Renungan Khotbah Jumat Agung: Menggali Makna Pengorbanan Kristus

Posted on

Jumat Agung merupakan hari peringatan kesengsaraan dan wafatnya Yesus Kristus. Saat melaksanakan ibadah Jumat Agung, biasanya disampaikan khotbah sebagai upaya merenungkan kembali makna pengorbanan Kristus di kayu salib.

Khotbah Jumat Agung memberikan penghiburan, ketenangan, dan harapan baru dalam menghadapi tantangan hidup. Selain itu, ini juga merupakan bentuk pengingat akan kasih Allah telah menjadikan Kristus sebagai Juruselamat.

Untuk itu, penting menyiapkan khotbah Jumat Agung sebelum melaksanakan rangkaian ibadah Paskah. Berikut kumpulan khotbahnya yang dapat dijadikan sebagai panduan sekaligus bahan renungan.

Simak, yuk!

Mengutip jurnal berjudul “Khotbah-khotbah Augustinus: Sebuah Evaluasi Teologis-Kontekstual” oleh Emanuel Gerrit Singgih, berikut kumpulan khotbah Jumat Agung dengan berbagai tema pembahasan.

Bacaan: Yohanes 1:5, Yohanes 9:1-7, Mazmur 85:12

Pendahuluan

Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan,

Kita sering berpikir bahwa kita tahu ke mana arah hidup ini. Tapi sebenarnya, banyak dari kita berjalan dalam kegelapan, buta, tapi tidak sadar bahwa kita buta.

Hari ini kita akan merenungkan apa yang dikatakan Santo Augustinus: bahwa manusia buta karena dosanya, dan hanya Kristus yang dapat menyembuhkannya.

Yesus Datang Menjadi Obat

Dalam Sermo 195, Augustinus mengutip Yohanes 1:5:

“Terang itu bercahaya di dalam kegelapan, dan kegelapan itu tidak menguasainya.”

Ia mengatakan bahwa Yesus datang dalam tubuh manusia untuk menyembuhkan kita dari kebutaan rohani. Tubuh-Nya bagaikan obat yang menyembuhkan mata batin kita yang dibutakan oleh keduniawian.

Yesus memakai tanah, bahan yang sama dari mana manusia diciptakan untuk menyembuhkan orang buta sejak lahir (Yoh. 9:1-7). Ini adalah lambang yang dalam. Kita yang berasal dari debu tanah dibutakan oleh kelekatan kita pada dunia ini, dan hanya oleh “tanah” yang adalah Kristus, kita disembuhkan.

Yesus, Tabib dan Obat

Augustinus berkata bahwa Yesus bukan hanya sang Tabib, tetapi juga obatnya sendiri. Ia datang untuk menyembuhkan cacat-cacat kita seperti kesombongan, keangkuhan, dan buta rohani.

Dalam perumpamaan ini, Kristus menjadi obat dari tanah, dan dalam kenyataannya, Ia menggunakan tanah untuk menyembuhkan. Dua gambaran yang menyatu: Kristus sebagai penyembuh, dan Kristus sebagai penyembuhan itu sendiri.

Refleksi: Amazing Grace

Nyanyian “Amazing Grace” (Kidung Jemaat No. 40) berbicara hal yang sama:
“Ku hilang, buta, bercela, oleh-Nya kusembuh.”

Lagu ini sering dinyanyikan dalam kebaktian pertobatan. Tapi sayangnya, pengajaran tentang “manusia yang rusak total” kadang dibawa terlalu jauh, seolah-olah manusia sama sekali tidak ada nilainya. Pandangan ini berkembang di Jawa, bercampur dengan budaya lokal yang juga melihat manusia dengan pesimis.

Generasi sekarang pun mulai menjauh dari pandangan tersebut. Tidak hanya itu, bahkan sampai menganggap bahwa manusia itu pada dasarnya baik-baik saja.

Penutup

Kita diingatkan hari ini bahwa kita memang buta karena dosa, tapi bukan tanpa harapan. Yesus datang untuk menjadi terang bagi kita. Mari kita izinkan Kristus menyembuhkan mata rohani kita, agar kita tidak lagi hidup dalam kegelapan, melainkan menjadi terang di dalam Tuhan. Amin.

Bacaan: Roma 4:25, Galatia 5:24, Lukas 6:37-38

Pendahuluan

Saudara-saudari dalam Kristus,

Hari ini kita diajak merenungkan kembali makna puasa dalam kehidupan Kristen. Dalam masa menjelang Paskah, kita mengenal tradisi puasa dan pertobatan.

Namun, seringkali puasa disalahpahami, bahkan ditolak oleh sebagian kalangan Protestan. Santo Augustinus memberikan pengajaran yang mendalam tentang puasa sebagai latihan pengendalian diri dan kasih.

Puasa: Menyalibkan Daging

Dalam Sermo 196A dan 205, Augustinus menghubungkan puasa dengan penyunatan rohani, yakni menanggalkan keinginan daging. Maksudnya memutus keterikatan pada dunia dan mengandung kebenaran dalam hati.

Ia mengutip Galatia 5:24:

“Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya.”

Augustinus menekankan bahwa puasa bukan hanya soal makanan, tetapi pengendalian hawa nafsu secara menyeluruh. Termasuk di dalamnya amarah, keinginan daging, dan keangkuhan.

Puasa, Amarah, dan Pengampunan

Dalam Sermo 210, Augustinus menyambungkan puasa dengan amal kasih. Orang yang berpuasa harus juga memberi, mengampuni, dan rendah hati. Ia menegur keras orang yang tidak mau mengampuni sesamanya, apalagi yang sudah menyesal.

“Ampunilah, maka kamu akan diampuni. Berilah, maka kamu akan diberi.” (Luk 6:37-38)

Tetapi Augustinus juga sadar akan struktur sosial. Ia menyarankan bahwa seorang tuan yang bersalah kepada hambanya cukup menunjukkan penyesalan melalui sikap ramah.

Di sinilah kita bisa mengkritisi: bukankah permintaan maaf yang jujur lebih mencerminkan Injil daripada sekadar sopan santun?

Puasa dalam Konteks Indonesia

Tradisi puasa dalam gereja Protestan Indonesia sempat ditinggalkan, bahkan dianggap identitas “orang lain”. Namun, ternyata Augustinus sendiri mendukung puasa.

Bukan sebagai syarat keselamatan, tetapi sebagai latihan untuk mengalahkan hawa nafsu. Menarik bahwa beberapa gereja seperti GKJ mulai menjalankan puasa kembali.

Bisa jadi ini dipengaruhi oleh lingkungan Muslim, tetapi juga bisa jadi karena mereka mulai menggali lagi tradisi Kristen yang hilang.

Penutup

Mari kita melihat puasa bukan sebagai beban atau formalitas, tapi sebagai kesempatan untuk menyalibkan keinginan diri, menumbuhkan kasih, dan hidup dalam kerendahan hati. Puasa bukan soal tidak makan, tapi soal membiarkan kasih Tuhan mengendalikan hidup kita. Amin.

Bacaan: Lukas 24:38-39, Yohanes 20:17, Roma 13:13-14

Pendahuluan

Saudara-saudari terkasih,

Pada Jumat Agung ini, kita bukan hanya mengingat penderitaan Yesus, tapi juga menantikan kebangkitan-Nya. Kita sering lupa bahwa Kristus bangkit dengan tubuh-Nya.

Dan dari tubuh yang bangkit itu, kita belajar sesuatu yang penting tentang diri kita sendiri. Yaitu bahwa tubuh kita pun akan dibangkitkan.

Kristus Bertubuh Sejati

Augustinus menekankan bahwa Yesus sungguh menjadi manusia. Ia makan, berjalan, duduk, bahkan merasa letih. Setelah bangkit pun, Yesus menunjukkan tubuh-Nya, dan meminta murid-murid untuk menyentuh-Nya.

“Lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku, bahwa Aku sendirilah ini; rabalah Aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya.” (Luk. 24:39)

Namun Augustinus mengajak kita melihat lebih dalam. Menyentuh Kristus bukan sekadar dengan tangan, tapi dengan iman. Gereja harus “memegang” Kristus sebagai Tuhan, bukan hanya sebagai manusia.

Kebangkitan Tubuh Kita

Kebangkitan Kristus adalah jaminan bahwa tubuh kita pun akan bangkit. Mungkin kita bertanya: bagaimana tubuh yang sudah hancur bisa bangkit?

Augustinus menjawab: sama seperti Allah membentuk tubuh kita dari rahim ibu, Ia juga sanggup membangkitkan kita dari tanah.

Tubuh ini memang akan mati, tetapi akan digantikan dengan tubuh yang baru-yang indah, utuh, dan abadi. Bahkan bagian tubuh yang tampaknya tidak berguna pun punya makna. Jika tubuh lama saja begitu teratur dan indah, apalagi tubuh baru yang akan kita kenakan dalam kemuliaan.

Sayangnya, banyak orang Kristen di Indonesia mengabaikan ajaran tentang kebangkitan tubuh. Kita lebih sering mendengar:

“Yang penting rohnya masuk surga.” Namun, ini mendekati pandangan Manikheisme yang melihat tubuh sebagai sesuatu yang rendah dan tidak penting.

Sementara itu, iman Kristen mengajarkan bahwa tubuh akan bangkit-karena Tuhan menciptakannya baik, dan Ia akan memulihkannya dalam kemuliaan.

Penutup

Mari kita muliakan Allah dengan tubuh kita, sebab tubuh ini adalah ciptaan-Nya, dan kelak akan dibangkitkan untuk hidup bersama-Nya. Jangan anggap rendah tubuh ini, tapi gunakan untuk kemuliaan Tuhan. Amin.

Demikianlah khotbah Jumat Agung yang dapat dijadikan panduan sekaligus bahan renungan. Semoga bermanfaat!

Khotbah Jumat Agung

KHOTBAH 1: Manusia yang Buta Karena Dosanya

KHOTBAH 2: Makna Positif dari Puasa dan Bertarak

KHOTBAH 3: Tubuh Kristus dan Tubuh Kita: Antara Dosa dan Kemuliaan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *