Pahlawan Revolusi merupakan gelar yang diberikan kepada para perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang gugur dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Lantas siapa saja Pahlawan Revolusi?
Para Pahlawan Revolusi terdiri dari para petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD) dan beberapa korban lainnya dalam peristiwa G30S/PKI. Mereka menjadi korban penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok pemberontak yang ingin mengganti dasar negara Pancasila.
Untuk mengenang jasa dan pengorbanannya, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Revolusi sebagai bentuk penghormatan. Penetapan Pahlawan Revolusi sendiri berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres).
Tercatat ada sepuluh nama yang dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi. Berikut ini daftar lengkap Pahlawan Revolusi beserta biografi singkatnya yang dilansir dari buku Ensiklopedi Pahlawan Nasional.
Yuk, disimak!
Berikut ini daftar nama Pahlawan Revolusi:
Berikut adalah biografi singkat dari kesepuluh Pahlawan Revolusi Indonesia:
Jenderal TNI Ahmad Yani lahir pada 19 Juni 1922 di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah. Pada masa pendudukan Jepang, ia menempuh pendidikan militer di sekolah Heiho di Magelang dan kemudian mengikuti pendidikan tentara di Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.
Berkat prestasi gemilangnya, Ahmad Yani menerima penghargaan berupa pedang samurai istimewa. Setelah terbentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 1945, ia dipercaya sebagai Komandan TKR Purwokerto.
Tahun 1948, Ahmad Yani ikut serta dalam operasi penumpasan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Muso di Madiun. Saat Agresi Militer Belanda II berlangsung pada 1948-1949, Ahmad Yani diangkat sebagai Komandan Wehrkreise II di daerah Kedu.
Kemudian dia ditugaskan menumpas pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Tengah. Pada saat itu ia membentuk pasukan istimewa bernama Banteng Raiders yang dikenal tangguh dan disiplin.
Setelah menuntaskan tugasnya di Kedu, Ahmad Yani berkesempatan menempuh pendidikan di Command and General Staff College di Amerika Serikat. Karier militernya terus menanjak hingga pada 1958 ia dipercaya memimpin Komando Operasi 17 Agustus di Padang, Sumatera Barat, untuk menumpas pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Puncak kariernya adalah ketika ia dilantik sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pada tahun 1962. Namun, fitnah yang dilancarkan Partai Komunis Indonesia menyebut dirinya ingin menjatuhkan Presiden Soekarno.
Pada dini hari 1 Oktober 1965, Jenderal Ahmad Yani diculik oleh pasukan Gerakan 30 September (G30S/PKI), kemudian dibunuh. Jasadnya ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Kemudian pada tanggal 5 Oktober 1965 Jenderal Ahmad Yani ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi melalui Keppres No. 111/Koti/Tahun 1965.
Letjen Suprapto lahir pada 20 Juni 1920 di Purwokerto, Jawa Tengah. Pendidikan militernya dimulai di Akademi Militer Kerajaan (Koninklijke Militaire Academie/KMA) di Bandung, namun terputus ketika tentara Jepang mendarat di Indonesia pada 1942.
Pada masa pendudukan Jepang, Suprapto tetap aktif mengikuti berbagai latihan untuk pemuda. Ia pernah menempuh kursus di Pusat Latihan Pemuda dan bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945, Suprapto turut serta dalam perebutan senjata pasukan Jepang di Cilacap. Setelah itu, ia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Purwokerto dan ikut dalam pertempuran Ambarawa sebagai ajudan Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Karier militernya terus berkembang. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorium IV Diponegoro di Semarang, staf Angkatan Darat di Jakarta, hingga Deputi Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatera di Medan. Pada akhirnya, Suprapto dipercaya sebagai Deputi II Menteri/Panglima Angkatan Darat di Jakarta.
Suprapto dikenal tegas menentang rencana Partai Komunis Indonesia (PKI) yang ingin membentuk Angkatan Kelima, yaitu angkatan bersenjata yang melibatkan buruh dan tani. Sikapnya itu membuat ia menjadi target PKI.
Pada dini hari 1 Oktober 1965, Letjen Suprapto diculik oleh pasukan Gerakan 30 September, kemudian dibunuh dan jasadnya ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Jenazah Mayor Jenderal Suprapto kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Kemudian Letjen Suprapto ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Revolusi pada 5 Oktober 1965 melalui melalui Keppres No. 111/Koti/Tahun 1965.
Siswondo Parman atau lebih dikenal dengan S Parman lahir pada 4 Agustus 1918 di Wonosobo, Jawa Tengah. Pada masa pendudukan Jepang, ia bekerja di Jawatan Kenpeitai (polisi militer Jepang).
Dia pernah ditangkap karena dicurigai, namun kemudian dibebaskan dan bahkan dikirim ke Jepang untuk memperdalam ilmu intelijen di Kenpei Kasya Butai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, S Parman bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Di TKR dia diangkat sebagai Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara di Yogyakarta. Karier militernya terus berkembang hingga pada Desember 1949 ia dipercaya sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya.
Tahun 1951, S Parman dikirim ke Amerika Serikat untuk menempuh pendidikan di Military Police School. Sekembalinya ke Indonesia, ia bertugas di Kementerian Pertahanan.
Pada 1959, ia diangkat sebagai Atase Militer Republik Indonesia di London, dan lima tahun kemudian dipercaya sebagai Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal.
Sebagai perwira intelijen yang berpengalaman, S Parman mengetahui banyak tentang rencana Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk upaya mereka membentuk Angkatan Kelima. Hal inilah yang membuat dirinya menjadi salah satu target PKI.
Pada dini hari 1 Oktober 1965,S Parman diculik oleh pasukan Gerakan 30 September (G30S/PKI) dan dibunuh. Jenazahnya ditemukan di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur, lalu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
S Parman kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi pada tanggal 5 Oktober 1965 atas jasa dan pengorbanannya bagi bangsa dan negara. Keputusan tersebut termuat dalam Keppres No. 111/Koti/Tahun 1965.
Mas Tirtodarmo Haryono atau lebih dikenal dengan M T Haryono lahir di Surabaya pada 20 Januari 1924. Pada masa pendudukan Jepang, ia menempuh pendidikan di Ika Daigaku (Sekolah Kedokteran) di Jakarta.
Ketika Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, M T Haryono ikut bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan pangkat Mayor. Berkat kepandaiannya menguasai beberapa bahasa asing, seperti Belanda, Inggris, dan Jerman, ia kerap dilibatkan dalam berbagai perundingan penting antara Republik Indonesia dengan Belanda maupun Inggris.
Kariernya terus berkembang di dunia militer dan diplomasi. Ia pernah menjabat sebagai Sekretaris Delegasi RI, Sekretaris Dewan Pertahanan Negara, serta Wakil Tetap Kementerian Pertahanan untuk Urusan Gencatan Senjata.
Pada Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 di Den Haag, Haryono dipercaya sebagai Sekretaris Delegasi Militer Indonesia. Setelah itu, ia diangkat sebagai Atase Militer RI di Belanda pada 1950.
Sepulang ke tanah air, Haryono menduduki berbagai posisi penting, termasuk sebagai Direktur Intendans dan akhirnya menjabat sebagai Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat pada 1964. Namun, kiprah panjangnya di dunia militer harus terhenti tragis.
Pada dini hari 1 Oktober 1965, M T Haryono diculik oleh pasukan Gerakan 30 September (G30S/PKI) dan dibunuh. Tubuhnya ditemukan di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Pada tanggal 5 Oktober 1965 M T Haryono dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi melalui Keppres No. 111/Koti/Tahun 1965.
Donald Ignatius Panjaitan lahir pada 9 Juni 1925 di Balige, Tapanuli, Sumatera Utara. Pada masa pendudukan Jepang, ia menempuh pendidikan militer Gyugun (pembentukan tentara sukarela bentukan Jepang).
Setelah lulus, ia ditempatkan di Pekanbaru, Riau hingga masa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Usai kemerdekaan, Panjaitan ikut bergabung ke Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan diangkat sebagai Komandan Batalyon.
Tahun 1948, ia menjabat sebagai Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi, kemudian menjadi Kepala Staf Umum IV Komando Tentara Sumatera. Saat berlangsungnya Agresi Militer Belanda II pada 1948-1949, Panjaitan dipercaya sebagai pimpinan perbekalan perjuangan dalam Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Setelah itu, ia bertugas sebagai Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium I Bukit Barisan di Medan, lalu menjabat Kepala Staf Tentara dan Teritorium II Sriwijaya. Kariernya juga membawanya ke luar negeri.
Ia pernah dipercaya sebagai Atase Militer Republik Indonesia di Bonn, Jerman Barat. Sekembalinya ke tanah air, Panjaitan diangkat sebagai Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat serta mendapat kesempatan menempuh pendidikan militer di Amerika Serikat.
Namun, pengabdiannya juga berakhir tragis. Pada dini hari 1 Oktober 1965, D I Panjaitan diculik oleh pasukan Gerakan 30 September (G30S/PKI) dan dibunuh. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Atas jasanya, Mayjen Donald Ignatius Panjaitan ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Revolusi pada 5 Oktober 1965. Keputusan tersebut termuat dalam Keppres No. 111/Koti/Tahun 1965.
Katamso Darmokusumo lahir pada 5 Februari 1923 di Sragen, Jawa Tengah. Pada masa pendudukan Jepang, ia menempuh pendidikan militer di Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor dan diangkat menjadi Shodanco (komandan peleton) PETA di Solo.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Katamso bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ia diangkat sebagai Komandan Kompi di Klaten, lalu bertugas sebagai Komandan Kompi Batalyon 28 Divisi IV.
Dalam masa Agresi Militer Belanda II (1948-1949), pasukan yang dipimpinnya beberapa kali terlibat langsung dalam pertempuran melawan Belanda. Pada 1951, Katamso berhasil menumpas pemberontakan dalam tubuh Batalyon 426 di Jawa Tengah.
Karier militernya terus berlanjut. Tahun 1958, ia dikirim ke Sumatera Barat untuk menumpas pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) sebagai Komandan Batalyon “A” Komando Operasi 17 Agustus. Setelah itu, Katamso menjabat Kepala Staf Resimen Tempur (RTP) II Diponegoro di Bukittinggi.
Tragisnya, Katamso menjadi salah satu korban keganasan Gerakan 30 September (G30S/PKI). Saat menjabat sebagai Komandan Resort Militer (Korem) 072, Komando Daerah Militer (Kodam) VII Diponegoro di Yogyakarta, ia diculik dan dibunuh.
Jenazahnya baru ditemukan pada 22 Oktober 1965 dan kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Brigjen Katamso kemudian ditetapkan menjadi Pahlawan Revolusi pada tahun 1965 melalui Keppres No. 118/Koti/Tahun 1965.
Sutoyo Siswomiharjo lahir pada 28 Agustus 1922 di Kebumen, Jawa Tengah. Pada masa pendudukan Jepang, ia menempuh pendidikan di Balai Pendidikan Pegawai Tinggi di Jakarta, kemudian bekerja sebagai pegawai negeri di Kantor Kabupaten Purworejo.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sutoyo bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bagian kepolisian, hingga akhirnya menjadi anggota Corps Polisi Militer (CPM). Ia sempat menjadi ajudan Kolonel Gatot Subroto, kemudian dipercaya sebagai Kepala Bagian Organisasi Resimen II Polisi Tentara di Purworejo.
Karier militernya terus berkembang. Sutoyo pernah menjabat sebagai Kepala CPM Yogyakarta, Komandan CPM Detasemen III Surakarta, hingga Kepala Staf Markas Besar Polisi Militer pada 1954. Dua tahun kemudian, ia ditugaskan sebagai Asisten Atase Militer Republik Indonesia di Inggris.
Sepulangnya dari luar negeri, Sutoyo menempuh pendidikan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung. Setelah itu, ia dipercaya sebagai Pejabat Sementara Inspektur Kehakiman Angkatan Darat, lalu pada 1961 diangkat sebagai Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat.
Namun, pengabdian panjangnya berakhir tragis. Saat pecah Gerakan 30 September (G30S/PKI), Mayjen Sutoyo menjadi salah satu target karena menolak rencana pembentukan Angkatan Kelima yang digagas PKI.
Pada dini hari 1 Oktober 1965, ia diculik dan dibunuh oleh pasukan G30S/PKI. Jenazah Mayjen Sutoyo kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Mayjen Sutoyo pada tanggal 5 Oktober dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi melalui Keppres No. 111/Koti/Tahun 1965.
Kapten Czi (Anumerta) Pierre Andreas Tendean lahir pada 21 Februari 1939 di Jakarta. Dia menyelesaikan pendidikan di Akademi Militer Jurusan Teknik (ATEKAD) pada tahun 1962
Setelah lulus ia memulai karier militernya sebagai Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2 Komando Daerah Militer II/Bukit Barisan di Medan. Dalam masa tugasnya, ia juga terlibat dalam operasi penyusupan ke wilayah Malaysia ketika Indonesia berada dalam periode konfrontasi dengan Malaysia.
Sejak kecil, Piere dikenal sebagai pribadi yang rendah hati, mudah bergaul, dan gemar menolong. Karakter itu membuatnya disayangi oleh teman-teman, guru, serta para instruktur baik ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, sekolah menengah, maupun saat menjadi taruna di ATEKAD.
Pada April 1965, Piere dipercaya menjabat sebagai ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution, yang saat itu menjabat Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan sekaligus Kepala Staf Angkatan Bersenjata.
Namun, tugas pengabdian itu justru membawa dirinya menjadi korban keganasan Gerakan 30 September (G30S/PKI). Pada dini hari 1 Oktober 1965, rumah Jenderal A H Nasution diserbu pasukan pemberontak.
Dalam insiden itu, Piere Tendean tertangkap dan kemudian dibunuh oleh gerombolan G30S/PKI. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Dia kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 5 Oktober 1965 melalui Keppres No. 111/Koti/Tahun 1965.
Karel Satsuit Tubun lahir pada 14 Oktober 1928 di Tual, Maluku Tenggara. Setelah menamatkan pendidikan di Sekolah Polisi Negara Ambon, ia diangkat sebagai Agen Polisi Tingkat II dan bergabung dalam kesatuan Brigade Mobil (Brimob) di Ambon.
Tak lama kemudian, ia dipindahkan ke Brimob Dinas Kepolisian Negara di Jakarta. Kariernya terus berlanjut dengan penugasan di berbagai daerah. Pada tahun 1955, ia dipindahkan ke Medan, Sumatera Utara, lalu pada tahun 1958 bertugas di Sulawesi.
Ketika terjadi pemberontakan PRRI/Permesta, Karel Tubun turut serta dalam operasi penumpasan di Sumatera Barat selama kurang lebih enam bulan sebelum kemudian dipindahkan ke Dabo, Kepulauan Riau. Pada saat meletusnya Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI), Karel Satsuit Tubun tengah bertugas sebagai pengawal di kediaman Dr Johannes Leimena.
Dr Johannes Leimena adalah salah satu menteri pada masa itu, yang lokasinya berdampingan dengan rumah Jenderal AH Nasution. Dalam serangan tersebut, Karel Tubun berusaha melawan, namun akhirnya gugur ditembak pasukan pemberontak.
Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Dia kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi pada tahun 1965 melalui Keppres No. 114/Koti/Tahun 1965.
Sugiyono Mangunwiyoto lahir pada 12 Agustus 1926 di Desa Gedaran, Gunungkidul, Yogyakarta. Pada masa pendudukan Jepang, ia mengikuti pendidikan militer di organisasi Pembela Tanah Air (PETA) dan kemudian diangkat sebagai Budancho di Wonosari.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Sugiyono bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Yogyakarta dan bertugas sebagai Komandan Seksi. Pada tahun 1947, ia dipercaya menjadi ajudan Komandan Brigade 10, Letnan Kolonel Soeharto, dan turut serta dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta yang menjadi momentum penting perjuangan bangsa.
Pasca pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, Sugiyono terlibat dalam operasi penumpasan pemberontakan Andi Azis di Sulawesi Selatan. Karier militernya terus menanjak hingga akhirnya menjabat sebagai Kepala Staf Komando Resort Militer (Korem) 072, Kodam VII Diponegoro, Yogyakarta pada tahun 1965.
Pada dini hari 1 Oktober 1965, ketika Gerakan 30 September (G30S/PKI) meletus, Markas Korem 072 berhasil diduduki pasukan pemberontak. Letkol Sugiyono yang baru kembali dari Pekalongan ditangkap, kemudian dibunuh di daerah Kentungan, sebelah utara Yogyakarta.
Jenazahnya ditemukan pada 22 Oktober 1965 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Atas jasa dan pengorbanannya, Sugiyono Mangunwiyoto dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi pada tanggal 19 Oktober 1965 melalui Keppres No. 118/Koti/Tahun 1965.
Itulah informasi mengenai siapa saja Pahlawan Revolusi. Semoga menambah wawasan ya, infoers!
Daftar Nama Pahlawan Revolusi
Biografi Singkat Pahlawan Revolusi
Jenderal Anumerta Ahmad Yani
Letjen Anumerta Suprapto
Letjen Anumerta S Parman
Letjen Anumerta MT Haryo
Mayjen Anumerta D I Panjaitan
Brigjen Anumerta Katamso
Mayjen Anumerta Sutoyo
Kapten Anumerta Pierre Tendean
Aip II Anumerta Karel Satsuit
Kolonel Anumerta Sugiyono
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.