Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengkritik kepemilikan saham dan jabatan strategis Gubernur Maluku Utara (Malut) Sherly Tjoanda atas lima perusahaan tambang di Malut. Kondisi ini dinilai dapat menimbulkan konflik kepentingan serta bertentangan dengan Undang-undang administrasi pemerintahan.
“Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan yang secara tegas melarang pejabat publik melakukan tindakan yang berindikasi pada konflik kepentingan, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat 2,” ujar Koordinator JATAM Melky Nahar dalam keterangannya, dikutip Sabtu (15/11/2025).
Melky juga menyinggung Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 76 ayat 1 huruf c, secara spesifik melarang kepala daerah merangkap jabatan sebagai pengurus perusahaan swasta atau milik negara.
“Artinya, rangkap jabatan antara gubernur dan pemilik atau direktur (perusahaan tambang) adalah praktik yang dilarang dan dapat dikenakan sanksi administratif hingga pemberhentian sementara, sesuai mekanisme hukum,” ujar Melky.
Melky mengatakan bahwa larangan rangkap jabatan juga tersirat dalam peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor 2 Tahun 2020. Aturan tersebut menekankan larangan tegas bagi pejabat publik, agar tidak memiliki kepentingan pribadi yang dapat mempengaruhi kebijakan atau keputusan.
“Jika terjadi, maka hal tersebut masuk kategori pelanggaran etika hingga berpotensi melahirkan tindak pidana korupsi, sekaligus menjadi preseden buruk bagi kepercayaan publik kepada pemerintah,” ujarnya.
Menurut Melky, posisi Sherly sebagai gubernur sekaligus aktor utama dalam gurita bisnis pertambangan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan, manipulasi kebijakan, hingga ketidakadilan ekonomi semakin terbuka lebar. Itu berarti, kata Melky, prinsip netralitas dan objektivitas dapat mempengaruhi setiap keputusan.
“Praktik kepemilikan dan pengelolaan bisnis tambang kepala daerah seperti Gubernur Sherly, berpotensi mempengaruhi netralitas dan objektivitas keputusan pemerintah. Jelas ini melanggar prinsip pemerintah yang bebas dari kepentingan pribadi,” imbuh Melky.
Sebelumnya diberitakan, JATAM melaporkan perusahaan tambang milik Sherly terdiri dari PT Karya Wijaya dan PT Bela Kencana yang bergerak di bidang tambang nikel, dan PT Bela Sarana Permai merupakan perusahaan tambang pasir. Sementara 2 perusahaan lainnya bergerak pada pertambangan emas, yakni PT Amazing Tabara dan PT Indonesia Mas Mulia.
Melky Nahar menjelaskan bahwa kelima perusahaan tambang itu berada di bawah PT Bela Group, sebuah grup yang dimiliki Sherly dan sejumlah keluarganya. Khusus Sherly, kata Melky, tercatat memiliki 25,5 persen saham di PT Bela Group, sekaligus menjabat sebagai direktur perusahaan tersebut.
“Sherly juga tercatat sebagai direktur sekaligus pemegang saham 25,5 persen di PT Bela Group, perusahaan induk yang menaungi beragam lini bisnis keluarga Laos,” ungkap Melky.







