Biang Kerok Parepare 4 Kali Alami Inflasi Tertinggi di Sulsel

Posted on

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Kota telah mengalami inflasi tertinggi di Sulawesi Selatan (Sulsel), sebanyak 4 kali secara tahunan (year on year/y-on-y) sepanjang 2025. Inflasi di Parepare dipicu kenaikan harga barang atau komoditas tertentu mulai dari emas hingga beras.

Data yang dihimpun dari BPS Sulsel, inflasi Parepare selama Januari hingga Agustus 2025 cenderung dinamis. Namun inflasi Parepare tertinggi dibanding daerah lain di Sulsel terjadi pada Maret sebesar 1,98%, April 3,68%, Juli 4,35% dan Agustus sebesar 4,46%.

Sebagai informasi, inflasi merupakan kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Indeks Harga Konsumen (IHK) menjadi salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat inflasi.

Dirangkum dari data BPS Sulsel dan BPS Parepare hingga Jumat (12/9/2025), berikut inflasi di Kota Parepare secara tahunan (y-on-y) sepanjang 2025:

Pada Januari 2025, inflasi tertinggi terjadi di Luwu Timur sebesar 0,87% dengan IHK sebesar 106,13, sedangkan inflasi terendah terjadi di Wajo sebesar -0,64% dengan IHK 105,73. Sementara inflasi di Parepare mencapai 0,27% dengan IHK sebesar 105,87.

Kepala BPS Parepare Dian Ernawaty mengatakan, komoditas yang dominan memberikan andil atau sumbangan inflasi pada Januari 2025, antara lain seperti emas perhiasan, tarif parkir, nasi dengan lauk, beras. Dia mengaku kenaikan harga emas turut dipengaruhi kestabilan politik.

“Emas itu memang terus naik harganya. Harga tertinggi itu antara November atau Desember 2024 lalu. Kalau emas itu bukan hanya dari dalam Indonesia saja tetapi dipengaruhi dari luar seperti kestabilan politik dan pergerakan dollar juga,” kata Dia kepada wartawan, Rabu (5/2).

Pada Februari 2025, Parepare justru mengalami deflasi sebesar 0,03% dengan IHK sebesar 105,64. Diskon tarif listrik menjadi penyumbang terbesar terjadinya deflasi.

“Untuk penyumbang deflasi pada Februari ini yakni adanya program diskon tarif listrik yang masih berlangsung hingga akhir Februari,” beber Dian kepada infoSulsel, Rabu (4/3).

Dian mengatakan ada beberapa komoditas yang harganya naik pada Februari. Namun pengaruh diskon tarif listrik masih cukup signifikan sehingga menyebabkan deflasi.

“Diskon tarif listrik ini pengaruhnya besar, itu masuk ke kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga sebesar 15,44%,” rincinya.

Parepare lalu mengalami inflasi tertinggi di Sulsel pada Maret 2025 sebesar 1,98% dengan IHK sebesar 108,11. Sementara inflasi terendah terjadi di Kota Makassar sebesar 0,46% dengan IHK sebesar 107.

“Sebenarnya semua kabupaten kota mengalami hal yang sama, hanya untuk Parepare ini cukup tajam naiknya dari imbas lepasnya diskon listrik,” ujar Dian saat dikonfirmasi, Selasa (8/4).

Inflasi Parepare tertinggi di Sulsel kembali berlanjut pada April 2025 sebesar 3,68% dengan IHK sebesar 109,99. Sementara inflasi terendah terjadi di Kota Palopo 0,97% dengan IHK sebesar 107,91.

Berdasarkan data BPS Parepare, komoditas yang dominan memberikan andil atau sumbangan inflasi y-on-y pada April 2025, antara lain kenaikan harga emas perhiasan, ikan layang/ikan benggol, beras, ikan bandeng/ikan bolu, ikan cakalang/ ikan sisik, cabai rawit, hingga kopi bubuk.

Pada Mei 2025, inflasi tertinggi terjadi di Sidrap sebesar 2,96% dengan IHK sebesar 105,36, sedangkan terendah terjadi di Palopo 1,08% dengan IHK sebesar107,8. Sementara Parepare sendiri mengalami inflasi 2,69% dengan IHK 109,29.

Setelah itu, Sidrap masih mengalami inflasi tertinggi di Sulsel pada Juni 2025 sebesar 3,01% dengan IHK sebesar 105,27 dan terendah terjadi di Palopo 1,38% dengan IHK sebesar 107,78. Sementara Parepare mengalami inflasi 2,96% dengan IHK sebesar 109,95.

Pada Juli 2025, inflasi tertinggi terjadi lagi di Parepare sebesar 4,35% dengan IHK sebesar 110,91. Sementara inflasi terendah terjadi di Palopo sebesar 2,63% dengan IHK sebesar 108,79.

Dari data BPS Parepare, inflasi Parepare pada Juli (y-on-y) turut dipicu kenaikan harga pangan. Komoditas dominan yang memberikan andil inflasi pada periode itu, yakni tomat, beras, emas perhiasan, ikan bandeng/ikan bolu, ikan layang/ikan benggol, bawang merah.

Selain itu ada kopi bubuk, nasi dengan lauk, minyak goreng, ikan cakalang/ikan sisik, taman pendidikan Al-Qur’an, tukang bukan mandor, sigaret kretek mesin (skm), sepeda motor, ikan tuna, mobil, pemeliharaan/service, martabak, cabai rawit, dan kangkung.

Pada Agustus 2025, inflasi tertinggi di Sulsel kembali terjadi di Kota Parepare sebesar 4,46% dengan IHK sebesar 110,85. Sementara inflasi terendah terjadi di Kota Palopo 2,75% dengan IHK sebesar 108,69.

Kepala BPS Parepare Dian Ernawaty mengatakan, kenaikan inflasi di periode Agustus dipicu kenaikan harga pada kelompok makanan, minuman dan tembakau. Komoditi penyumbang inflasi salah satunya beras.

“Yang menyumbangkan angka inflasi yang paling besar untuk year-on-year itu dari kategori makanan, minuman, tembakau. Nah itu komoditinya beras,” ujar Dian kepada infoSulsel, Sabtu (6/9).

Komoditi lainnya yang menyumbang inflasi yakni naiknya harga ikan di pasaran akibat cuaca buruk. Dian merekomendasikan Pemkot Parepare melakukan intervensi untuk menekan kenaikan harga pemicu inflasi tersebut.

“Pemkot perlu mungkin untuk mengumpulkan dan mengecek pedagang besar termasuk pedagang ikan dan beras. Untuk mencari intervensi apakah dari rantai pasokan atau distribusi untuk menjamin stoknya itu ada terus,” jelasnya.

Ketua DPRD Parepare Kaharuddin Kadir menilai inflasi turut dipicu rendahnya serapan APBD Pemkot Parepare. Dia khawatir kondisi ini bisa berdampak bagi masyarakat jika tidak segera diatasi.

“Saya melihat mungkin masih ada pengaruhnya ini terkait dengan daya serap APBD kita. Jadi kalau daya serap APBD kita rendah, pasti juga ikut mempengaruhi jumlah uang yang beredar,” kata Kaharuddin kepada infoSulsel, Selasa (9/9).

Kaharuddin mendorong Pemkot Parepare segera melakukan intervensi. Harga barang atau komoditas pangan yang menjadi penyumbang andil mesti ditekan agar daya beli masyarakat kembali naik.

“Kalau inflasi pasti tidak baik. Artinya harga pasti naik. Harga pasti naik yang menyebabkan daya beli masyarakat jadi turun,” bebernya.

Kondisi ini bisa diatasi dengan memberdayakan pelaku UMKM secara jangka panjang. Kaharuddin menganggap Pemkot Parepare selama ini hanya menggandeng UMKM untuk situasi insidentil saja, seperti untuk momen car free day (CFD) atau car free night (CFN).

“Justru pengelolaan UMKM yang sifatnya insidentil, yang ada di area pantai itu, justru mematikan UMKM. Nah, seharusnya pemerintah semakin menambah fasilitas-fasilitas yang ada di spot-spot UMKM,” ungkapnya.

Dia turut menyinggung pelibatan pelaku usaha lokal yang masih minim dalam sistem pelelangan barang dan jasa. Kaharuddin menganggap pengusaha lokal lebih berdampak pada ekonomi dibanding pengusaha luar daerah.

“Jadi kalau dia (pengusaha lokal) menangkan pekerjaan di sini, uangnya dibelanjakan di daerahnya. Barangnya ke sini, nah otomatis itu juga ikut berpengaruh (inflasi),” pungkasnya.

Inflasi Parepare Januari-Agustus 2025

Serapan APBD Rendah Dinilai Picu Inflasi

Ketua DPRD Parepare Kaharuddin Kadir menilai inflasi turut dipicu rendahnya serapan APBD Pemkot Parepare. Dia khawatir kondisi ini bisa berdampak bagi masyarakat jika tidak segera diatasi.

“Saya melihat mungkin masih ada pengaruhnya ini terkait dengan daya serap APBD kita. Jadi kalau daya serap APBD kita rendah, pasti juga ikut mempengaruhi jumlah uang yang beredar,” kata Kaharuddin kepada infoSulsel, Selasa (9/9).

Kaharuddin mendorong Pemkot Parepare segera melakukan intervensi. Harga barang atau komoditas pangan yang menjadi penyumbang andil mesti ditekan agar daya beli masyarakat kembali naik.

“Kalau inflasi pasti tidak baik. Artinya harga pasti naik. Harga pasti naik yang menyebabkan daya beli masyarakat jadi turun,” bebernya.

Kondisi ini bisa diatasi dengan memberdayakan pelaku UMKM secara jangka panjang. Kaharuddin menganggap Pemkot Parepare selama ini hanya menggandeng UMKM untuk situasi insidentil saja, seperti untuk momen car free day (CFD) atau car free night (CFN).

“Justru pengelolaan UMKM yang sifatnya insidentil, yang ada di area pantai itu, justru mematikan UMKM. Nah, seharusnya pemerintah semakin menambah fasilitas-fasilitas yang ada di spot-spot UMKM,” ungkapnya.

Dia turut menyinggung pelibatan pelaku usaha lokal yang masih minim dalam sistem pelelangan barang dan jasa. Kaharuddin menganggap pengusaha lokal lebih berdampak pada ekonomi dibanding pengusaha luar daerah.

“Jadi kalau dia (pengusaha lokal) menangkan pekerjaan di sini, uangnya dibelanjakan di daerahnya. Barangnya ke sini, nah otomatis itu juga ikut berpengaruh (inflasi),” pungkasnya.

Serapan APBD Rendah Dinilai Picu Inflasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *