Mengenal 7 Pakaian Adat Sulawesi Selatan: Ciri Khas dan Tradisi Penggunaannya - Giok4D

Posted on

Sulawesi Selatan (Sulsel) kaya akan budaya yang masih dilestarikan hingga kini, salah satunya pakaian adat. Busana tradisional dari berbagai suku di Sulsel bukan sekadar pakaian, tapi juga simbol identitas dan nilai luhur yang diwariskan turun-temurun.

Tiga suku besar di Sulsel yakni Bugis, Makassar, dan Toraja memiliki pakaian adat dengan ciri khas masing-masing. Mulai dari bentuk, warna, hingga maknanya, semua mencerminkan kekayaan tradisi.

Pakaian adat ini biasa dikenakan dalam berbagai acara penting seperti pernikahan, upacara adat, dan perayaan keagamaan. Keberadaannya menjadi bagian tak terpisahkan dan menjadi identitas masyarakat Sulsel hingga saat ini.

Nah, sekarang saatnya mengenal lebih dekat ragam pakaian adat Sulawesi Selatan yang penuh makna dan ciri khas. Simak selengkapnya, yuk!

Baju bodo (Makassar) atau waju tokko (Bugis) khas Bugis-Makassar merupakan pakaian adat resmi yang mewakili Sulawesi Selatan. Nama pakaian adat ini diambil dari kata “bodo”, berasal dari bahasa Bugis yaitu pendek sebab model lengannya pendek sampai di siku saja.

Penyebutan lainnya yaitu waju tokko, waju berarti baju dan tokko berasal dari kata takku yang merupakan ungkapan untuk menyatakan strata sosial bangsawan. Kata takku berasal dari kalimat maddara takku yang artinya seseorang yang memiliki darah keturunan bangsawan.

Dengan demikian, secara harfiah waju tokko dapat diartikan sebagai baju untuk kaum bangsawan. Pakaian ini dikenakan oleh perempuan dan diperkirakan merupakan salah satu pakaian tertua di dunia.

Pakaian adat baju bodo terbuat dari kain muslin yang telah dikenal masyarakat Sulsel sejak pertengahan abad ke-9, sementara bangsa Eropa baru mengenal kain tersebut pada abad ke-17. Kain yang digunakan memiliki karakteristik benang berongga sehingga terlihat transparan.

Warna baju adat ini beragam dan disesuaikan dengan usia yang menggunakannya. Warna kuning untuk anak-anak, remaja 10-17 tahun berwarna jingga atau merah muda, namun bagi usia 14-17 mengenakan baju bodo dua lapis.

Bagi perempuan usia 17-35 menggunakan baju bodo sebanyak 3 lapis berwarna merah darah yang merujuk pada darah dari rahim wanita. Kemudian wanita usia 35-50 ke atas memakai baju bodo berwarna hitam dengan 2 sampai 3 lapisan.

Berdasarkan strata sosial, ada pula baju bodo berwarna putih yang digunakan oleh bissu. Bissu diyakini sebagai seseorang yang memiliki titisan darah berwarna putih serta mampu menghubungkan kayangan, dunia, dan alam roh.

Kemudian baju berwarna hijau untuk keturunan bangsawan (maddara takku) dan warna ungu dikenakan janda (kemummu). Akan tetapi, saat ini fungsi warna sudah tidak digunakan lagi.[1]

Pakaian adat ini berbentuk persegi panjang yang umumnya dibuat dengan dua model. Untuk remaja, penari, dan pengantin perempuan, potongan bajunya pendek sampai pinggang. Sementara yang dipakai orang dewasa panjangnya sampai betis.[1][2]

Penggunaan baju bodo dipadukan dengan sarung yang dikenakan dengan cara dilipit ke samping kiri. Sebagian baju dimasukkan ke dalam lilitan sarung, sementara sisanya dibiarkan membentuk gelembung di bagian belakang.

Jenis sarungnya ada dua yaitu lipa garrusuk yang terbuat dari benang biasa dan lipa sabbe menggunakan benang sutera. Motif sarungnya pun bervariasi, mulai dari kotak-kotak kecil (curak caddi) hingga kotak besar (curak lakbak).[2]

Penampilan mengenakan baju bodo dilengkapi dengan aksesoris khas seperti bando, kalung, anting, dan gelang. Pakaian ini sering dipakai sebagai pakaian kebesaran dalam acara adat, upacara perkawinan, pertemuan penting, atau acara keagamaan. Sementara, pada zaman dulu baju ini juga digunakan sebagai pakaian sehari-hari.[3]

Baju la’bu disebut juga dengan baju bodo panjang. Modelnya pun hampir mirip dengan baju bodo, hanya saja baju la’bu menyerupai baju kurung dengan lengan panjang dan ketat mulai dari siku sampai pergelangan tangan.

Bahan baju la’bu adalah kain sutra berwarna dengan corak bunga-bunga. Seperti baju bodo, pakaian adat ini juga dipasangkan dengan sarung.

Bagi suku Makassar sendiri terdapat warna-warna khusus yang menjadi khas sarungnya. Yaitu hitam, coklat tua, atau biru tua. [4]

Baju tradisional laki-laki Bugis-Makassar dikenal dengan nama baju bella dada. Pakaian ini berbentuk jas berlengan panjang dengan kancing di bagian depan sebagai perekat utama.

Bella dada memiliki model yang dilengkapi saku di sisi kiri dan kanan. Bagian bawahnya dipadukan dengan sarung, bisa berupa sarung biasa atau lipa’ sabbe, serta celana panjang berwarna gelap di bagian dalam.[2]

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.

Bahan pakaian adat ini terlihat lebih ringan dan tipis namun terbuat dari kain tebal seperti wol dan sutra. Baju ini memiliki beragam motif dengan warna putih, hitam, hijau, biru gelap, dan merah.[5]

Untuk tampilan yang lebih lengkap, bella dada biasanya dikenakan bersama sepatu hitam dan sejumlah aksesoris khas. Salah satunya adalah passapu atau patonro, penutup kepala yang terbuat dari anyaman daun lontar dan benang emas.

Di bagian pinggang, dikenakan sulepe, yakni ikat pinggang berwarna cerah dan mengkilap. Sedangkan untuk memperindah tampilan, ditambahkan rante sembang berupa rantai emas yang diselipkan di saku kiri agar baju tidak terlihat polos.[2]

Dulunya, Bella dada hanya dikenakan oleh kaum bangsawan dan raja-raja. Namun, seiring berjalannya waktu, pakaian ini dapat dikenakan oleh semua lapisan masyarakat. [5]

Pakaian adat laki-laki khas Bugis-Makassar lainnya adalah jas tutu’ yang modelnya seperti jas modern dengan bentuk kerah melekat pada leher menyerupai kerah shanghai. Di bagian depannya terdapat dua buah kancing yang berdekatan dan aksesoris rantai berwarna emas senada dengan kancingnya.[6]

Sekilas, model jas tutu’ sama dengan bella dada, hanya berbeda pada ragam warna dan materialnya saja. Jas tutu’ memiliki kain yang lebih tebal dengan bahan dasar wol. [5]

Pakaian adat ini bisa dikenakan oleh semua kalangan baik orang dewasa, anak-anak, keturunan bangsawan maupun orang biasa. Warnanya pun beragam, seperti hitam, putih, krem, merah tua, kuning, coklat, hingga jingga.

Namun, umumnya pada upacara adat atau pesta perkawinan jas tutu’ yang sering dikenakan adalah hitam.[6]

Bagi keluarga bangsawan, biasanya akan dominan memakai baju jas tutu’ yang berwarna coklat. Warna coklat ini dipercaya sebagai tanda kebangsawanan, persahabatan dan kesucian secara visual.[7]

Baju adat Bugis-Makassar ini dipasangkan dengan sarung sutera (lipa’ sabbe) yang memiliki warna mencolok seperti merah dan hijau. Selain itu, jas ini umumnya dikenakan bersama dengan sebuah penutup kepala berupa peci khas Sulsel yaitu Songkok Pa’biring atau Songkok Recca.

Perpaduan sarung dan songkok tersebut, memberi kesan lebih menonjol pada budaya Islam. [8]

Salah satu baju tradisional khas suku Makassar lainnya adalah laskar. Dahulu, pakaian ini dikenakan oleh prajurit lokal yang disebut Tu Barani.

Selain itu, baju laskar juga biasa digunakan oleh paraga, yaitu pemain dalam pertunjukan permainan tradisional Makassar, serta para penabuh gendang dalam upacara penyambutan tamu.

Laskar umumnya dibuat dari bahan tipis dan berwarna merah mencolok. Pakaian ini dipadukan dengan passapu (ikat kepala), paroci (celana panjang), serta sarung, layaknya jas tutu’ atau bella dada.[5]

Baju khas Sulsel lainnya berasal dari suku Toraja yaitu baju pokko’ yang dikenakan oleh perempuan. Modelnya berlengan pendek dengan warna kuning, merah, dan putih yang mendominasi.

Warna kuning yang paling umum digunakan melambangkan sinar Matahari yang dipercaya sebagai warna mulia, warna dewa-dewi atau warna Sang Pencipta. Baju pokko’ warna kuning biasa dikenakan kaum wanita saat upacara kematian Rambu’ Solo.

Selanjutnya ada warna merah yang melambangkan darah manusia dan memiliki simbol kehidupan yang bisa digunakan di mana saja. Sementara, putih melambangkan tulang manusia yang artinya bahwa kehidupan manusia dan juga bisa dipakai di mana saja.

Ada pula warna yang cukup sering dipakai yakni hitam yang melambangkan kematian atau kegelapan sebagai akhir hidup manusia di Bumi sebelum melakukan perjalanan ke kayangan.

Penggunaan baju pokko’ disesuaikan dengan kasta dan usia para keturunan perempuan suku Toraja. Baju pokko’ untuk anak-anak berwarna lebih terang dan sederhana.

Bagi wanita remaja dan dewasa biasanya menggunakan warna merah, kuning, dan putih dengan sejumlah aksesoris. Aksesorisnya berupa hiasan manik yang terdapat pada dada, gelang, ikat kepala, dan ikat pinggang yang disebut kandore.[4]

Kandaure yang dipakai oleh masyarakat Toraja tidak dibuat secara sembarangan. Setiap hiasan manik-manik disusun membentuk motif tertentu yang sarat akan nilai filosofis.

Motif pada Kandaure yang melengkapi baju pokko’, busana khusus perempuan Toraja, melambangkan keturunan yang hidup bahagia serta menjadi penerang dalam kehidupan. Secara keseluruhan, pakaian adat pokko’ menggambarkan keindahan sekaligus kecantikan pemakainya.[9]

Baju pokko’ kerap dikenakan dalam berbagai upacara adat, pernikahan, pemakaman, hingga pertunjukan tari Ma’gellu. Pada acara yang lebih sederhana atau non-formal, perempuan Toraja biasanya memakai baju pokko’ tanpa dilengkapi aksesoris kandaure.[10]

Salah satu pakaian adat yang dikenakan sehari-hari oleh laki-laki Toraja adalah seppa, yaitu celana pendek yang panjangnya sebatas lutut. Ciri khas seppa terletak pada jahitan berlapis tiga di bagian paha.

Jika celana ini sudah disambung dengan jahitan khas tersebut, maka disebut seppa tallu buku. Proses pembuatannya dilakukan secara manual oleh para ibu rumah tangga dengan teknik tenun tradisional.

Untuk kalangan bangsawan, seppa tallu buku ditenun menggunakan kapas halus berwarna cerah. Sementara itu, masyarakat biasa menggunakan benang kapuk, yang menghasilkan warna lebih kusam dan tekstur kain yang lebih kasar.

Hingga kini, seppa masih terus diproduksi dan dikenakan dalam berbagai acara adat Toraja. Untuk anak-anak, pakaian tradisional yang digunakan disebut pio, celana kecil menyerupai cawat. Namun, seiring waktu, pio mulai jarang dipakai dan semakin terlupakan oleh generasi muda Toraja.[11]

Sumber:

1. Jurnal Universitas Negeri Makassar (UNM) berjudul “Transformasi Baju Bodo (Waju Tokko) pada Masyarakat Bugis”
2. Buku berjudul “Pakaian Adat Tradisional” oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2017
3. Jurnal Universitas Negeri Makassar (UNM) berjudul “Melestarikan Kearifan Lokal: Keindahan Baju Bodo Bugis Makassar dalam Mempertahankan Identitas Budaya di Era Modern”
4. Jurnal UNM berjudul “Perancangan Media Pembelajaran Busana Adat Pengantin Sulawesi Selatan untuk Anak Usia Dini”
5. Jurnal Universitas Bosowa berjudul “Symbolic meaning In Traditional Clothes of Makassar: Semiotic Study”
6. Situs resmi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia
7. Jurnal Universitas Muhammadiyah Makassar yang berjudul Visual Aesthetic of Petta Puang Theater Group Performance in South Sulawesi
8. Situs resmi Museum Daerah Kabupaten Maros
9. Laman Dimensi Indonesia, Mengenal Pakaian Tradisional Suku Toraja
10. Laman Duta Damai Sulawesi Selatan, Pakaian Adat: kain Tenun Tradisional Khas Suku Toraja, Baju Pokko’, dan Seppa Tallu
11. Buku Busana Adat pada Masyarakat di Sulawesi Selatan oleh Depdikbud

1. Baju Bodo khas Suku Bugis-Makassar

2. Baju La’bu khas Suku Bugis-Makassar

3. Baju Bella Dada Khas Bugis-Makassar

4. Jas Tutu’ Khas Bugis-Makassar

5. Laskar Khas Makassar

6. Baju Pokko Khas Toraja

7. Seppa Tallu Buku Khas Toraja