massa lebih dulu membakar gedung DPRD Makassar hingga 3 orang tewas, setelah itu giliran kantor DPRD Sulsel meski tidak menimbulkan korban jiwa.
“Polda Sulawesi Selatan telah mengamankan total 29 orang yang juga ditetapkan sebagai tersangka,” kata Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Didik Supranoto saat konferensi pers di Mapolda Sulsel, Kamis (4/9/2025).
Data dari Polda Sulsel, tersangka berasal dari latar belakang berbeda mulai dari mahasiswa, pelajar, juru parkir, buruh bangunan hingga petugas kebersihan. Dirangkum infoSulsel, berikut 7 fakta kerusuhan saat aksi unjuk rasa berujung gedung DPRD Sulsel dan DPRD Sulsel dibakar:
Data dari Polda Sulsel, 6 orang dari 29 tersangka merupakan anak di bawah umur. Khusus kericuhan di DPRD Sulsel, melibatkan 14 tersangka, yakni RN (19), RHM (22), MIS (17), RND (21), MR (20), AFJ (23), SNK (22), AFR (20), MRD (18), MRZ (20), MHS (21), AMM (22), MAR (21) dan AY (23).
“Perusakan kantor DPRD Provinsi ditangani oleh Ditkrimum (Polda Sulsel) ini mengamankan 14 orang yang terdiri dari 13 dewasa dan 1 anak atau di bawah umur,” ungkap Didik.
Sementara tersangka kerusuhan di DPRD Makassar masing-masing berinisial MYR (31), AG (30), GSL (18), MAP (20), ASW (18), MS (23), FTR (16), MAF (16), RMT (19), ZM (22), MI (22), FDL (18), MAY (15), IA (16) dan MNF (17). Para tersangka diamankan Polrestabes Makassar.
“Kemudian yang Polrestabes Makassar mengamankan atau menangani kasus (kericuhan di DPRD Makassar) dengan jumlah tersangka ada 15. (Rinciannya) 10 dewasa dan 5 anak-anak atau di bawah umur,” tutur Didik.
Para tersangka dijerat pasal berbeda sesuai tindak pidana yang dilakukan. Didik mengatakan, tersangka ada yang dijerat pasal 64 KUHP (perbuatan berlanjut/bersekutu), pasal 187 (pembakaran), pasal 170 (penganiayaan bersama-sama).
Selain itu ada yang disangkakan pasal 406 KUHP (perusakan barang), pasal 363 (pencurian dengan pemberatan), pasal 480 (penadahan) dan pasal 45A ayat 2 UU ITE (ujaran kebencian). Adapula yang dijerat pasal 160 KUHP (penghasutan).
Tersangka pembakaran yang aksinya menimbulkan kerusakan barang terancam hukuman penjara 12 tahun, sedangkan apabila membahayakan nyawa terancam 15 tahun bui. Sementara tersangka penghasutan terancam hukuman 4 tahun penjara.
“Kemungkinan (tersangka kerusuhan di DPRD Makassar dan DPRD Sulsel) bertambah, karena sampai sekarang kita tetap mengembangkan kasus ini,” tegas Didik.
Didik mengatakan, penyidik mendalami dugaan adanya aktor intelektual di balik kerusuhan di DPRD Sulsel dan DPRD Makassar. Pihaknya masih mendalami keterangan dari 29 tersangka.
“Jadi sampai dengan sekarang pihak kepolisian masih melakukan pendalaman apakah ada aktor intelektualnya dan siapa orangnya. Nah ini masih terus melakukan penyelidikan,” jelasnya.
Penyidik mengamankan sejumlah barang bukti dari kasus ini termasuk flashdisk berisi rekaman CCTV. Rekaman itu menjadi petunjuk polisi dalam menangkap para tersangka termasuk mengidentifikasi siaran langsung atau live di media sosial.
“Tadi kita sampaikan ada flashdisk yang isinya semua rekaman CCTV dan juga kita menganalisa dari semua media sosial yang waktu itu sedang live,” tambah Didik.
Dari 15 tersangka kerusuhan di DPRD Makassar, 5 di antaranya teridentifikasi terlibat langsung membakar gedung anggota dewan perwakilan rakyat. Mereka juga diduga melakukan tindak pidana kekerasan terhadap orang atau barang.
“Untuk DPRD Kota Makassar itu ada 5 orang pelaku pembakarannya, dan untuk pasal dikenakan adalah 187 dan 170 KUHP,” ungkap Arya saat konferensi pers di Mapolda Sulsel, Kamis (4/9).
Menurut Arya, gedung DPRD Makassar dibakar setelah dilempari bom molotov. Kerusuhan di kantor tersebut juga memicu aksi pencurian hingga penjarahan terhadap fasilitas DPRD Makassar.
“Kalau sementara yang kami dalami pembakaran itu menggunakan bom molotov. Tapi kalau untuk siapa yang menyuruh, tentu ini masih dilakukan pendalaman dari Dirkrimum dan Satreskrim untuk aktor intelektual yang berada di belakangnya,” jelasnya.
Usut punya usut, pembakaran gedung DPRD Makassar turut dipicu ulah dua tersangka berinisial MI (22) dan ZM (22) yang menghasut massa lewat siaran langsung atau live TikTok. Kedua tersangka disangkakan pasal 160 KUHP setelah mengajak orang berbuat kericuhan.
“Pasal 160 penghasutan itu harus ada akibat yang ditimbulkan. Penghasutan yang dilakukan adalah menggunakan handphone dengan media sosial tertentu, sehingga pada saat itu mengajak orang datang melakukan tindak pidana pembakaran dan sebagainya,” tuturnya.
Provokasi kedua tersangka membuat massa melakukan perusakan terhadap fasilitas yang berada di kantor DPRD Makassar. Tersangka yang melakukan provokasi turut melanggar Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Orang-orang datang ke tempat tersebut dan ini ada akibat yang ditimbulkan yaitu kebakaran dari gedung dan ada nyawa yang melayang. Sehingga itu dikenakan pasal 160 dan juga Undang-Undang ITE di Pasal 45 ayat 2,” ucap Arya.
Arya mengungkap upaya pemadaman kebakaran gedung DPRD Makassar dan DPRD Sulsel dihalangi massa. Arya mulanya sempat meminta bantuan TNI untuk mengamankan lokasi sekaligus membuka akses jalan agar pemadam kebakaran (damkar) menuju lokasi.
“Namun demikian memang TNI yang menuju ke sana pada saat itu juga sudah terhalang oleh massa. Jadi tidak ada yang bisa membantu untuk membuka jalan termasuk damkar pada waktu itu,” ujar Arya.
Arya mengatakan, massa dengan sengaja menghalangi petugas agar tidak bisa menembus lokasi kebakaran. Kondisi itu membuat rencana pemadaman api menjadi terhambat.
“Ini memang sengaja dihalangi oleh massa supaya tidak bisa sampai ke sana (lokasi kebakaran gedung DPRD Makassar dan DPRD Sulsel),” imbuhnya.
Arya turut menanggapi isu polisi tidak berada di lokasi saat demo ricuh berujung pembakaran gedung DPRD Sulsel dan DPRD Makassar. Dia menepis informasi itu dengan dalih ratusan personel sebenarnya sudah disiagakan di dua lokasi.
“Di DPRD Provinsi sendiri ada sekitar 200 lebih pasukan dan di DPRD Kota ini ada juga 130 pasukan lebih. Namun demikian karena massa yang semakin banyak dan memang target mereka pada saat itu adalah polisi. Mereka mencari polisi-polisi berseragam,” ujar Arya.
Kekuatan personel kepolisian dinilai kalah jauh dibanding massa. Pihaknya memperkirakan jumlah massa ada ribuan orang sehingga polisi berseragam terkesan tidak nampak di lokasi.
“Jadi (jumlah massa) di DPRD Provinsi ada sekitar 2.000, di DPRD Kota juga sekitar 3.000. Nah inilah yang menyebabkan mungkin rekan-rekan melihat tidak terlihat pasukan kami di sana karena memang sudah menjadi target,” pungkasnya.
1. 6 Anak di Bawah Umur Terlibat
2. Jumlah Tersangka Potensi Bertambah
3. Polisi Usut Aktor Intelektual Kerusuhan
4. DPRD Makassar Dibakar Pakai Molotov
5. Modus Provokasi Lewat Live TikTok
6. Upaya Pemadaman Dihalangi Massa
7. Kondisi Polisi Saat Pengamanan Demo
Didik mengatakan, penyidik mendalami dugaan adanya aktor intelektual di balik kerusuhan di DPRD Sulsel dan DPRD Makassar. Pihaknya masih mendalami keterangan dari 29 tersangka.
“Jadi sampai dengan sekarang pihak kepolisian masih melakukan pendalaman apakah ada aktor intelektualnya dan siapa orangnya. Nah ini masih terus melakukan penyelidikan,” jelasnya.
Penyidik mengamankan sejumlah barang bukti dari kasus ini termasuk flashdisk berisi rekaman CCTV. Rekaman itu menjadi petunjuk polisi dalam menangkap para tersangka termasuk mengidentifikasi siaran langsung atau live di media sosial.
“Tadi kita sampaikan ada flashdisk yang isinya semua rekaman CCTV dan juga kita menganalisa dari semua media sosial yang waktu itu sedang live,” tambah Didik.
Dari 15 tersangka kerusuhan di DPRD Makassar, 5 di antaranya teridentifikasi terlibat langsung membakar gedung anggota dewan perwakilan rakyat. Mereka juga diduga melakukan tindak pidana kekerasan terhadap orang atau barang.
“Untuk DPRD Kota Makassar itu ada 5 orang pelaku pembakarannya, dan untuk pasal dikenakan adalah 187 dan 170 KUHP,” ungkap Arya saat konferensi pers di Mapolda Sulsel, Kamis (4/9).
Menurut Arya, gedung DPRD Makassar dibakar setelah dilempari bom molotov. Kerusuhan di kantor tersebut juga memicu aksi pencurian hingga penjarahan terhadap fasilitas DPRD Makassar.
“Kalau sementara yang kami dalami pembakaran itu menggunakan bom molotov. Tapi kalau untuk siapa yang menyuruh, tentu ini masih dilakukan pendalaman dari Dirkrimum dan Satreskrim untuk aktor intelektual yang berada di belakangnya,” jelasnya.
Usut punya usut, pembakaran gedung DPRD Makassar turut dipicu ulah dua tersangka berinisial MI (22) dan ZM (22) yang menghasut massa lewat siaran langsung atau live TikTok. Kedua tersangka disangkakan pasal 160 KUHP setelah mengajak orang berbuat kericuhan.
“Pasal 160 penghasutan itu harus ada akibat yang ditimbulkan. Penghasutan yang dilakukan adalah menggunakan handphone dengan media sosial tertentu, sehingga pada saat itu mengajak orang datang melakukan tindak pidana pembakaran dan sebagainya,” tuturnya.
Provokasi kedua tersangka membuat massa melakukan perusakan terhadap fasilitas yang berada di kantor DPRD Makassar. Tersangka yang melakukan provokasi turut melanggar Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Orang-orang datang ke tempat tersebut dan ini ada akibat yang ditimbulkan yaitu kebakaran dari gedung dan ada nyawa yang melayang. Sehingga itu dikenakan pasal 160 dan juga Undang-Undang ITE di Pasal 45 ayat 2,” ucap Arya.
3. Polisi Usut Aktor Intelektual Kerusuhan
4. DPRD Makassar Dibakar Pakai Molotov
5. Modus Provokasi Lewat Live TikTok
Arya mengungkap upaya pemadaman kebakaran gedung DPRD Makassar dan DPRD Sulsel dihalangi massa. Arya mulanya sempat meminta bantuan TNI untuk mengamankan lokasi sekaligus membuka akses jalan agar pemadam kebakaran (damkar) menuju lokasi.
“Namun demikian memang TNI yang menuju ke sana pada saat itu juga sudah terhalang oleh massa. Jadi tidak ada yang bisa membantu untuk membuka jalan termasuk damkar pada waktu itu,” ujar Arya.
Arya mengatakan, massa dengan sengaja menghalangi petugas agar tidak bisa menembus lokasi kebakaran. Kondisi itu membuat rencana pemadaman api menjadi terhambat.
“Ini memang sengaja dihalangi oleh massa supaya tidak bisa sampai ke sana (lokasi kebakaran gedung DPRD Makassar dan DPRD Sulsel),” imbuhnya.
Arya turut menanggapi isu polisi tidak berada di lokasi saat demo ricuh berujung pembakaran gedung DPRD Sulsel dan DPRD Makassar. Dia menepis informasi itu dengan dalih ratusan personel sebenarnya sudah disiagakan di dua lokasi.
“Di DPRD Provinsi sendiri ada sekitar 200 lebih pasukan dan di DPRD Kota ini ada juga 130 pasukan lebih. Namun demikian karena massa yang semakin banyak dan memang target mereka pada saat itu adalah polisi. Mereka mencari polisi-polisi berseragam,” ujar Arya.
Kekuatan personel kepolisian dinilai kalah jauh dibanding massa. Pihaknya memperkirakan jumlah massa ada ribuan orang sehingga polisi berseragam terkesan tidak nampak di lokasi.
“Jadi (jumlah massa) di DPRD Provinsi ada sekitar 2.000, di DPRD Kota juga sekitar 3.000. Nah inilah yang menyebabkan mungkin rekan-rekan melihat tidak terlihat pasukan kami di sana karena memang sudah menjadi target,” pungkasnya.