Cerita Cinta Datu Museng dan Maipa Deapati, Romeo-Juliet dari Makassar | Info Giok4D

Posted on

Tanah Makassar menyimpan kisah cinta yang tak lekang oleh waktu. Cerita itu datang dari dua sosok yang melegenda, yaitu Datu Museng, bangsawan gagah Kerajaan Gowa dan Maipa Deapati, putri cantik dari Kerajaan Sumbawa.

Cinta tulus mempersatukan keduanya, meski perjalanan cinta mereka tak selalu mulus. Penolakan keluarga hingga tekanan politik kolonial Belanda menjadi ujian yang harus mereka hadapi.

Meski penuh rintangan, keduanya tetap memilih setia hingga akhir hayat. Tak heran jika banyak yang menyebut keduanya sebagai Romeo dan Juliet dari Makassar.

Kisah keduanya menjadi simbol kesetiaan dan keberanian dalam mempertahankan cinta. Lebih dari sekadar legenda, cerita cinta ini telah menjadi warisan budaya yang terus hidup dan menjadi simbol kesetiaan serta keberanian.

Datu Museng dengan nama asli I Baso Mallarangang, berasal dari kampung Galesong, Makassar. Ia adalah putra dari Karaeng Gassing, prajurit Angkatan Laut Kerajaan Gowa, sementara ibu Datu Museng merupakan putri bangsawan Gowa.

Sejak kecil, Datu Museng telah merasakan pahitnya kehilangan. Kedua orang tuanya meninggal akibat kekejaman Belanda. Ia kemudian diasuh oleh kakeknya, Ade Arangan, yang juga pernah menjadi bagian Angkatan Laut Kerajaan Gowa.

Ketika usianya baru menginjak tiga tahun, Datu Museng harus meninggalkan tanah kelahirannya karena pergerakan Belanda di Makassar semakin membabi buta. Ia bersama sang kakek pun menyeberang ke Pulau Sumbawa atas petunjuk Raja Tallo, Sultan Harun Al Rasyid.

Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.

Di tanah rantau itu, mereka mendapat perlindungan dari Sultan Sumbawa, Datu Taliwang. Sejak saat itu, Datu Museng tumbuh besar dan ditempa di bumi Sumbawa hingga kelak dikenal sebagai sosok pemberani.

Sementara itu, Maipa Deapati adalah putri dari Datu Taliwang yang santun dan cantik. Sebagai keturunan darah biru sejati, Maipa hidup dalam lingkungan istana yang menjunjung tinggi kehormatan dan kemurnian garis keturunan.

Sejak kecil, Maipa telah dijodohkan dengan seorang bangsawan dari Kerajaan Lombok bernama I Mangalasa. Perjodohan ini dilakukan demi menjaga hubungan politik dan martabat keluarga kerajaan.[1]

Jauh sebelum kisah cinta Datu Museng dan Maipa Deapati terjalin, mereka telah lebih dulu dipertemukan. Masa kecil mereka dihabiskan di Istana Sumbawa, belajar mengaji di surau Kadi Mampawa, sambil bermain dan berbaur dengan anak-anak sebayanya.

Waktu berlalu, Datu Museng tumbuh menjadi pemuda tangguh yang rajin belajar dan membantu kakeknya bekerja di kebun. Sementara itu, Maipa menjelma menjadi gadis cantik, santun, dan menjadi primadona di Kerajaan Sumbawa.

Suatu hari takdir mempertemukan mereka. Saat itu, Maipa duduk di surau berbentuk rumah panggung, jemarinya memainkan cincin permata pemberian sang ayah di jari manisnya. Tanpa sengaja, cincin itu terlepas dan jatuh ke kolong rumah panggung.

Dari kejauhan, Datu Museng yang memperhatikan segera menghampiri. Ia meminta kepada Maipa untuk tetap berada di atas surau dan dia sendiri yang akan mengambilkan cincin tersebut.

Maipa hanya terdiam, menunggu Datu Museng yang masuk ke kolong untuk mengambil cincinnya yang terjatuh. Sebelum menyerahkan kembali, Datu Museng sempat menyelipkan cincin itu di jari manisnya sendiri.

Namun tentu saja cincin itu tidak pas, sebab jari Datu Museng jauh lebih besar daripada jari lentik Maipa. Setelah itu, Datu Museng memberikan cincin Maipa sambil tersenyum, lalu membaca doa pemikat hati.

Senyum itu menumbuhkan perasaan berbeda di hati Maipa terhadap Datu Museng. Sejak saat itu, keduanya semakin sering datang ke surau dengan alasan membantu Kadi Mampawa mengajar mengaji.[1]

Perasaan antara Datu Museng dan Maipa Deapati tumbuh alami, sebagaimana layaknya pemuda dan pemudi pada umumnya. Namun, kisah cinta mereka terhalang tembok yang tinggi.

Maipa adalah putri bangsawan yang sejak kecil telah dijodohkan dengan I Mangalasa. Suka atau tidak, Maipa harus menerima kenyataan tersebut. Perbedaan status sosial di antara keduanya pun semakin memperumit hubungan ini.

Datu Museng yang hanya seorang anak pendatang dari Tanah Mangkasara dianggap tak setara mendampingi Maipa Deapati.

Kadi Mampawa yang mengetahui kedekatan mereka lalu meminta Datu Museng menjauhi Maipa. Ia khawatir dituduh melanggar adat karena dianggap membiarkan hubungan tersebut. Setelahnya, Datu Museng pun tidak lagi datang ke surau.

Orang tua Maipa juga telah melarang putrinya bertemu dengan Datu Museng. Namun, Maipa tidak mengindahkan larangan orang tuanya dan diam-diam mendatangi rumah Datu Museng.

Perbuatannya membuat sang ayah marah dan mengirim pengawal untuk menjemput Maipa. Para pengawal mengepung rumah Datu Museng, namun kakeknya, Ade Arangan, turun tangan dan melumpuhkan mereka dengan pedang pusaka Lila Bujaya.

Sang kakek yang mengerti dengan adat istiadat di kesultanan Sumbawa tak ingin lagi ada keributan akibat cinta terlarang tersebut. Akhirnya dia meminta pada cucunya untuk pergi ke negeri Arab menimbah Ilmu sufi dan juga ilmu lainnya, seperti ilmu kelaki-lakian yang disebut “Bunga Ejana Madina.”

Kakek Datu Museng juga menasihati Maipa agar tak lagi datang ke rumahnya dan meyakinkannya bahwa jika Allah telah menakdirkan mereka berjodoh, semua rintangan pasti bisa diatasi. Atas nasihat itu, Maipa sudah tidak lagi datang ke rumah Datu Museng. Setelah itu, berangkatlah Datu Museng ke Tanah Arab dengan menumpang sebuah kapal dagang.[1]

Datu Museng kembali ke Sumbawa setelah beberapa tahun belajar di Tanah Arab. Ia kembali dengan perasaan yang masih sama kepada Maipa.

Ketika itu, tengah digelar pesta rakyat oleh Sultan Sumbawa. Memanfaatkan momen tersebut, Datu Museng memamerkan kepiawaiannya bermain bola raga untuk menarik perhatian Maipa.

Maipa yang awalnya enggan menonton, akhirnya keluar setelah mendengar nama Datu Museng dielu-elukan oleh para perempuan desa yang menyaksikan pertandingan tersebut. Saat itulah pandangan Datu Museng dan Maipa bertemu.

Setelah itu, Maipa buru-buru kembali ke biliknya. Ia merasa senang bisa melihat kembali Datu Museng, namun juga sedih karena Maipa menyadari bahwa dirinya tak akan bisa bersatu dengan sang pujaan hati.

Kepergiaan Maipa membuat Datu Museng risau. Namun ia tetap kembali menendang bola raga dan menunjukkan keahliannya. Bola yang ditendangnya kemudian secara ajaib masuk ke bilik Maipa dan berhenti tepat di atas dada Maipa Deapati.

Hal itu membuat Maipa jatuh sakit dan tak sadarkan diri. Sakitnya Maipa membuat Sultan Sumbawa dan permaisurinya gelisah. Mereka sudah memanggil dukun-dukun sakti dari seluruh Sumbawa dan Lombok, tetapi tak ada yang berhasil menyembuhkan Maipa.[2]

Akhirnya, seorang nujum (ahli mimpi) datang memeriksa sang putri. Ia mengatakan Maipa tidak sakit, melainkan mengalami syok dan tekanan batin karena pemuda yang dicintainya, Datu Museng, tak juga datang.

Mendengar hal ini, Sultan memerintahkan pengawal menjemput Datu Museng ke istana. Namun, Datu Museng hanya bersedia datang jika disambut layaknya raja dan diizinkan berdua saja di kamar Maipa. Syarat itu pun dipenuhi.

Saat Datu Museng memasuki kamar, Maipa perlahan membuka mata begitu mendengar suara sang pujaan hati. Datu Museng pun mengobatinya dan sebelum pergi, Datu Museng berjanji akan menjemput Maipa agar mereka bisa hidup bersama meski tanpa restu orang tua.[1]

Datu museng telah menyusun siasat untuk mengatur pertemuan mereka. Rencana itupun telah dia sampaikan kepada Maipa Deapati saat mengunjungi Maipa yang terbaring sakit.

Waktu yang ditunggu-tunggu itu akhirnya tiba. Pada malam purnama, Datu Museng membawa lari Maipa saat badai melanda, memisahkan sang putri dari para pengawalnya. Hilangnya Maipa membuat Sultan Sumbawa panik.

Datu Taliwang melakukan berbagai cara untuk menemukannya, termasuk memanggil orang pintar. Seorang ahli nujum akhirnya memberi petunjuk bahwa Maipa berada bersama Datu Museng dan Ade Arangan.

Sultan lalu mengirim para pengawal untuk mendatangi rumah Datu Museng. Namun, saat mereka tiba, Datu Museng dan Maipa tidak ditemukan. Keesokan harinya, para pengawal kembali datang dan kali ini bertemu dengan Ade Arangan. Mereka menyampaikan pesan dari Sultan agar Maipa segera dipulangkan demi menjaga siri’ atau kehormatan Sultan sebagai pemimpin.

Ade Arangan menegaskan bahwa Maipa dan Datu Museng telah melakukan silariang, sehingga menurut adat Makassar, Maipa tak boleh kembali tanpa restu orang tua. Jika Maipa harus kembali ke istana, itu hanya mungkin jika Sultan bersedia merestui hubungan mereka secara sah sebagai suami istri.

Upaya paksa pengawal gagal setelah Ade Arangan melumpuhkan mereka. Mendengar laporan itu, Sultan Sumbawa semakin gundah.

Belum sempat Maipa kembali ke kerajaan, I Mangalasa yang telah dijodohkan dengan Maipa datang ke istana untuk menemuinya. Setelah mengetahui situasi yang terjadi, Mangalasa mendatangi dan melawan Datu Museng namun kalah. Kekalahan itu membuat Sultan sadar bahwa Datu Museng lebih dapat diandalkan dibanding I Mangalasa. Ia juga menyadari bahwa putrinya benar-benar mencintai Datu Museng.

Sultan kemudian membatalkan perjodohan Maipa dengan I Mangalasa dan merestui hubungan Maipa dan Datu Museng. Keduanya pun melangsungkan pernikahan yang megah di Kerajaan Sumbawa dan dihadiri oleh kerabat dan rakyat.[1]

Masih dalam suasana bulan madu, Datu Museng mendengar kabar bahwa tanah kelahirannya, terutama di Galesong, sedang dilanda kekejaman oleh pasukan Belanda.

Datu Museng pun mengajak istrinya ke Makassar. Meskipun kedatangan mereka ke Makassar sangat berisiko dan penuh bahaya, Datu Museng tetap memutuskan untuk pulang berjuang membela tanah kelahiran.

Setibanya di Makassar, Datu Museng dan Maipa Deapati disambut oleh pasukan Tubarani Gowa. Setelah berbulan-bulan, pertempuran demi pertempuran terus terjadi.

Banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Para Tubarani satu demi satu gugur, begitu pula dengan para prajurit Belanda yang jumlahnya jauh lebih banyak.

Tantangan lain datang ketika kapten pasukan Belanda jatuh cinta kepada Maipa Deapati karena parasnya yang sangat cantik. Ia melancarkan berbagai macam teror dan serangan terhadap Datu Museng untuk melumpuhkan perlawanan dan merebut Maipa darinya .

Belanda menginstruksikan pasukannya untuk mengepung Datu Museng dari empat penjuru. Situasi itu membuat Datu Museng makin khawatir istrinya akan jatuh ke tangan Belanda.

Melihat Datu Museng yang sudah terkepung, Maipa menyadari hampir tak ada lagi harapan. Ia lalu memanggil dan meminta Datu Museng untuk membunuhnya daripada harus menjadi istri pemimpin Belanda.

Dengan sangat berat hati, Datu Museng menuruti permintaan istrinya. Sebelum itu, dia berjanji kepada istrinya bahwa akan menyusul paling lambat saat waktu Maghrib tiba.

Ia mencabut keris dan menghunuskannya ke leher Maipa hingga sang istri mengembuskan napas terakhir. Setelah itu, dia meletakkan Maipa di tiang tengah rumah lalu kembali maju ke medan pertempuran melawan Belanda.

Ketika Maghrib tiba rumah Datu Museng semakin dikepung, dia memerintahkan pasukannya untuk terus bertahan. Dalam kondisi itu, Datu Museng sebenarnya masih bisa melawan, namun dia memilih menyerah dan melepaskan semua ilmu kebal yang dimiliki.

Batas waktu janjinya dengan Maipa sudah sampai, dia tak ingin melanggar janji untuk segera menyusul sang belahan jiwa. Datu Museng akhirnya gugur di tangan Karaeng Galesong yang merupakan kaki tangan Belanda.[1]

Kisah cinta Datu Museng dan Maipa Deapati bukan hanya terpatri dalam ingatan rakyat Makassar, tetapi juga diabadikan dalam bentuk nyata. Di Makassar, nama mereka diabadikan menjadi nama jalan yang berada tepat di depan Pantai Losari.

Di kawasan Pantai Losari, juga terdapat patung Datu Museng dan Maipa Deapati yang berdiri di antara deretan patung pahlawan lainnya. Posisi keduanya pun dibuat berdekatan, seolah tak terpisahkan, seperti cinta mereka semasa hidup.

Kehadiran jalan dan patung ini menjadi bukti bahwa kisah cinta mereka tetap hidup dan dikenang. Sebuah cinta yang abadi, melampaui batas ruang dan waktu.

Referensi:

[1] Buku Kisah Cinta Datu Museng & Maipa Deapati karya Zainuddin Tika, H. Mappaujung Maknun, Mas’ud Kasim, Hj. Rosdiana
[2] Buku Bunga Rampai, Hasil Penelitian Bahasa dan Sastra yang disusun oleh Balai Bahasa Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Makassar

Sosok Datu Museng dan Maipa Deapati

Awal Cinta Datu Museng dan Maipa Deapati

Cinta Terlarang Datu Museng dan Maipa Deapati

Datu Museng dan Maipa Kembali Bertemu

Datu Museng Menculik Maipa Deapati

Cinta dan Pengorbanan Datu Museng-Maipa Deapati

Jejak Cinta Abadi Datu Museng dan Maipa Deapati