yang mengakibatkan suhu udara semakin dingin pada malam hingga pagi hari melanda Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Di balik fenomena Bediding itu, cuaca dingin ternyata berpotensi menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Wilayah IV Makassar melaporkan suhu udara yang semakin dingin di Sulsel, utamanya di Makassar terjadi beberapa hari terakhir pada Juli 2025. BMKG mencatat suhu terendah pernah mencapai 21 derajat celcius.
“Beberapa waktu terakhir ini kondisi suhu mengalami penurunan, khususnya Makassar yang biasanya suhu rendah 24 derajat celcius, sekarang bisa 21 derajat,” ujar Prakirawan BMKG Wilayah IV Makassar Muhammad Sultan Djakaria Sultan kepada infoSulsel, Jumat (18/7/2025).
Sultan mengatakan, kondisi suhu yang mengalami penurunan terjadi pada malam hingga pagi hari. Namun cuaca dingin tersebut tidak selalu terjadi setiap hari.
“Umumnya terjadi saat malam hingga pagi hari, saat tidak adanya penyinaran matahari. Tetapi udara dingin ini tidak juga selalu akan terjadi tiap hari,” ucapnya.
BMKG melaporkan fenomena Bediding terjadi di sejumlah provinsi di Indonesia, termasuk Sulsel. Fenomena ini ditandai dengan udara pada malam hingga pagi hari yang terasa lebih dingin.
“Bediding, kondisi dimana suhu dingin, faktor utamanya karena massa udara dingin dari Australia yang bergerak melintasi wilayah Indonesia,” tulis BMKG Wilayah IV Makassar dalam keterangannya, Sabtu (19/7).
Angin ini membawa massa udara kering dan dingin sehingga memperkuat efek pendinginan suhu. Situasi ini khususnya terjadi di wilayah Indonesia bagian selatan.
“Pada periode musim kemarau yang umumnya terjadi di bulan Juli-Agustus, massa udara yang melintas di Indonesia banyaknya dari Australia yang saat itu juga sedang mengalami musim dingin,” tulis BMKG.
Fenomena Bediding dalam konteks klimatologi merupakan hal yang alamiah. BMKG memperkirakan fenomena Bediding akan terjadi hingga September 2025.
“Diperkirakan hal ini akan berlangsung hingga bulan September,” ungkap BMKG Wilayah IV Makassar dalam keterangannya.
Perubahan suhu ekstrem di balik fenomena Bediding dinilai berpotensi menimbulkan dampak terhadap kesehatan masyarakat. Fenomena Bediding dapat memicu berbagai gangguan kesehatan, terutama pada kelompok rentan seperti anak-anak, lanjut usia, serta penderita penyakit kronis.
“Saat malam dan dini hari, suhu bisa turun secara drastis hingga di bawah 18 derajat Celsius. Kondisi ini bisa menyebabkan penurunan sistem imun, sehingga tubuh lebih rentan terhadap serangan virus dan bakteri,” ungkap pemerhati kesehatan, dr Wachyudi dalam keterangannya, Sabtu (19/7).
Wachyudi melanjutkan, suhu dingin yang tidak ditangani dengan perlindungan yang memadai dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Salah satunya, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), seperti flu, batuk, pilek, dan radang tenggorokan
Selain itu berpotensi memicu gangguan eksaserbasi penyakit kronis seperti asma dan PPOK (penyakit paru obstruktif kronik). Dalam konteks penyakit kronis, eksaserbasi mengacu pada peningkatan intensitas gejala penyakit tersebut.
Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sulsel ini juga mengingatkan potensi peningkatan tekanan darah yang berisiko pada penderita hipertensi dan penyakit jantung. Suhu dingin juga bisa memicu gangguan tidur dan hipotermia ringan, terutama pada bayi dan lansia.
“Perubahan suhu yang ekstrem memicu stres fisiologis pada tubuh. Bagi penderita penyakit kronis, hal ini bisa menjadi pencetus kekambuhan,” imbuh Wachyudi.
Wachyudi memberikan sejumlah tip agar terhindar dari gangguan kesehatan selama fenomena Bediding. Salah satu cara untuk mengantisipasi cuaca dingin selama periode Bediding yakni dengan menggunakan pakaian hangat dan selimut tebal saat malam hari.
“Mengonsumsi makanan dan minuman hangat serta bergizi untuk menjaga imunitas. Meningkatkan asupan cairan guna menghindari dehidrasi akibat udara kering,” beber Wachyudi.
Wachyudi juga menyarankan untuk menghindari aktivitas fisik berat pada pagi hari, khususnya bagi penderita hipertensi dan jantung. Jika mengalami gejala batuk, demam, atau sesak napas yang berkelanjutan, warga diimbau segera ke fasilitas layanan kesehatan.
Dia juga mengingatkan edukasi masyarakat mengenai fenomena ini perlu terus ditingkatkan. Sosialisasi dan edukasi perlu dimaksimalkan melalui berbagai kanal informasi, termasuk media massa, media sosial, dan fasilitas pelayanan kesehatan.
Wachyudi kembali mengingatkan bahwa fenomena Bediding merupakan peristiwa normal dalam konteks klimatologi. Namun dari sisi medis, penurunan suhu udara di balik fenomena Bediding bisa memicu gangguan kesehatan jika tidak ada antisipasi.
“Bediding bukan sekadar ‘dingin biasa’. Ini fenomena alam yang nyata dan punya implikasi medis. Dengan edukasi dan kesiapsiagaan, kita dapat mengantisipasi dampaknya secara bijak,” jelas Wachyudi.
Fenomena Bediding hingga September
Bediding Bisa Picu Gangguan Kesehatan
Tip Terhindar Penyakit Saat Bediding
Wachyudi memberikan sejumlah tip agar terhindar dari gangguan kesehatan selama fenomena Bediding. Salah satu cara untuk mengantisipasi cuaca dingin selama periode Bediding yakni dengan menggunakan pakaian hangat dan selimut tebal saat malam hari.
“Mengonsumsi makanan dan minuman hangat serta bergizi untuk menjaga imunitas. Meningkatkan asupan cairan guna menghindari dehidrasi akibat udara kering,” beber Wachyudi.
Wachyudi juga menyarankan untuk menghindari aktivitas fisik berat pada pagi hari, khususnya bagi penderita hipertensi dan jantung. Jika mengalami gejala batuk, demam, atau sesak napas yang berkelanjutan, warga diimbau segera ke fasilitas layanan kesehatan.
Dia juga mengingatkan edukasi masyarakat mengenai fenomena ini perlu terus ditingkatkan. Sosialisasi dan edukasi perlu dimaksimalkan melalui berbagai kanal informasi, termasuk media massa, media sosial, dan fasilitas pelayanan kesehatan.
Wachyudi kembali mengingatkan bahwa fenomena Bediding merupakan peristiwa normal dalam konteks klimatologi. Namun dari sisi medis, penurunan suhu udara di balik fenomena Bediding bisa memicu gangguan kesehatan jika tidak ada antisipasi.
“Bediding bukan sekadar ‘dingin biasa’. Ini fenomena alam yang nyata dan punya implikasi medis. Dengan edukasi dan kesiapsiagaan, kita dapat mengantisipasi dampaknya secara bijak,” jelas Wachyudi.