Tragedi pembantaian di Sulawesi Selatan pada 1946-1947 oleh pasukan Raymond Paul Pierre Westerling menjadi salah satu peristiwa paling kelam bagi rakyat Sulawesi Selatan. Tragedi ini dikenal dengan “Korban 40.000 Jiwa”, yang merujuk pada jumlah korban kekejaman pasukan Westerling dalam operasi militernya di Sulsel.
Tidak hanya nama tragedi, angka 40.000 juga diabadikan pada nama jalan, hari peringatan, hingga monumen. Diketahui, setiap 11 Desember pemerintah dan masyarakat Sulsel memperingati Hari Korban 40.000 Jiwa dengan menggelar upacara resmi untuk mengenang sejarah kelam tersebut.
Sementara itu, Monumen Korban 40.000 Jiwa dibangun di beberapa wilayah Sulsel yakni Makassar, Parepare, dan Bulukumba. Monumen yang berdiri di Makassar, tepatnya di wilayah Pongtiku, menjadi simbol paling nyata dari duka sejarah itu. Tempat ini diyakini sebagai salah satu lokasi eksekusi massal yang dilakukan Westerling dan pasukannya.
Tak hanya dalam bentuk monumen, memori tragedi ini juga diabadikan melalui penamaan Jalan Korban 40.000 Jiwa di Kota Makassar.
Namun di balik sejarah kelam itu, satu pertanyaan terus membayangi, benarkah total 40.000 jiwa yang menjadi korban? Angka yang kerap disebut itu masih menyisakan perdebatan antara fakta yang tercatat atau asumsi yang terus diwariskan.
Angka 40.000 jiwa sebagai total korban pembantaian Westerling diucapkan pertama kali oleh Kahar Muzakkar saat menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta tahun 1947. Saat itu Kahar Muzakkar dengan penuh emosi mengungkapkan betapa sadisnya pasukan Belanda membantai rakyat Sulsel.
Dia membandingkan Peristiwa Gerbong Maut di Bondowoso yang menyebabkan 46 orang gugur selalu dikoar-koarkan, sementara korban 4.000 orang di Sulsel dan malah mungkin 40.000 orang tidak diributkan sama sekali.
Bung Karno yang mendapat laporan tersebut dibuat terkejut hingga bercucuran air mata. Sejak saat itu, istilah korban 40.000 kerap disampaikan dalam pidato-pidatonya. Istilah itu digunakan untuk mengobarkan semangat perlawanan kepada para pemuda di seluruh penjuru tanah air.(1)
Westerling, semasa hidupnya, pernah menulis otobiografi berjudul Challenge to Terror sebagai upaya membantah tuduhan pembantaian terhadap 40.000 jiwa rakyat Sulawesi Selatan. Dalam buku itu serta dalam beberapa wawancaranya, ia menegaskan bahwa saat memimpin operasi “Pembersihan Celebes” di Sulsel ia hanya hanya membunuh 600 orang.
Ia berulang kali membela diri dengan menuding angka 40.000 jiwa hanyalah propaganda pemerintah Indonesia saat itu untuk mendiskreditkan dirinya. Westerling menyebut narasi tentang dirinya terus dilebih-lebihkan.
“Siaran (narasi) mereka membengkak dari dua puluh (ribu) kemudian menjadi tiga puluh ribu, dan akhirnya dalam propaganda mereka mengklaim bahwa saya telah membunuh tidak kurang dari empat puluh dua ribu orang. Angka-angka fantastis ini menjadi penyebab serangan terhadap saya yang bahkan sampai ke PBB,” tulisnya.(2)
Sementara itu, sejumlah penelitian dan kajian mengungkapkan angka jumlah korban yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan Angkatan Darat Indonesia pada tahun 1950-an mencatat bahwa korban tewas dalam tragedi pembantaian Westerling berjumlah sekitar 1.700 orang.(3)
Angka yang berbeda muncul dalam buku Tragedi Westerling Sang Pembantai Rakyat Indonesia, yang merujuk pada hasil pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969. Dalam laporan tersebut, korban tewas diperkirakan mencapai 3.000 orang.(4)
Versi lain datang dari sejarawan asal Pinrang, Sulsel, Anhar Gonggong, yang menyebut jumlah korban tewas mencapai 10.000 jiwa.(3) Beberapa anggota keluarga Anhar termasuk ayah, kakak, paman, dan sepupunya menjadi korban dalam peristiwa kelam tersebut.
Meski jumlah pasti korban pembantaian Westerling masih menjadi perdebatan panjang di kalangan sejarawan, angka 40.000 jiwa yang disampaikan Kahar Muzakkar kepada Presiden Soekarno menjadi versi yang paling dikenal dan banyak diabadikan. Angka ini bahkan sering muncul dalam buku pelajaran sejarah di tingkat SD hingga SMA.(3)
Di balik kontroversi jumlah korban pembantaian Westerling, masyarakat Bugis-Makassar memandang angka 40.000 bukan sekadar hitungan matematis terkait jumlah korban. Angka ini memiliki kualitatif yang merepresentasikan besarnya perjuangan rakyat Sulsel dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.(1)
Pakar sejarah Universitas Hasanuddin, Dr Suriadi Mappangara M Hum, menyampaikan hal serupa dalam wawancara bersama infoSulsel. Ia menegaskan bahwa angka tersebut tidak bisa dipahami secara literal, melainkan sebagai simbol perjuangan bagi rakyat Sulsel.
“Ini korban 40.000 jiwa tidak pada jumlahnya, dia lebih pada pemaknaan bahwa mereka ini memang berjuang,” ujar Dr Suriadi Mappangara, Senin (4/12/2023).
Ia juga mengakui bahwa hingga kini angka 40.000 jiwa belum dapat dibuktikan secara historis. Namun menurutnya, perdebatan angka seharusnya tidak mengaburkan fakta bahwa masyarakat Sulsel telah menunjukkan perjuangan luar biasa dalam menghadapi kekejaman Westerling.
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
“Terlepas dari jumlah korban yang tidak benar, kita harus melihat bagaimana perjuangannya” tambahnya.
Dalam buku SOB 11 Desember 1946 sebagai Hari Korban 40.000 Sulawesi Selatan, dijelaskan bahwa angka 40.000 memiliki hubungan erat dengan falsafah hidup dan budaya masyarakat Sulsel. Angka 40 dianggap sakral dalam tradisi Bugis-Makassar dan dipercaya memiliki nilai magis-religius.
Salah satu konsep budaya yang berkaitan adalah Tau As-sulapa-Appaka, istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang yang paling sempurna dan tangguh, yang bersifat religius, dan dipandang sebagai pemberani yang memiliki kesempurnaan ketahanan fisik dan mental.(1)
Filosofi Sulapa Appaka atau Sulapa Eppa’ (segi empat) juga menggambarkan keseimbangan hidup masyarakat Bugis-Makassar. Nilai ini terlihat dalam motif sarung Bugis yang menggunakan pola kotak empat sisi sebagai simbol harmoni manusia dengan empat unsur kehidupan: tanah, api, udara, dan air.(5)
Dalam tradisi kematian, masyarakat Bugis-Makassar mengenal istilah bangi/allo patampullona tau matea. Istilah tersebut digunakan untuk peringatan malam atau hari ke-40 setelah kematian seseorang.
Kepercayaan Islam lokal, khususnya dalam komunitas Islam Patareka, juga memuat unsur bilangan empat puluh, seperti sifat wajib dan mustahil Allah yang berjumlah 40, serta konsep Nabbi Patampulona.
Selain istilah-istilah tersebut, ada banyak hal lainnya yang bersifat magis-religius yang memiliki keterkaitan dengan angka empat atau empat puluh. Jika ditarik ke masa perjuangan, angka 40.000 ini tentunya memiliki arti yang sangat penting bagi perjuangan Sulsel membela tanah air dan dalam usaha mengobarkan semangat juang dan patriotisme bangsa Indonesia.(1)
Westerling diutus oleh Belanda ke Sulsel untuk mengatasi pemberontakan rakyat Sulsel yang menolak rencana pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT). Rakyat Sulsel saat itu tidak terima dan melakukan perlawanan, karena tidak ingin kembali berada dalam kekuasaan Belanda.(6)
Penolakan memicu gelombang perlawanan yang semakin gencar dari berbagai lapisan masyarakat. Situasi ini membuat pasukan Belanda yang bertugas di Sulsel kewalahan menghadapi militansi dan semangat juang rakyat, sehingga diutuslah Raymond Westerling ke Makassar untuk mengatasi situasi tersebut.
Westerling mendarat di Makassar pada 5 Desember 1946, bersama 123 orang pasukannya.(2) Ia kemudian diamanahkan untuk memimpin Depot Pasukan Khusus Atau Depot Speciale Troepen (DST).
Aksi “bersih-bersih” mulai dilakukan westerling dan pasukannya setelah pemerintah kolonial Belanda menetapkan status keadaan darurat perang atau Staat van Oorlog en Beleg (SOB) pada tanggal 11 Desember 1946. Status tersebut ditetapkan untuk wilayah Afdeling Makassar, Afdeling Bonthain (sekarang Bantaeng), Afdeling Parepare, dan Afdeling Mandar.
Dengan ditetapkannya status SOB, wilayah-wilayah yang masuk dalam 4 afdeling tersebut berlaku Stand Retch (tentara dan polisi Belanda berhak menembak setiap orang yang dicurigai di tempat, tanpa suatu proses hukum).
Operasi dimulai dari wilayah Makassar. Desa Batua dan kampung-kampung di sekitarnya menjadi sasaran pertama pada 11 Desember 1946.
Westerling memulai operasi dengan mengepung desa sejak pukul empat pagi. Penduduk digiring ke Desa Batua, rumah-rumah digeledah, dan 9 orang yang mencoba melarikan diri ditembak mati. Sekitar pukul 08.45 pagi, sekitar 3.000-4.000 penduduk telah terkumpul di Desa Batua.
Pada Fase kedua Westerling dan pasukannya mencari kaum ekstremis, perampok, penjahat, dan pembunuh. Westerling telah memegang nama-nama pemberontak yang sebelumnya disusun oleh Vermeulen, anak buahnya yang telah tiba di Makassar lebih dulu.
Kepala adat dan kepala desa diminta membantu mengidentifikasi nama-nama tersebut. Sebanyak 35 orang yang dituduh sebagai kaum pemberontak langsung dieksekusi di tempat. Westerling menyebutkan bahwa 35 orang yang dihukum itu terdiri dari 11 ekstremis, 23 perampok dan seorang pembunuh.
Fase ketiga menjadi penegasan teror, Westerling dan pasukannya menjalankan aksinya dengan menyebar ancaman kepada rakyat untuk tindakan di masa depan. Aksi ini berlangsung dari pukul 04.00 hingga pukul 12.30 dengan total 44 tewas.
Pembantaian berlanjut di malam berikutnya, 12-13 Desember yang berlangsung di Desa Tanjung Bunga. Di daerah tersebut sebanyak 61 orang dieksekusi, disusul aksi pembakaran kampung-kampung kecil di sekitarnya sehingga total korban mencapai 81 orang.
Pada 14-15 Desember, giliran Kalukuang yang berada di pinggiran Makassar menjadi sasaran. Menurut satu versi, 23 orang meregang nyawa.
Versi lain yang tercatat dalam Sejarah Perjuangan Angkatan 45 di Sulsel menyatakan bahwa operasi di Kalukuang (kini lokasi Monumen Peristiwa Korban 40.000 Jiwa dan sekitarnya) sebenarnya terjadi pada 11 Desember 1946. Seluruh laki-laki dewasa dikumpulkan di lapangan, dan dalam operasi yang kembali dipimpin Westerling, mereka ditembak mati tanpa proses pemeriksaan apa pun.
Daerah Kalukuang dipilih sebagai target karena laporan intelijen menyebutkan bahwa Wolter Monginsidi dan Ali Malaka (dua tokoh yang sedang diburu Belanda) berada di kawasan tersebut. Namun, keduanya tidak ditemukan.
Pada malam 16 menuju 17 Desember, giliran Desa Jongaya di bagian tenggara Makassar menjadi target berikutnya. Di wilayah ini, sebanyak 33 orang dieksekusi.
Setelah menyelesaikan gelombang pertama di Makassar, Westerling memimpin operasi tahap kedua keluar kota pada 19 Desember 1946. Polobangkeng di wilayah Takalar menjadi sasaran.
Selain pasukan DST pimpinan Westerling, 11 peleton tentara KNIL dari pasukan Infanteri XVII yang dipimpin Letkol Veenendaal turut terlibat dalam operasi tersebut.
Satu pasukan DST di bawah pimpinan Vermeulen menyerbu desa Rejana dan Komara, sementara Pasukan lain mengurung Polobangkeng. Dalam penyerbuan ini Westerling menerapkan pola yang sama dan total 330 rakyat tewas dibunuh.
Tahap ketiga berlangsung di Gowa mulai 26 Desember 1946. Di daerah ini Westerling melakukan penyerangan dalam tiga gelombang, yakni tanggal 26 dan 29 Desember, serta 3 Januari 1947.
Demi melancarkan aksinya, pasukan khusus DST kembali bekerja sama dengan pasukan KNIL. Sebanyak 257 penduduk tewas dalam aksi tersebut.
Pada Februari 1947, Westerling menyasar wilayah Parepare dan Pinrang. Salah satu pejuang penting, Andi Abdullah Bau Masseppe, pendiri Badan Perjuangan Rakyat Republik Indonesia (BPRI) Parepare dibunuh bersama sejumlah pejuang lainnya. Di Barru, Andi Abdul Muis La Tenridolong, pemimpin Gerakan Pemuda Tanete (GPT), juga menjadi korban.
Namun puncak tragedi terjadi di Mandar (kini Sulawesi Barat), yang saat itu masih bagian dari Sulawesi Selatan. Peristiwa yang dikenal sebagai tragedi Galung Lombok pada 2 Februari 1947 disebut-sebut menelan korban terbesar sepanjang operasi Westerling.
Tokoh-tokoh perjuangan seperti M Ma’roef Imam Baroega (anggota Dewan Penasihat PRI), bersama dengan H Ma’roef Imam Baroega, Soelaiman Kapala Baroega, Daaming Kapala Segeri, H Nuhung Imam Segeri, H Sanoesi, H Dunda, H. Hadang, dan Muhamad Saleh menjadi korban.
Seluruh korban yang dieksekusi secara massal belum termasuk korban yang dibantai habis di tempat lain. Beberapa korban ada yang diambil dari tangsi Majene lalu dibawa ke Galung Lombok untuk di eksekusi.(7)
Sumber:
1. SOB 11 Desember 1046 sebagai Hari Korban 40.000 Sulawesi Selatan oleh Tim Penelitian Sejarah Perjoangan Rakyat Sulsel Kerjasama Kodam XIV Hasanuddin, Unhas dan IKIP U.P
2. Challenge to Terror oleh Raymond Westerling
3. Rihlah Jurnal Sejarah dan Kebudayaan UIN Alauddin Makassar
4. Tragedi Westerling Sang Pembantai Rakyat Indonesia oleh Agus N Cahyo
5. SULAPA Eppa: Bissu, Kosmologi Bugis, dan Politik Ekologi Queer oleh Feby Triadi dan Petsy Jessy Ismoyo
6. Sulawesi Berdarah oleh Zainuddin Tika, dkk
7. Tragedi Westerling Sang Pembantai Rakyat Indonesia oleh Agus N, Cahyo
