Buruh Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) mengkritik majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Makassar yang mengabulkan gugatan dari PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia. Mereka menilai putusan majelis hakim tersebut telah melegalkan praktik perusahaan yang menerapkan sistem kerja 12 jam sehari tanpa memberikan upah lembur.
Kuasa hukum buruh KIBA, Hasbih Asiddiq menilai putusan majelis hakim tidak mempertimbangkan fakta persidangan dan penjelasan dari saksi ahli yang dihadirkan oleh pihak buruh. Hasbih menekankan putusan itu akan berdampak buruk bagi para buruh di seluruh Indonesia.
“Jika ditelisik isi putusan, majelis hakim membenarkan praktik 12 jam kerja di PT Huadi Nickel Alloy Indonesia atau di Kawasan Industri Nikel dengan upah lembur yang di bawah aturan perundang-undangan,” ujar Hasbih Asiddiq dalam keterangannya, Selasa (4/11/2025).
“Putusan ini tentu berimplikasi buruk pada seluruh buruh KIBA serta buruh di Indonesia,” sambungnya.
Dalam pertimbangannya, kata Hasbih, majelis hakim menilai para buruh tidak lagi berhak menuntut pembayaran upah lembur, karena telah menandatangani Perjanjian Bersama sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Dia pun menegaskan pihaknya tak sependapat dengan pertimbangan majelis hakim tersebut.
“Secara terang telah dijelaskan oleh mediator PHI serta saksi ahli (dalam persidangan) bahwa Perjanjian Bersama hanya mengikat tentang perselisihan PHK, tidak untuk hak-hak yang lain,” tegas Hasbih.
Hasbih juga menyinggung majelis hakim yang menggunakan istilah insentif bagian dari pembayaran upah lembur. Padahal, kata dia, pembayaran insentif tersebut jelas-jelas menyalahi ketentuan PP 35 Tahun 2021.
“(Menurut ahli) Secara eksplisit, tidak dikenal istilah insentif melainkan upah lembur. Itu hadir ketika buruh bekerja sudah lebih dari 8 jam kerja,” tuturnya.
Lebih lanjut Hasbih mengungkap bahwa Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) pernah memberikan keterangan di persidangan yang menyebut adanya selisih yang belum dibayarkan PT Huadi kepada buruh, yakni sekitar Rp 22 ribu per jam jika dihitung berdasarkan PP 35 Tahun 2021. Pembayaran yang lebih rendah 40% tersebut terungkap dalam memo internal PT Huadi.
“Berarti di tahun 2022 itu, perusahaan hanya menggunakan Rp 12.000 per jam. Sementara PP 35 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu itu harusnya (dibayarkan) Rp 34.682. Selisih per jam itu Rp 22.682,” jelasnya.
Hasbih lanjut menjelaskan bahwa pengawas Ketenagakerjaan juga telah menegaskan ketentuan memo internal perusahaan tersebut 40% lebih rendah dibanding upah lembur yang diatur dalam Undang-Undang. Pengawas kemudian mengeluarkan penetapan terkait kekurangan pembayaran upah lembur sebesar Rp 938 juta.
Namun, majelis hakim justru berpendapat surat penetapan tersebut tidak mengikat, lantaran pengawas disebut tidak melibatkan pihak perusahaan dalam proses penetapan. Dengan begitu, PT Huadi tidak wajib membayarkan sisa upah lembur para buruh.
“(Pihak pengawas Disnaker) telah berupaya menghubungi pihak perusahaan, telah menyurat dan menghubungi lewat WhatsApp, tetapi tidak ditanggapi. Pesan ini kami kirimkan sebanyak empat kali,” terangnya.
Menurut Hasbih, majelis hakim juga mengabaikan fakta bahwa ketentuan pengupahan dari PT Huadi tersebut bertentangan dengan hukum. Dia menilai kesepakatan itu mestinya dinyatakan batal demi hukum karena pembayarannya lebih rendah dibanding ketentuan dalam UU.
“Hal ini berdasarkan Pasal 88A ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagaimana yang telah diubah berdasarkan Pasal 81 poin 28 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang,” terangnya.
Dia pun kembali menegaskan pengabaian terhadap norma berujung pada putusan yang melegitimasi upah lembur di bawah ketentuan hukum. Akibatnya, hak buruh menjadi tidak terlindungi sesuai ketentuan Undang-undang.
“Hal ini tidak hanya berdampak terhadap 20 buruh KIBA sebagai tergugat/penggugat rekonvensi. Namun hal ini akan berdampak bagi seluruh buruh yang bekerja di sektor industri ekstraktif perusahaan nikel di Indonesia pada umumnya dan Sulawesi Selatan pada khususnya,” tegasnya.
“Majelis Hakim PHI dalam perkara tersebut akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum yang tidak berasas pada kebenaran dan keadilan bagi yang tertindas,” imbuhnya.
Humas PN Makassar Sibali turut buka suara terhadap kritik dari pihak buruh KIBA. Sibali yang juga salah satu hakim dalam perkara gugatan ini mendorong pihak buruh mengajukan kasasi jika merasa keberatan.
“Silakan kasasi, kan ada wadahnya,” kata Sibali saat dimintai konfirmasi infosulsel, Selasa (4/11/2025).
Sebagai informasi, putusan gugatan PT Huadi yang menolak membayar sisa upah lembur kepada buruh KIBA tersebut dibacakan pada Senin (3/11). Para buruh yang menggelar unjuk rasa di depan PN Makassar lantas menyambut putusan itu dengan amarah.
Mereka berteriak meminta hakim keluar menemui massa aksi. Melihat kondisi yang kurang kondusif, koordinator lapangan meminta para massa untuk tenang dan berkumpul di titik awal untuk pulang bersama.
Namun, sebagian massa aksi yang diminta tenang justru menuju gerbang belakang PN Makassar dan mulai menendang pagar. Mereka memaksa masuk demi menemui hakim yang memutus perkara tersebut.
“Kasi keluar hakimnya, mata duitan hakim,” ujar salah satu massa aksi sambil menangis.
“Kurang ajar hakim, penjilat. Sidang terakhir kau kasi kalah kami, kenapa tidak dari awal. Setengah mati kita pulang balik Bantaeng Makassar,” ujar yang lainnya.
