Awal Mula Sengketa Lahan Perumahan Pemda di Manggala Makassar

Posted on

Warga bernama Magdalena De Munnik mengklaim kepemilikan lahan seluas 52 hektare di kawasan perumahan milik pemerintah daerah (pemda) di Kecamatan Manggala, Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Magdalena memenangkan gugatan sengketa lahan di Pengadilan Tinggi (PT) Makassar yang membuat ribuan rumah di kawasan itu terancam digusur.

Ketua Forum Warga Manggala Bersatu Sadaruddin menjelaskan sengketa awalnya bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Makassar dengan penggugat utama keluarga Hasyim Dg Manappa pada 2024 lalu. Gugatan dengan nomor perkara: 15/Pdt.G/2024/PN.Mks ini melibatkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel, Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar, hingga Badan Pertanahan Nasional (BPN) Makassar sebagai tergugat.

“Di situ ada penggugat yang sudah beberapa kali kalah, yaitu keluarga Hasyim Dg Manappa. Ahli waris Hasyim Dg Manappa melawan Pemprov, Pemkot, BPN Makassar,” ujarnya kepada infoSulsel, Kamis (5/6/2025).

Pada prosesnya, muncul penggugat intervensi bernama Magdalena De Munnik yang membawa dokumen warisan hukum kolonial Belanda berupa Eigendom Verponding Nomor 12 Tahun 1838. Dokumen ini diklaim sebagai bukti kepemilikan lahan.

Sadaruddin menyebut dokumen itu tidak dapat diverifikasi keabsahannya selama persidangan. PN Makassar kemudian memenangkan Pemprov dan pihak tergugat lainnya.

“BPN hanya tidak menyatakan bahwa itu palsu, tapi dia tidak mengeluarkan. Makanya pada saat itu putusan PN dimenangkan oleh Pemprov dan kawan-kawan,” ujarnya.

Namun, Magdalena mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Makassar. Menurut Sadaruddin, di sinilah situasi mulai memanas sebab dengan bukti yang sama, PT Makassar justru memenangkan Magdalena pada Maret 2025.

“Lanjut ke Pengadilan Tinggi, yang mengajukan banding itu adalah Magdalena, sementara (penggugat) lainnya tidak. Sama prosesnya, dokumen-dokumen itu dibantah oleh BPN dengan BHP (Balai Harta Peninggalan). Saya tidak tahu kenapa Pengadilan Tinggi menerima itu semua sehingga dimenangkan oleh Magdalena,” katanya.

Dalam amar putusan PT Makassar disebutkan bahwa lahan harus segera dikosongkan, bahkan bila perlu menggunakan alat negara. Putusan ini membuat warga di lokasi yang kini dihuni sekitar ribuan rumah.

“Rumah itu di Perumahan Pemprov hampir 1.200 unit, di Perumahan Pemkot itu hampir 500 unit. Akhirnya itulah yang menjadi riak-riak,” ucap Sadaruddin.

Apalagi, dalam kawasan yang disengketakan itu juga berdiri berbagai fasilitas umum. Fasilitas itu mulai kampus STIBA, masjid, pesantren, SMA, posyandu, TPA, jaringan PDAM, hingga gedung BKPRMI Sulsel.

Sadaruddin mengaku dirinya dan pihak lainnya mempertanyakan keabsahan dokumen Eigendom Verponding Nomor 12 Tahun 1838. Dia mengaku sudah bersurat ke BHP dan hasilnya lembaga tersebut membantah pernah menerbitkan salinan dokumen yang dijadikan alat bukti Magdalena.

“Terus dikatakan (BHP), Eigendom Verponding Nomor 12 kami tidak pernah mengeluarkan salinannya seperti dokumen yang ada itu. Kalau kami mengeluarkan salinan, maka kami akan memberikan cap keabsahan, mungkin tanda tangan dan stempel,” ungkapnya.

Menurutnya, dokumen Eigendom Verponding itu tidak relevan lagi saat ini. Sebab, pada 1960, Indonesia mengesahkan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 yang memberikan kesempatan kepada pemilik Eigendom Verponding, produk Belanda, untuk mengubahnya menjadi sertifikat kepemilikan yang sah, seperti hak bangunan atau yang lainnya.

Sadaruddin menyebut proses konversi ini memiliki batas waktu 20 tahun yang berakhir pada tahun 1980. Kegagalan untuk mendaftarkan dapat menyebabkan tanah tersebut kembali menjadi milik negara.

“(Eigendom Verponding) tidak masuk akal. Begini, Eigendom Verponding itu, kan, produk Belanda. Terus pada tahun 1960 muncul Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5. Di situ memberikan kesempatan bagi pemegang Eigendom untuk mendaftarkan kembali Eigendom-nya untuk berubah menjadi sertifikat, apakah hak bangunan atau apalah. Itu selama 20 tahun, berakhir di tahun 1980. Kenapa tidak didaftarkan sampai tahun 1980? Ada apa?” paparnya.

Tak hanya itu, Forum Warga Manggala Bersatu menuding ada indikasi permainan mafia tanah dan dugaan pemalsuan dokumen. Menurutnya, hal itu sudah terlihat sejak awal sengketa bergulir.

“Tentu kita sangat merasakan adanya itu (mafia tanah dan pemalsuan dokumen). Kenapa? Itu sudah jelas bahwa dokumen yang dia miliki itu tidak benar. Maksudnya surat-surat pendaftaran tanah yang dikeluarkan BPN, apa segala, karena kita melihat langsung saja sudah kelihatan salahnya. Kopnya beda, stempel beda, penomoran beda. Yang bisa mengatakan itu anu, kan, cuma polisi. Makanya itu dilaporkan,” bebernya.

Sadaruddin juga mengklaim adanya intimidasi yang dialami beberapa lembaga pendidikan di lokasi itu. Selain itu, dia menyebut pihak penggugat berencana menurunkan aparat untuk mengeksekusi lahan usai Lebaran Idul Adha 1446 H/2025 M.

“Kalau dari pihak kami belum, tapi STIBA sudah, dimintai Rp 1,3 miliar. Terus ada pesantren juga, informasi yang kami dapat, sudah bayar Rp 300 juta. Setelah Lebaran mereka akan ini, turunkan tentara,” ungkapnya.

Sadaruddin menyebut bahwa setelah Magdalena menang di Pengadilan Tinggi, Pemprov Sulsel telah menempuh kasasi di Mahkamah Agung (MA) dan jalur hukum pidana. Adapun Pemkot Makassar juga dikabarkan akan melapor ke Komisi Yudisial (KY) terkait putusan Pengadilan Tinggi.

“Harapan kami tentu kami harus menang secara inkrah di MahkamahAgung,” harapnya.