Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan (Sulsel) buka suara soal fenomena penampilan jemaah haji yang pulang dari tanah suci kerap mengenakan perhiasan hingga busana glamor. MUI menilai hal itu adalah bagian dari adat, namun di satu sisi perlu dibatasi agar tidak berlebihan.
“Mereka yang kembali dari tanah suci, ya, mereka mengungkapkan kegembiraannya bertemu dengan keluarganya,” ujar Sekretaris Komisi Fatwa MUI Sulsel Syamsul Bahri Abd Hamid kepada infoSulsel, Jumat (14/6/2025).
Menurut Syamsul, tiap daerah memiliki kebiasaan masing-masing. Di Sulsel, misalnya, cukup lazim melihat jemaah haji mengenakan pakaian yang ditambah perhiasan saat kembali dari ibadah haji.
“Sebagaimana adatnya, setiap insan itu memiliki adat berbeda-beda, kalau di Sulawesi mungkin mereka banyak, ya, tidak semua juga berpakaian yang pantas kemudian ditambah dengan perhiasan-perhiasan,” katanya.
Syamsul menilai memakai perhiasan, khususnya bagi perempuan, tidak dilarang dalam Islam. Namun, dia mengingatkan soal adanya batasan.
“Sebenarnya menggunakan perhiasan bukan hal yang dilarang dalam agama. Baguslah untuk wanita apalagi, ya. Tapi, kalau berlebihan, berbangga-bangga, Allah tidak suka kita bangga-bangga,” tutur Syamsul.
“Kemudian, memamerkan, melebih-lebihkan, ini semuanya adalah hal perlu dibatasi. Adapun kalau sedikit-sedikit, misalnya, mungkin bisa tertolerir. Tapi, kalau berlebihan, tidak dianjurkan dalam agama,” sambungnya.
Syamsul menyebut penampilan yang terkesan pamer dan berlebihan sebaiknya dihindari. Menurutnya, itu bukan hanya berlaku saat pulang haji, tetapi juga dalam keseharian.
“Kalau dalam pandangan kita, sebaiknya tidak hanya ketika dari tanah suci, dalam segala tempat kita jangan berlebih-lebihan. Kalau memang ada yang melebih-lebihkan sesuatu, kita anjurkan jangan berlebih-lebihan. Apalagi baru pulang dari haji, baru pulang beribadah,” ucapnya.
Soal langkah dari MUI, Syamsul mengungkapkan belum ada rencana menerbitkan fatwa atau maklumat khusus terkait hal ini. Dia menilai hal ini masih dalam ranah adat, bukan sesuatu yang darurat secara keagamaan.
“Biasanya kalau fatwa itu keluar kalau ada yang meminta fatwa, ada hal yang mendesak, atau berkenaan dengan hal kondisi umum yang merusak atau yang membuat sesuatu tidak baik dalam kehidupan masyarakat. Kalau seperti ini hanya sifatnya imbauan-imbauan saja, nasihat-nasihat saja,” jelasnya.
Di sisi lain, Syamsul menilai perlu ada edukasi kepada masyarakat terkait penampilan jemaah haji usai pulang dari tanah suci. Menurutnya, perilaku berlebihan dalam menunjukkan kemewahan kerap terjadi karena kurangnya pemahaman atau edukasi.
“Perlu edukasi itu masyarakat. Kadang-kadang mereka yang berlebih-lebihan itu kurang edukasi,” sebutnya.
Diberitakan sebelumnya, sebanyak 392 jemaah haji kelompok terbang (kloter) kedua debarkasi Makassar telah tiba di Asrama Haji Sudiang, Makassar pada Kamis (12/6). Sejumlah jemaah tampil mencolok dengan busana glamor dibalut perhiasan sepulang dari tanah suci.
Beberapa jemaah wanita tampak mencolok dengan kebaya berhias manik-manik. Tak sedikit pula yang tampil glamor dengan perhiasan mencolok di tangan dan leher.
“Iya, harus wajib setiap tahunnya itu jemaah haji Pinrang harus pakai pakaian begini toh. Kan, ciri khas bugis Pinrang,” ujar salah satu jemaah haji asal Kabupaten Pinrang, Santi (41), kepada infoSulsel, Kamis (12/6).
Santi mengatakan pakaian yang dikenakan jemaah telah digunakan sejak dari Bandara Madinah, Arab Saudi. Dia menyebut pakaian itu sengaja tidak diganti hingga tiba di Asrama Haji Sudiang.
“Dari bandara Madinah dipakai memang sampai sekarang,” katanya.