Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi.
Peribahasa ‘sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui’ sering dipahami sebagai harapan bahwa satu proses mampu menghasilkan banyak kebaikan sekaligus. Dalam konteks pemilihan rektor perguruan tinggi, peribahasa ini merepresentasikan ekspektasi bahwa satu mekanisme demokratik bukan hanya melahirkan pemimpin, tetapi juga memperkuat kepercayaan, etika, dan martabat institusi. Hal itu pula yang menjadi harapan sebagian besar pemangku kepentingan dari Pemilihan Rektor (Pilrek) Universitas Hasanuddin (Unhas) yang rencananya akan dilaksanakan pada Januari 2026.
Pada dasarnya mekanisme tersebut berakhir dengan baik sampai ke tahap pemilihan di tingkat Senat Akademik (SA) di mana hasilnya menggambarkan peta dan konstalasi baru antara Jamaluddin Jompa yang mengantongi 74 suara, versus Budu yang memiliki 18 suara, versus Sukardi Weda yang bermodal 1 suara. Komposisi yang kurang berimbang tersebut pada akhirnya mengkristal menjadi ‘konstalasi diadik’ antara Jamaluddin Jompa dan Budu, beberapa waktu setelah Majelis Wali Amanat (MWA) secara resmi menerima pengusulan Panitia Pilrek.
Dari sisi kontestan, semua memperlihatkan jiwa besar, mereka–legowo, yang merasa kalah mengakui pemenang, bahkan secara khusus, Budu dan Jompa beberapa kali terlihat bersama dalam beberapa kesempatan. Mereka berdua sepertinya telah melupakan rivalitas yang terbangun sejak beberapa tahun sebelumnya.
Dari beberapa informasi yang valid, MWA pun telah mempertemukan mereka dalam sebuah sesi penjajakan potensi aklamasi yang damai. Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek) Brian Yuliarto, Senin lalu (22/12) juga telah memberikan briefing menjelang sesi wawancara khusus kepada para calon Rektor Unhas. Sungguh indah dan elegan proses tersebut berlangsung, hingga pada suatu waktu terjadilah beberapa peristiwa yang tidak diinginkan semua pihak.
Rentetan peristiwa itu diawali oleh beredarnya secara luas sebuah gambar dokumen yang diunggah oleh akun media sosial sebuah organ kemahasiswaan tingkat fakultas yang di dalamnya berisi konten sensitif dan kebenarannya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Pihak Humas Unhas telah mengklarifikasi dan dinamika mereda. Namun peristiwa tersebut disusul oleh beberapa peristiwa lain yang telah diketahui oleh publik. Proses ini bukannya memperkokoh reputasi institusi, justru malah membuka ruang kegaduhan, silang pendapat yang tidak produktif, serta kecurigaan yang merembes ke seluruh sendi sivitas akademika.
Dalam sudut pandang saya, persoalan ini tidak dapat dipersempit menjadi sekadar benar atau salahnya satu dokumen, satu prosedur, atau satu aktor. Perguruan tinggi merupakan institusi simbolik. Setiap dinamika internal selalu memiliki resonansi eksternal. Cara pandang Habermasian menekankan, bahwa ruang publik yang sehat ditandai oleh argumentasi berbasis alasan, bukan oleh dominasi kecurigaan. Dukungan rasional kepada kepemimpinan yang memiliki rekam jejak prestasi justru merupakan bagian dari tanggung jawab intelektual. Kegaduhan di ruang publik, mempertaruhkan bukan hanya legitimasi hasil pilrek, melainkan kepercayaan jangka panjang terhadap universitas sebagai penjaga nalar publik.
Burton R. Clark dalam The Higher Education System menegaskan bahwa universitas hidup dari kepercayaan publik (public trust), reputasi yang dibangun secara perlahan dan lama, dapat runtuh dengan cepat ketika kepercayaan itu tergerus. Perguruan tinggi adalah gudangnya nilai moral. Mulai dari memproduksi ilmu pengetahuan, hingga menjaga nilai-nilai integritas, rasionalitas, dan etika publik. Karena itu, setiap proses politik yang ada di dalamnya, termasuk Pilrek, memiliki standar yang lebih tinggi dibanding arena politik praktis lainnya.
Oleh karena itu, katakanlah Pilrek adalah proses politik, maka standar Pilrek lebih tinggi dibanding dengan arena politik praktis lainnya karena aspek moral-etik yang hadir tadi. Jika kemudian ada riak dan dinamika politik yang mirip dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), lengkap dengan kampanye hitamnya, maka tentu dalam konstalasi diadik/head to head, aktor yang bermain bukanlah petahana, melainkan aktor lain yang berkemampuan memainkan narasi tersebut, mengingat petahana memiliki hampir semua prasyarat untuk dapat duduk kembali. Pertanyaannya, kalau bukan petahana, lalu siapa?
Menuju Januari 2026, situasi ini tentu membutuhkan solusi. Namun solusinya diharapkan dapat lebih bersifat reflektif ketimbang teknis. Pilrek Unhas bukan sekadar kontestasi jabatan Rektor, akan tetapi lebih kepada momentum refleksi. Apakah Unhas ingin menjaga arah kemajuan yang telah dicapai, atau mau terjebak dalam kegaduhan yang lambat laun dapat menggerus kepercayaan publik.
Keberpihakan yang rasional tentu akan berpijak pada memori kelembagaan, pada prestasi yang telah diraih, dan pada keyakinan bahwa kepemimpinan yang kuat justru merupakan aset, dan bukanlah beban. MWA adalah representasi rasional, sekaligus moral dan etik dalam perguruan tinggi seperti Unhas. Sudahi menepuk air di dulang, sebab niscaya akan terpercik ke muka sendiri.
Mari kembali kepada tradisi luhur. Sudah saatnya kita mengakhiri segala drama ini dan kembali bekerja. Lanjutkan momentum, jaga integritas, dan biarkan karya nyata yang bicara. Dalam suasana air yang beriak, justru sikap tenang dan nalar panjang yang paling dibutuhkan, bukan seperti sikap konsultan politik yang lebih banyak memainkan bola-bola pendek untuk kepentingan sesaat.
Oleh: Arief Wicaksono
Alumni Unhas, Dekan FISIP 2016-2018, 2018-2022
Awal Kegaduhan
Gudang Nilai Moral dan Etik
Kembali ke Tradisi Luhur
Rentetan peristiwa itu diawali oleh beredarnya secara luas sebuah gambar dokumen yang diunggah oleh akun media sosial sebuah organ kemahasiswaan tingkat fakultas yang di dalamnya berisi konten sensitif dan kebenarannya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Pihak Humas Unhas telah mengklarifikasi dan dinamika mereda. Namun peristiwa tersebut disusul oleh beberapa peristiwa lain yang telah diketahui oleh publik. Proses ini bukannya memperkokoh reputasi institusi, justru malah membuka ruang kegaduhan, silang pendapat yang tidak produktif, serta kecurigaan yang merembes ke seluruh sendi sivitas akademika.
Dalam sudut pandang saya, persoalan ini tidak dapat dipersempit menjadi sekadar benar atau salahnya satu dokumen, satu prosedur, atau satu aktor. Perguruan tinggi merupakan institusi simbolik. Setiap dinamika internal selalu memiliki resonansi eksternal. Cara pandang Habermasian menekankan, bahwa ruang publik yang sehat ditandai oleh argumentasi berbasis alasan, bukan oleh dominasi kecurigaan. Dukungan rasional kepada kepemimpinan yang memiliki rekam jejak prestasi justru merupakan bagian dari tanggung jawab intelektual. Kegaduhan di ruang publik, mempertaruhkan bukan hanya legitimasi hasil pilrek, melainkan kepercayaan jangka panjang terhadap universitas sebagai penjaga nalar publik.
Burton R. Clark dalam The Higher Education System menegaskan bahwa universitas hidup dari kepercayaan publik (public trust), reputasi yang dibangun secara perlahan dan lama, dapat runtuh dengan cepat ketika kepercayaan itu tergerus. Perguruan tinggi adalah gudangnya nilai moral. Mulai dari memproduksi ilmu pengetahuan, hingga menjaga nilai-nilai integritas, rasionalitas, dan etika publik. Karena itu, setiap proses politik yang ada di dalamnya, termasuk Pilrek, memiliki standar yang lebih tinggi dibanding arena politik praktis lainnya.
Oleh karena itu, katakanlah Pilrek adalah proses politik, maka standar Pilrek lebih tinggi dibanding dengan arena politik praktis lainnya karena aspek moral-etik yang hadir tadi. Jika kemudian ada riak dan dinamika politik yang mirip dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), lengkap dengan kampanye hitamnya, maka tentu dalam konstalasi diadik/head to head, aktor yang bermain bukanlah petahana, melainkan aktor lain yang berkemampuan memainkan narasi tersebut, mengingat petahana memiliki hampir semua prasyarat untuk dapat duduk kembali. Pertanyaannya, kalau bukan petahana, lalu siapa?
Awal Kegaduhan
Gudang Nilai Moral dan Etik
Menuju Januari 2026, situasi ini tentu membutuhkan solusi. Namun solusinya diharapkan dapat lebih bersifat reflektif ketimbang teknis. Pilrek Unhas bukan sekadar kontestasi jabatan Rektor, akan tetapi lebih kepada momentum refleksi. Apakah Unhas ingin menjaga arah kemajuan yang telah dicapai, atau mau terjebak dalam kegaduhan yang lambat laun dapat menggerus kepercayaan publik.
Keberpihakan yang rasional tentu akan berpijak pada memori kelembagaan, pada prestasi yang telah diraih, dan pada keyakinan bahwa kepemimpinan yang kuat justru merupakan aset, dan bukanlah beban. MWA adalah representasi rasional, sekaligus moral dan etik dalam perguruan tinggi seperti Unhas. Sudahi menepuk air di dulang, sebab niscaya akan terpercik ke muka sendiri.
Mari kembali kepada tradisi luhur. Sudah saatnya kita mengakhiri segala drama ini dan kembali bekerja. Lanjutkan momentum, jaga integritas, dan biarkan karya nyata yang bicara. Dalam suasana air yang beriak, justru sikap tenang dan nalar panjang yang paling dibutuhkan, bukan seperti sikap konsultan politik yang lebih banyak memainkan bola-bola pendek untuk kepentingan sesaat.
Oleh: Arief Wicaksono
Alumni Unhas, Dekan FISIP 2016-2018, 2018-2022







