Bagi umat Katolik, renungan harian adalah cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan lewat sabda-sabda-Nya. Lantas apa renungan harian Katolik, Senin, 10 November 2025?
Berdasarkan kalender liturgi 2025 yang disusun oleh Komisi Liturgi KWI, 10 November adalah Peringatan wAJIB St. Leo Agung. Adapun bacaan yang menjadi perenungan hari ini adalah Keb. 1:1-7, Mzm 139:1-3,4-6,7,9-10, dan Luk. 17:1-6.
Renungan Katolik 10 November 2025 mengangkat tema “Ruang Aman” dikutip dari buku Inspirasi Pagi (LBI) oleh Ernest Justin SJ. Nah, artikel ini juga memuat informasi:
Yuk, disimak!
Sebelum membaca renungan harian hari ini baca terlebih dahulu sabda-sabda Tuhan lewat bacaan hari ini, antara lain:
Kasihilah kebenaran, hai para penguasa dunia, hendaklah pikiranmu tertuju kepada Tuhan dengan tulus ikhlas, dan carilah Dia dengan tulus hati!
Ia membiarkan diri-Nya ditemukan oleh yang tidak mencobai-Nya, dan menampakkan diri kepada semua yang tidak menaruh syak wasangka terhadap-Nya.
Pikiran bengkang-bengkung menjauhkan dari pada Allah, dan kekuasaan-Nya yang diuji mengenyahkan orang bodoh.
Sebab kebijaksanaan tidak masuk ke dalam hati keruh, dan tidak pula tinggal dalam tubuh yang dikuasai oleh dosa.
Roh pendidik yang suci menghindarkan tipu daya, dan pikiran pandir dijauhinya.
Sebab kebijaksanaan adalah roh yang sayang akan manusia, tetapi orang penghujat tidak dibiarkannya terluput dari hukuman karena ucapan bibirnya. Memang Allah menyaksikan hati sanubarinya, benar-benar mengawasi isi hatinya dan mendengarkan ucapan lidahnya.
Sebab roh Tuhan memenuhi dunia semesta, dan Ia yang merangkum segala-galanya mengetahui apapun yang disuarakan.
Untuk pemimpin biduan. Mazmur Daud. TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku;
Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh.
Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi.
Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN.
Dari belakang dan dari depan Engkau mengurung aku, dan Engkau menaruh tangan-Mu ke atasku.
Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya.
Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu?
Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau.
Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut,
juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku.
Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Tidak mungkin tidak akan ada penyesatan, tetapi celakalah orang yang mengadakannya.
Adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam laut, dari pada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini.
Jagalah dirimu! Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia.
Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia.”
Lalu kata rasul-rasul itu kepada Tuhan: “Tambahkanlah iman kami!”
Jawab Tuhan: “Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu.”
“Adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam laut, daripada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini.”
Paus Fransiskus akan selalu dikenang karena membawa budaya aman dalam kesadaran kita semua. Gereja mengusahakan pertobatan yang sungguh-sungguh karena telah menimbulkan luka yang mendalam ketika tidak mampu menciptakan ruang aman bagi anak-anak, perempuan, dan laki-laki untuk bisa bertumbuh menjadi pribadi yang utuh.
Tema budaya aman menjadi tema yang sepi dan tidak banyak dibicarakan. Gegap gempita undang-undang tentang tindak pidana kekerasan seksual, misalnya, hanya berlangsung sesaat, kemudian senyap.
Mengapa budaya aman menjadi sesuatu yang tidak menarik untuk dibicarakan? Sebab, budaya aman menuntut perubahan konkret dan serius dalam hidup kita.
Budaya aman menuntut perubahan mental, cara berpikir, berbicara, dan berperilaku. Keseluruhan aspek kehidupan harus mampu mencerminkan kehadiran budaya aman. Ini tantangan yang tidak mudah.
Dua bulan yang lalu, bersama Yayasan Yekti Angudi Piadeging Hukum Indonesia (YAPHI) di Surakarta, saya memberi pelatihan untuk para penggiat kelurahan dan berbagai elemen Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk membangun budaya aman. Para peserta yang berasal dari unit-unit terkecil di kalangan masyarakat memiliki semangat untuk membawa budaya aman dalam kehidupan sehari-hari.
Budaya aman menjadi kerinduan terdalam bagi banyak orang. Yesus adalah teladan pribadi yang aman.
Banyak orang mencari dan ingin dekat dengan Yesus karena mereka menemukan rasa aman. Identitas kita sebagai orang kristiani tidak terlepas dari budaya aman.
Panggilan kita adalah menghadirkan ruang-ruang aman yang membawa pertumbuhan. Kita mohon rahmat agar budaya aman dan ruang aman menjadi fokus perhatian dalam kehidupan kita sehari-hari.
Tuhan Yesus, ajar kami bertanggung jawab atas setiap kata dan perbuatan yang dapat melukai sesama. Berikan kami hati yang siap mengampuni berulang kali dan keberanian untuk meminta maaf ketika kami bersalah. Tumbuhkan iman kami, sekecil apa pun, agar mampu menggerakkan perubahan kebaikan. Bantu kami menjadi alat rekonsiliasi yang membawa damai dan menyembuhkan luka. Semoga hidup kami memancarkan kasih-Mu dan memuliakan Bapa. Amin.
Kisah Santo Leo I atau Leo Agung, Paus
Ia lahir di Tuscany, Italia dari sebuah keluarga bangsawan kaya. Ia diangkat menggantikan Paus Sixtus III (432-440) dan dinobatkan pada tanggal 29 September 440.
Ketika terpilih menjadi Paus, ia sedang menjalankan suatu misi diplomatik di Gaul (sekarang: Prancis) atas permintaan Kaisar Valentinianus III.
Misi itu ialah mendamaikan Aetius dan Albinus, dua jenderal kekaisaran yang bertikai sehingga melemahkan pertahanan bangsa Prancis melawan serangan bangsa Barbar. Pengangkatan dirinya menjadi Paus sungguh mengejutkan karena pada waktu itu ia masih berstatus Diakon Agung di dioses Roma.
Ia segera menunjukkan bakat dan kemampuannya memimpin Gereja, dengan mengambil tindakan keras terhadap bidaah-bidaah yang berkembang pada masa itu: Pelagianisme, Manicheisme, Priscillianisme dan Monofisitisme. Leo benar-benar menghadirkan kembali sosok Rasul Petrus yang pernah dengan pedangnya membela Yesus di taman Getzemani.
Leo menghadapi semua serangan terhadap ajaran iman yang benar dan serangan terhadap kota Roma dengan kesucian dan kefasihan lidahnya. Raja Atilla dan Genserik tak berdaya menghadapinya.
Pada tahun 442, Leo menghadapi masalah-masalah serius di dalam diosesnya, khususnya di Aquileia, Italia. Di sana ada beberapa pengikut Pelagius-seorang rahib Inggris yang menyebarkan ajaran sesat Pelagianisme-berniat kembali ke pangkuan Gereja namun tidak sudi melepaskan ajaran sesat yang telah dianutnya.
Hal ini sangat merisaukan Leo, karena di antara ajarannya yang lain, Pelagius dengan tegas menolak pentingnya rahmat Allah bagi keselamatan. Menghadapi hal ini, Paus menuntut agar semua pengikut Pelagianisme yang mau kembali ke pangkuan Gereja harus membuat pengakuan umum akan iman Katolik di hadapan sinode para Uskup di wilayahnya dan secara terbuka menolak Pelagianisme.
Selanjutnya Leo menghadapi lagi aliran Manicheisme, yang mengajarkan adanya dualisme antara prinsip kebaikan dan kejahatan. Hidup manusia di dunia ini merupakan suatu pertentangan kekal antara kedua prinsip itu; semua hal duniawi, termasuk tubuh manusia, adalah jahat pada dirinya.
Ditumpangi oleh bangsa Vandal yang suka berperang, banyak penganut Manicheisme berimigrasi dari Kartago ke Italia dan menetap di Roma. Menghadapi bahaya aliran sesat ini maka pada tahun 443 Leo menggalakkan kampanye menentang para penganut Manicheisme itu.
Ia didukung oleh kaisar Valentinianus III. Banyak penganut aliran itu kemudian bertobat dan kembali ke pangkuan Gereja.
Di luar Roma, Paus kuatir akan bahaya bangkitnya kembali ajaran sesat Priscilianisme di Spanyol yang dalam beberapa hal sama dengan Manicheisme. Aliran itu mengajarkan bahwa unsur manusiawi dan unsur duniawi sama-sama merupakan hasil prinsip kejahatan dan bahwa hanya unsur ilahi sajalah yang baik.
Sebagai jawaban terhadap seruan Paus, para Uskup Spanyol menyelenggarakan sinode untuk menghukum aliran sesat Priscillianisme di Spanyol. Paus juga menyerang aliran sesat Monofisitisme, yang mengajarkan bahwa Kristus hanya mempunyai satu kodrat, yaitu kodrat ilahi.
Ajaran ini menentang dogma tentang Kristus, Pribadi Ilahi yang mempunyai dua kodrat, Allah sekaligus Manusia. Aliran inilah yang menyebabkan krisis doktrinal paling besar dalam masa kepemimpinan Leo.
Aliran ini berkembang luar biasa cepatnya, sehingga Santo Flavianus, Patriark Konstantinopel menyerukan kepada Leo akan dukungannya sebagai pembela dan pimpinan tertinggi Gereja. Leo menjawab seruan itu dalam sebuah suratnya kepada Flavianus.
Di dalamnya ia menandaskan secara jelas bahwa Kristus sungguh Allah dan sungguh Manusia, tetapi satu Pribadi yaitu Pribadi Yesus Kristus. Surat kepada Flavianus ini kemudian menjadi pokok keputusan Konsili Kalsedon.
Ketika kaisar Teodosius II-pendukung kental para penganut Monofisitisme-mendengar pernyataan Paus itu, ia segera memerintahkan Dioscurus, Patriark Aleksandria yang menganut Monofisitisme, untuk menyelenggarakan satu konsili di Efesus. Uskup-uskup yang berkumpul dalam Konsili itu dijaga ketat oleh pasukan-pasukan kekaisaran.
Santo Flavianus dipersalahkan dan mati karena pembelaannya terhadap ajaran iman yang benar sebagaimana ditekankan Paus Leo. Para utusan Paus tidak punya hak bicara dan tidak diperkenankan memimpin rapat.
Surat yang dikirim Paus Leo tidak dapat didengarkan dengan baik karena kegaduhan dan teriakan-teriakan. Akhirnya konsili liar itu mengesahkan ajaran sesat Monofisitisme.
Paus Leo mengutuk konsili itu dan menamakannya sebagai Konsili para Penyamun. Sebagai protes terhadap keputusan konsili liar itu, Paus Leo menyelenggarakan sebuah konsili lain di Kalsedon pada tahun 451.
Tugas Konsili ini ialah “menegaskan kodrat keallahan dan kemanusiaan dalam Pribadi Yesus Kristus serta mengutuk Monofisitisme dan membendung pengaruhnya”. Sekitar 600 orang Uskup yang berkumpul dalam Konsili itu menerima ajaran dogmatik Leo yang tertulis di dalam suratnya kepada Santo Flavianus.
Dalam tulisan-tulisannya yang bernada keras maupun manis, ia menyerang semua bidaah itu. Ia pantang menyerah … seperti seekor singa menerjang setiap mangsa yang ada di hadapannya.
Selain menghadapi berbagai aliran sesat itu, Leo menghadapi juga serangan terhadap kota Roma. Tercatat serangan Attila, raja bangsa Hun pada tahun 452, dan serangan Genserik, raja bangsa Vandal yang suka berperang.
Leo bersama sekelompok imam dan senator Roma menghadap Attila dan berbicara dengannya. Ia berhasil meyakinkan Attila, agar segera menarik pasukan-pasukannya dan tidak menyerang kota Roma.
Demikian juga terhadap Genserik, raja Vandal itu. Leo benar-benar menghadirkan kembali sosok Rasul Petrus yang membela Yesus dengan pedangnya. Ia berhasil menerjang bangsa-bangsa Barbar yang mau menghancurkan kekristenan.
Dengan semua tindakannya, Leo menjadi salah seorang Paus pembela ajaran iman yang benar dan pembela kota Roma dari serangan bangsa Barbar. Ia seorang gembala yang baik yang berani membela umatnya dari berbagai serangan.
Ia menjadi teladan bagi para gembala: penuh semangat, berhati lapang tetapi tetap saleh, sehingga dapat bertindak secara fleksibel. Surat-surat dan kotbah-kotbahnya sangat bernilai karena buah pikirannya yang dalam.
Selain dikenal sebagai penulis, orator, diplomat, negarawan dan teolog, Leo juga seorang administrator besar. Selama masa pontifikatnya, ia membangun dan memperbaiki banyak gereja.
Masa kepemimpinannya menandai salah satu masa yang paling penting dalam sejarah Gereja Perdana. Ia wafat pada tanggal 10 November 461 dan dimakamkan di ruang depan basilik Santo Petrus.
Beliau adalah Paus non-martir pertama dalam sejarah Gereja. Pada tahun 688, Paus Sergius I (687-701) memindahkan relikuinya ke bagian dalam basilik itu.
Pada tahun 1607 para pekerja menggali kembali relikuinya dan memindahkannya ke dalam basilik Santo Petrus yang baru. Pada tahun 1754, Paus Benediktus XIV (1740-1758) menggelari Leo sebagai Pujangga Gereja.
Itulah renungan harian Katolik Senin, 10 November 2025. Semoga Tuhan Memberkati!







