Kilas Balik Perlawanan Rakyat Sulsel Berujung Tragedi Korban 40.000 Jiwa

Posted on

Tragedi Korban 40.000 Jiwa menandai salah satu peristiwa kelam di Sulawesi Selatan (Sulsel). Yakni ketika rakyat Sulsel harus berhadapan dengan aksi represif tentara Belanda yang dipimpin oleh Raymond Paul Pierre Westerling, demi mempertahankan kedaulatan.

Tragedi berdarah ini bermula saat Belanda ingin kembali berkuasa usai Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan. Pihak Belanda yang ingin kembali menancapkan kekuasaannya berencana membentuk Negara Indonesia Timur (NIT), termasuk di dalamnya wilayah Sulsel.

Sayangnya rakyat Sulsel menolak keinginan Belanda tersebut. Para pejuang di Sulawesi Selatan pun membentuk sejumlah organisasi perjuangan seperti Kebangkitan Rakyat Sulawesi (KRIS), Harimau Indonesia (HI), Lipang Bajeng, Laptur (Laskar Pemberontak Turatea), PPNI, dan berbagai organisasi lainnya dengan tujuan yang sama.

Dengan keberanian besar, para pejuang Sulsel yang tergabung dalam organisasi kelaskaran berhasil merampas 160 pucuk senjata dari Jepang. Mereka kemudian menyebar ke beberapa perkampungan seperti Binamu, Tinggimoncong, Lombasang, Limbung, Palekko, Pattallassang, Bangkala, dan perkampungan lainnya.(1)

Pada Juni 1946, seluruh organisasi kelaskaran pejuang Sulsel mengadakan sidang di Polongbangkeng, Takalar untuk memperkuat pertahanan. Mereka sepakat untuk menyatukan seluruh organisasi kelaskaran menjadi satu kekuatan bernama Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS).

LAPRIS dipimpin oleh Ranggong Daeng Romo dengan R Endang sebagai wakil ketua, dan Wolter Monginsidi sebagai kepala staf. Mereka memimpin 3.500 pasukan dengan kondisi persenjataan yang perlahan-lahan terus bertambah.(1)

Mereka pun melakukan perlawanan dengan taktik gerilya yang memanfaatkan berbagai cara untuk merusak fasilitas Belanda. Mereka melakukan sabotase seperti merusak kabel, mesin, rel kereta api, hingga mengganggu bahan peledak dan peralatan transportasi.(2)

Gerakan kemerdekaan ini juga mendapat bantuan dari pemerintah pusat dengan dikirimkannya pasukan Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS).(3) Setibanya di Makassar, pasukan itu mendirikan Depot Batalion dan mengangkat Kahar Muzakkar sebagai komandan.

Kahar Muzakkar kemudian memimpin pasukan tersebut dan juga diberi tugas untuk membentuk Tentara Republik Indonesia (TRI) di wilayah Sulawesi Selatan. Kehadiran pasukan tambahan ini pun membuat para pejuang Sulawesi Selatan semakin percaya diri dan kian gencar melakukan perlawanan.(2)

Sementara itu Belanda tetap keukeuh mendirikan NIT. Di tengah pemberontakan rakyat Sulsel, Belanda menggelar Konferensi Malino pada 15-25 Juli 1946 untuk membahas pembentukan negara-negara bagian dalam sistem federasi. Salah satu tujuannya adalah mempersiapkan pembentukan Negara Indonesia Timur.

Belanda kemudian melanjutkan pembahasan itu melalui Konferensi Denpasar pada 7-24 Desember 1946. Konferensi ini tetap berfokus pada persiapan pembentukan Negara Indonesia Timur.

Di sisi lain, rakyat Sulsel semakin gencar melakukan perlawanan. Akibat perlawanan yang semakin kuat, Belanda bereaksi keras dengan menganggap mereka yang pro-Republik dicap sebagai pemberontak dan dianggap sebagai ekstremis.(1)

Tidak tinggal diam, Belanda melakukan berbagai cara untuk menghadapi perlawanan dari pejuang-pejuang Sulawesi Selatan. Salah satunya adalah membujuk para pemuka adat, raja-raja dan tokoh masyarakat Sulawesi Selatan untuk berpihak kepada Belanda dengan iming-iming jabatan dan kehidupan yang layak.

Langkah ini ditempuh karena rakyat Sulawesi Selatan pada saat itu cenderung mengikuti keputusan para raja. Sayangnya, ajakan tersebut ditolak oleh banyak tokoh adat, raja-raja dan tokoh masyarakat, meskipun beberapa di antaranya ada yang memilih berpihak kepada Belanda dan mengkhianati rakyat.

Selain bujukan politik, Belanda juga menekan perlawanan rakyat dengan kekuatan militer. Tekanan militer ini dilakukan melalui bantuan sekutu dan tentara KNIL, meski pada akhirnya pasukan KNIL di Sulawesi Selatan tidak mampu lagi mengatasi perlawanan yang ada.

Melihat kuatnya perlawanan rakyat, Belanda pun mengambil langkah represif dengan mengutus pasukan khusus DST yang dipimpin oleh Raymond Paul Pierre Westerling. Kehadiran DST ini bertujuan untuk meredam perlawanan agar rencana Belanda menguasai wilayah Sulawesi dapat berjalan lancar.(3)

Westerling tiba di Makassar pada 5 Desember 1946. Sebelum kedatangannya, beberapa anak buahnya telah berada di Sulawesi Selatan untuk melaksanakan tugas intelijen dan melacak keberadaan pimpinan kelompok-kelompok pejuang Republik serta para pendukungnya.(4)

Westerling tiba dengan membawa misi untuk “mengakhiri teror Partai Republik di Sulawesi Selatan dan memulihkan perdamaian”. Teror yang dimaksud adalah gerakan dari para pejuang kemerdekaan di Sulawesi Selatan yang menentang kekuasaan kolonial.(5)

Kedatangan pasukan DST tersebut membuat perlawanan rakyat pun melemah, lantaran Westerling melakukan pembantaian terhadap warga. Tindakan brutal ini menimbulkan ketakutan sehingga rakyat tidak berani lagi melawan.(3)

Westerling menjalankan misinya dengan metode standrecht atau “pembersihan Makassar” dari para pemberontak. Metode ini dilakukan dengan mengumpulkan warga di tanah lapang, lalu memaksa mereka menunjuk pemuda yang dianggap pejuang dan langsung ditembak mati. Sementara siapa pun yang tidak menjawab, juga akan ditembak secara acak.(6)

Aksi “bersih-bersih” dimulai dari Afdeling Makassar dan berlanjut ke Adeling Bonthain (sekarang Bantaeng), Afdeling Parepare, dan Afdeling Mandar. Keempat wilayah tersebut dinyatakan dalam keadaan darurat perang atau Staat van Oorlog en Beleg (SOB) pada 11 Desember 1946, dengan begitu pasukan DST bisa melakukan “Stand Retch” yaitu menembak setiap orang yang dicurigai tanpa melewati proses hukum.

Bersamaan dengan dikeluarkannya status SOB, Westerling bersama 123 serdadu baret hijau memulai “Dooden Mars” atau “Mars Kematian”-nya di wilayah Makassar dan sekitarnya.(7) Pembantaian di Makassar sendiri berlangsung dalam beberapa fase, yaitu:

Sasaran pertama operasi DST adalah Desa Batua dan beberapa desa kecil yang berada di sebelah timur Makassar. Pembantaian yang dipimpin langsung oleh Westerling tersebut belangsung pada tanggal 11 menjelang 12 Desember 1946.

Fase ini dimulai pada pukul 4 pagi, di mana wilayah tersebut dikepung oleh Westerling dan pasukannya yang menyebar. Kemudian pada pukul 05.45, rumah-rumah penduduk mulai digeledah dan semua rakyat digiring ke Desa Batua.

Saat itu, ada 9 orang yang langsung ditembak mati lantaran mencoba melarikan diri. Sekitar pukul 08.45, seluruh rakyat dari desa-desa yang digeledah telah berkumpul di Desa Batua.

Westerling melaporkan jumlah rakyat yang berkumpul saat itu sekitar 3.000 hingga 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria. Namun, jumlah pastinya tidak diketahui secara tepat.

Pada fase ini, Westerling dan pasukannya mencari kaum pejuang, perampok, penjahat, dan pembunuh. Kepala adat dan kepala desa diminta untuk membantu mengidentifikasi nama-nama yang didapatkan Westerling dari anak buahnya.

Sebanyak 35 orang yang dituduh sebagai kaum pemberontak langsung dieksekusi di tempat. Westerling menyebutkan bahwa 35 orang yang dihukum itu terdiri dari 11 ekstremis, 23 perampok, dan seorang pembunuh.

Selanjutnya, Westerling bersama pasukannya mengancam rakyat untuk tindakan di masa depan pada fase ketiga operasi militer tersebut. Mereka juga mengganti kepala desa serta membentuk polisi desa untuk melindungi desa dari kelompok pejuang yang disebut sebagai pemberontak, teroris, dan perampok.

Operasi ini berlangsung dari pukul 04.00 hingga pukul 12.30 dengan total 44 orang tewas. Setelah itu, Westerling dan pasukan kembali melanjutkan pembantaian terhadap 61 orang di Desa Tanjung Bunga pada tanggal 12 menjelang 13 Desember 1496.

Tidak berhenti di situ, Westerling juga membakar beberapa kampung kecil di sekitar Desa Tanjung Bunga. Korban tewas seluruhnya dalam operasi tersebut berjumlah 81 orang.

Pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, pembantaian itu dilanjutkan di Kalukuang, sebuah kampung yang terletak di pinggiran Kota Makassar dan menewaskan 23 warga yang ditembak mati. Lokasi tersebut menjadi sasaran karena Westerling mendapat laporan jika pemberontak Wolter Monginsidi dan Ali Malaka berada di wilayah tersebut, namun keduanya tidak ditemukan dalam operasi tersebut.

Sementara itu, versi lain yang tercatat dalam Sejarah Perjuangan Angkatan 45 di Sulsel menyebutkan bahwa operasi Westerling di kampung Kalukuang (sekarang lokasi Monumen Peristiwa Korban 40.000 Jiwa dan sekitarnya) terjadi pada 11 Desember 1946. Semua penduduk dewasa pria dikumpulkan di lapangan.

Mereka langsung ditembak mati tanpa tanpa terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan. Pada malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 Desember, giliran Desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar yang menjadi sasaran dan sebanyak 33 orang yang dieksekusi.

Setelah menyelesaikan misi “pembersihan Makassar”, Westerling melanjutkan operasi tahap kedua di Polobangkeng (Takalar), daerah yang terletak di selatan Makassar. Operasi militer ini dimulai pada tanggal 19 Desember 1946.

Berdasarkan data yang dimiliki Westerling, terdapat sekitar 150 pasukan TNI dan 100 anggota laskar bersenjata di wilayah tersebut. Operasi ini tidak hanya melibatkan Westerling dan pasukan DST, tapi juga 11 peleton tentara KNIL dari pasukan Infanteri XVII ikut terlibat.

Satu pasukan DST di bawah pimpinan Vermeulen menyerbu desa Renaja dan Komara, sementara pasukan lainnya mengurung Polobangkeng. Dalam operasi militer lanjutan ini, Westerling menerapkan pola yang sama dengan gelombang sebelumnya dan membunuh total 330 orang.

Operasi militer tahap ketiga yang dipimpin Westerling dimulai pada 26 Desember 1946 di Gowa. Aksi ini berlangsung dalam tiga gelombang, yakni pada 26 dan 29 Desember 1946, serta 3 Januari 1947.

Seperti operasi sebelumnya, pasukan khusus DST kembali bekerja sama dengan pasukan KNIL. Dalam rentetan tindakan kekerasan ini, tercatat sebanyak 257 warga yang menjadi korban jiwa.

Tidak hanya itu, operasi tahap ketiga ini juga mencatat terdapat tokoh-tokoh yang menjadi korban pembantaian Weterling. Salah satu korbannya adalah Andi Abdullah Bau Masseppe, pendiri Badan Perjuangan Rakyat Indonesia (BPRI) Parepare tahun 1945, yang kini diakui sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Bau Massepe bersama para pejuang lain ditembak mati oleh pasukan Westerling di Pinrang, pada 2 Februari 1947. Aksi itu terjadi setelah pasukan Belanda membakar rumah serta menembak banyak warga di wilayah Suppa, Pinrang.

Tokoh lain yang turut menjadi korban pembantain Wserling adalah Andi Abdul Muis La Tenridolong, pimpinan Gerakan Pemuda Tanete (GPT) di Barru. Ia digiring bersama Bau Massepe ke Pinrang dan kemudian dibunuh, namun hingga kini lokasi makamnya tidak diketahui.(4)

Operasi militer yang brutal dan memakan banyak korban jiwa ini kemudian dikenal sebagai tragedi “Korban 40.000 Jiwa” dan menjadi sejarah kelam bagi rakyat Sulsel.

Referensi:

1. Buku “Sulawesi Selatan Berdarah”.
2. Jurnal UIN Alauddin Makassar berjudul “Peristiwa Pembantaian Wasterling di Kota Makassar Tahun 1946-1947” oleh Nuraida.
3. Jurnal Univeritas Indoensia berjudul “Raymond Paul Pierre Westerling Slaughter In South Sulawesi Effort As a Starting The Dutch State Indonesia East (1946-1947)” oleh Rafi Zain Yusuf, dkk.
4. Buku “Tragedi Westerling”.
5. Situs resmi Resources Huygens Instituut.
6. Monumen Sejarah Perjuangan Bangsa di Daerah Sulawesi Selatan yang Diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1995.
7. Meniti Siri’ dan Harga Diri oleh Andi Mattalatta.

Puncak Pemberontakan Rakyat Sulsel terhadap Belanda

Respons Licik Belanda Hadapi Perlawanan Pejuang Sulsel

Langkah Represif Belanda

Aksi Westerling “Bersih-bersih” di Sulsel

Fase Pertama

Fase Kedua

Fase Ketiga

Operasi Militer Kedua Westerling di Takalar

Operasi Militer Ketiga di Gowa

Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi