Wali Kota Makassar Munafri ‘Appi’ Arifuddin mengkaji opsi merelokasi 400 rumah terdampak banjir di Kelurahan Antang, Kecamatan . Rencana relokasi butuh kajian lebih lanjut karena ditaksir membutuhkan anggaran mencapai Rp 400 miliar.
Dalam keterangannya, Appi menyebut kawasan Blok 10 Perumnas Antang di Kecamatan Manggala masuk dalam zona atau kawasan genangan. Di wilayah tersebut ada sekitar 400 rumah yang kerap terdampak banjir.
“Kalau ini tidak segera ditangani, maka wilayah ini akan terus terendam setiap tahun,” kata Appi saat bertemu dengan Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang Suryadarma Hasyim di Kantor Wali Kota Makassar, Senin (19/5/2025).
Menurut Appi, opsi relokasi rumah warga memberikan manfaat jangka panjang berupa ruang terbuka yang berfungsi sebagai kolam retensi baru. Hal ini sekaligus sebagai solusi banjir yang lebih permanen.
Namun rencana relokasi rumah ini membutuhkan biaya besar mencapai Rp 400 miliar. Nominal itu diestimasikan Rp 1 miliar per rumah dari 400 rumah yang ada di zona genangan di Antang.
“Kita ingin membahas ini bersama-sama, mana yang bisa lebih dahulu dikerjakan, mana yang perlu disusun dalam rencana jangka menengah,” jelasnya.
Selain opsi relokasi, salah satu alternatif untuk mengatasi banjir juga melalui pembangunan kolam retensi baru di pemukiman warga. Pembangunan alur air baru ini diharapkan mengalirkan genangan banjir dari Blok 10 Antang.
Namun, opsi ini menghadapi tantangan besar karena adanya rumah yang berdiri di atas jalur yang direncanakan. Pembangunan kolam retensi juga ditaksir membutuhkan biaya mencapai Rp 400 miliar untuk pembebasan lahan dan membangun infrastrukturnya.
“Sejak awal kita minta bantuan juga dari tim Unhas untuk menganalisis solusi pola banjir di wilayah ini,” ucap Appi.
Appi juga berharap kerja sama BBWS Pompengan Jeneberang untuk memberikan solusi penanganan banjir di Makassar. Dia berharap Pemkot Makassar dan BBWS bisa melakukan penataan sesuai tugas masing-masing.
“Hasilnya kami padukan dengan data dari BBWS agar dapat menemukan solusi yang tepat dan sesuai kewenangan masing-masing,” sambung Appi.
Appi turut menyoroti pentingnya payung hukum bersama untuk penataan kanal dan saluran kota. Pembersihan kanal dinilai tidak bisa hanya sebatas pengerukan sedimen, namun juga perlu penertiban bangunan yang mengganggu fungsi kanal.
“(Kanal) dijadikan gang, bahkan menjadi tempat pembuangan sampah. Ini membuat kanal gelap, kumuh, dan menyulitkan pengelolaan. Padahal, sudah ada aturan soal jalur inspeksi,” ujarnya.
Sementara, Kepala BBWS Pompengan Jeneberang, Suryadarma Hasyim mengatakan, wilayah Makassar dipengaruhi oleh dua daerah aliran sungai (DAS) besar, yaitu DAS Jeneberang dan DAS Tallo. Kedua DAS ini menjadi fokus utama pengelolaan karena beririsan langsung dengan wilayah kota.
Secara total, DAS Jeneberang terdiri atas 58 DAS bagian, termasuk DAS Celah Batu yang juga mencakup wilayah Bone. Selain bendungan besar, BBWS juga telah membangun dan merencanakan infrastruktur pendukung seperti kolam retensi.
“Beberapa di antaranya termasuk Kolam Regulasi Nipa-nipa, waduk tunggu Pampang, dan Sarana Penanganan Banjir lainnya,” sebut Suryadarma.
Namun tantangan masih banyak, terutama pada area-area resapan air yang telah berubah fungsi seperti kawasan perumahan di Perumnas Antang. Dia berharap sinergi lintas sektor yang kuat dan memastikan setiap wilayah sungai dikelola secara terpadu dari hulu hingga hilir.
“Ini harus kita sinergikan dengan pemerintah daerah. Tidak semua bisa dibangun hanya oleh BBWS,” pungkasnya.