Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra membuka opsi restorative justice bagi para tersangka kasus kericuhan di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Upaya ini mengemuka saat Yusril menjenguk dan berdialog dengan mahasiswa yang menjadi tersangka dalam perkara tersebut.
“Ya, ada harapan mereka untuk restorative justice, terutama itu diungkapkan oleh mahasiswa. Kalau mahasiswa mungkin paham ya, tapi yang lain-lain seperti ada yang petugas kebersihan, ada yang buruh, itu mungkin tidak paham tentang restorative justice,” kata Yusril usai menemui tahanan kasus kericuhan di Mapolda Sulsel, Rabu (10/9/2025).
Namun Yusril menegaskan pemerintah tetap berupaya adil kepada tersangka yang berasal dari berbagai latar belakang profesi atau pekerjaan. Dia berharap upaya restorative justice diinisiasi aparat penegak hukum meski tidak ada permohonan dari kuasa hukum tersangka.
“Kalaupun tidak penasihat hukumnya yang memperjuangkan itu, saya berpesan supaya kita, aparat penegak hukum, penyidik, jaksa nanti, itu juga dapat melakukan upaya-upaya restorative justice itu,” tuturnya.
Dia melanjutkan upaya restorative justice itu dapat dilakukan pada tingkat penyelidikan dan penyidikan. Bahkan skema ini masih terbuka dilakukan saat kasusnya masih bergulir di persidangan.
“Jadi, hakim pun bisa menghentikan pemeriksaan kalau sekiranya restorative justice sudah dicapai antara pelaku, korban, dan kemudian masyarakat, dan merasa bahwa hal itu dapat dimusyawarahkan, didamaikan, lalu dapat memulihkan keadaan seperti semula,” ucap Yusril.
Hanya saja Yusril menekankan restorative justice hanya bisa dilakukan untuk tersangka yang dinilai tidak melakukan tindak pidana atau kejahatan besar. Dia mengatakan pemerintah bersama aparat penegak hukum akan mendalami hal tersebut.
“Walaupun tentu banyak hal yang masih harus dipikirkan mengenai restorative justice ini, mungkin lebih mudah kalau misalnya penganiayaan, karena ada yang menganiaya, ada yang dianiaya. Pencurian, ada yang mencuri, ada orang kehilangan barangnya karena dicuri,” paparnya.
“Tapi kalau orang melakukan perusakan, pembakaran, yang dirusak itu adalah halte bus, yang dirusak itu adalah gedung DPRD. Dengan siapa restorative justice-nya? Siapa korbannya? Nah, itu juga masih memerlukan satu pemikiran yang mendalam,” tambah Yusril.
Menurut Yusril, ada syarat tertentu sehingga seorang tersangka bisa diberi opsi restorative justice. Dia juga berharap aparat penegak hukum mempertimbangkan dampak dari tindak kejahatan yang dilakukan para tersangka.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
“Seperti dalam kasus yang diancam ancaman seumur hidup menyebabkan matinya orang itu memang agak berat prosesnya dan kita akan mencari satu jalan yang terbaik karena tujuan kita menegakkan ketertiban untuk semua masyarakat,” jelasnya.
Diketahui, Polda Sulsel melaporkan ada 42 tersangka kasus kericuhan dalam demo di Sulsel. Polisi merincikan ada 40 orang di antaranya khusus di Makassar, sedangkan 2 tersangka lainnya di Kota Palopo.
Para tersangka yang ditahan di Makassar, terdiri dari pelaku pembakaran gedung DPRD Makassar dan DPRD Sulsel. Selain itu tersangka kasus pengeroyokan driver ojol, serta perusakan Pos Pelayanan Kejati Sulsel.
“DPRD Provinsi, DPRD Kota Makassar kemudian di depan Kejati termasuk penganiayaan ojol itu totalnya ada 40 (orang),” ucap Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Didik Supranoto kepada wartawan di Mapolda Sulsel, Rabu (10/9).