Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI-LBH) Makassar menerima 212 pemohonan bantuan hukum sepanjang 2025 yang 157 kasus di antaranya merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dari ratusan pelanggaran itu, 58 kasus di antaranya melibatkan polisi sebagai terduga pelaku pelanggaran HAM.
“Angka penyimpangan dan kekerasan atau pelanggaran HAM yang paling tinggi itu juga dilakukan oleh Polri dengan jumlah 58 kasus dari 212 kasus atau 212 permohonan yang kami terima di 2025,” kata Direktur LBH Makassar, Abdul Azis Dumpa dalam Konferensi Pers Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2025, Rabu (24/12/2025).
LBH Makassar menjelaskan, permohonan bantuan hukum tidak hanya berasal dari Sulsel melainkan juga termasuk penjangkauan di luar provinsi lainnya di wilayah Sulawesi. Hal ini menunjukkan meluasnya pelanggaran HAM.
Berdasarkan isu, kasus fair trial merupakan perkara yang paling banyak ditangani mencapai 39 kasus atau meningkat dua kali lipat dibanding 2024. Laporan lainnya menyusul kasus kekerasan terhadap perempuan 25 kasus, sengketa tanah 21 kasus, perburuhan 18 kasus, kekerasan fisik oleh aparat 15 kasus dan KDRT 13 kasus.
Sementara berdasarkan pelaku pelanggaran HAM, 58 kasus di antaranya dilakukan oleh institusi Polri. Korbannya pun beragam mulai dari perempuan, mahasiswa, anak, buruh, miskin kota, pedagang kecil, pelajar dan petani.
“Ini meningkat sebenarnya dari tahun lalu, 190 persen peningkatannya kekerasan aparat, ini yang kami khawatirkan ke depan yang akan terjadi,” ungkapnya.
Pada kasus pelanggaran HAM, adapun pelaku kekerasan lainnya yang diduga terlibat, yaitu 30 kasus melibatkan warga sipil, 29 kasus perusahaan swasta, 25 kasus akibat pasangan, 4 kasus pemerintah daerah, 3 kasus birokrasi sekolah/kampus, dan 1 kasus TNI.
Azis mengungkap Polri juga terus melakukan upaya kriminalisasi dan pembungkaman. Dia mengatakan sejak aksi Agustus lalu ada upaya-upaya penangkapan terhadap ratusan aktivis yang masih berlangsung.
“Menjadi bukti nyata bahwa otoritarianisme itu terus hidup dan membungkam masyarakat sipil, merepresi hak kebebasan berekspresi, berkumpul, berpendapat dan pada akhirnya akan dibungkam,” tuturnya
LBH Makassar juga mencatat sepanjang 2025 mayoritas korban terdampak, yaitu 54 kasus warga miskin kota, 44 kasus perempuan, 22 kasus buruh, dan 12 kasus anak dibawah umur. Pendampingan hukum yang diberikan berdasarkan jenis kelamin tercatat, 124 kasus dengan laki-laki sebagai pemohon dan perempuan 88 permohonan.
Sementara dari segi posisi hukum, LBH Makassar merinci pemohon di antaranya 57 berstatus penggugat, 46 saksi korban dan 37 tersangka. Jenis perkara yang ditangani juga beragam, seperti 212 kasus pidana, 74 kasus perdata, dan 2 kasus tata usaha negara (TUN).
Sementara itu, Wakil Kepala Divisi Advokasi, Mirayati Amin mengungkap kasus pelanggaran HAM memang menjadi yang tertinggi selama tiga tahun terakhir. Kasus pelanggaran HAM tersebut terdiri dari berbagai macam isu, seperti tindakan represif aparat hingga penahanan sewenang-wenang oleh kepolisian.
“Sudah 3 tahun ini, itu tahun lalu fair trial ada 14 tapi tahun ini itu meningkat sangat pesat menjadi 39 kasus. Jadi kalau dari catatan kami di tahun ini, ini berkesesuaian dengan tindakan represif, penangkapan, perburuhan dan penahanan secara sewenang-wenang yang dilakukan oleh kepolisian terhadap massa aksi ataupun masyarakat sipil,” jelasnya.
Mira mengaku tindakan kepolisian melakukan penangkapan tanpa dasar tersebut juga terjadi pada aksi September lalu di Makassar. LBH Makassar mencatat ratusan warga sipil yang ditangkap dan mereka tidak terlibat aksi sama sekali.
“Jadi teman-teman dari LBH Makassar bersama Polisi Bantuan Hukum Rakyat atau Kobar masih mendampingi masyarakat sipil yang hari ini masih ditahan,” tuturnya.
Dia juga menjelaskan kasus pelanggaran HAM yang melibatkan kepolisian terus meningkat karena banyaknya kasus yang berhenti di tahap penyidikan. Terlebih sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran etik tersebut jauh dari tuntutan dan aturan yang berlaku.
“Bahkan diterakhir tadi, di kasus kekerasan seksual yang melibatkan polisi sebagai pelaku pun, ancaman pidananya sudah jelas ada di putusan Pengadilan Negeri Makassar, tapi dari instansi internal kepolisian hanya memberikan sanksi berupa mutasi yang bersifat demosi selama 7 tahun,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Hak Sipil dan Politik LBH Makassar, Hutomo Mandala Putra mengungkap tingginya kasus pelanggaran HAM yang melibatkan polisi terjadi karena faktor internal kepolisian itu sendiri. Menurutnya, praktik impunitas dinilai menghambat penegakan hukum dan keadilan bagi korban.
“Dari beberapa pantauan kami di beberapa tahun terakhir ya, faktor utama menyebabkan polisi sebagai aktor utama itu satu, pengawasan internal dan eksternal yang tidak cukup kuat untuk menahan mungkin tekanan di tengah kepolisian sendiri,” ungkapnya.
“Kedua soal impunitas di tubuh Polri itu sendiri, masih ada upaya-upaya perlindungan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap personelnya,” imbuhnya.
Menurut Tomo, praktik impunitas di kepolisian tersebut menjadi faktor yang sering membuat penanganan kasus berhenti di tingkat internal. Menurutnya, penanganan tanpa proses hukum yang transparan tersebut dinilai berpotensi melanggengkan budaya saling melindungi.
Salah satu kasus yang didampingi LBH Makassar terkait tindak kekerasan yang dilakukan oknum aparat kepada seorang tahanan. Kasus tersebut berakhir damai di internal kepolisian dan oknum terduga pelaku disanksi demosi.
“Kasusnya tidak berhenti sampai di situ, impunitasnya, tindakan impunitas tidak berhenti sampai di situ. Pelaku pada saat diputus etiknya di Polda, itu sanksinya tidak sesuai dengan sanksi etik yang seharusnya diberikan, dia hanya di kasi sanksi penundaan pangkat,” jelasnya.
Tindakan-tindakan impunitas tersebut yang menjadi tantangan bagi LBH Makassar dalam mendampingi kasus-kasus yang melibatkan kepolisian. Pihak LBH Makassar berkomitmen untuk memastikan pelanggaran HAM tidak bertambah buruk ke depannya terlebih dengan berlakunya KUHAP di 2026.







