Abdi Dalem Keraton Jogja akan menggelar prosesi Mubeng Benteng menyambut 1 Suro atau tahun baru dalam penanggalan Jawa. Tahun ini, penanggalan Jawa memasuki tahun Dal.
Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punakawan Datu Dana Suyasa Keraton Jogja, Bimo Unggul Yudo, mengatakan, tahun Dal adalah siklus 8 tahunan atau satu windu. Pada penanggalan Jawa, 1 Suro selalu jatuh pada Jumat Kliwon.
“Jika memasuki 1 Sura tahun Dal, itu mesti bertepatan di Jumat Kliwon, karena itu sudah kayak siklus di kapan saja. Kapan saja kalau tahun dal, 1 Suranya mesti Jumat Kliwon,” jelas Bimo seperti dilansir infoJogja, Kamis (26/6/2025).
“Jadi, dalam penanggalan Jawa itu sudah ada siklus, umpamanya tiap tahun itu ada namanya sendiri, masing-masing tahun, sampai genap 8 tahun, yang dimaksud yaitu satu windu. Nah, tahun Dal, besok itu, merupakan penanda pengulangan siklus berikutnya,” sambungnya.
Lantas, apa keistimewaan malam 1 Suro Jumat Kliwon Tahun Dal bagi Keraton Jogja?
Bimo yang bergelar KMT Yudawijaya, mengatakan, prosesi Mubeng Beteng dalam memperingati malam 1 Suro sejatinya sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Kendati demikian, setiap Hajad Dalem Keraton di tahun Dal memiliki prosesi yang berbeda.
“(Tahun Dal) Memang diistimewakan karena dimaknai sebagai penanda pengulangan siklus dari 1 windu itu, dari Wawu, Alip, dan seterusnya,” ujar Bimo.
“Yang saya pahami untuk nanti malam, akan berlangsung prosesi Mubeng Beteng itu, mungkin tetap sama dibanding tahun-tahun yang lain, kecuali ada mungkin penambahan prosesi, yang saya sebetulnya saya kurang memahami,” lanjutnya.
Bimo juga memaparkan keistimewaan Hajad Dalem di tahun Dal, terdapat penambahan prosesi-prosesi. Ia mencontohkan dengan Hajad Dalem Garebeg Maulud memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW.
Pada prosesi Garebeg Maulud di tahun Dal, biasanya ditandai oleh keluarnya beberapa jenis pareden atau gunungan. Sementara pada tahun Dal, ada penambahan satu gunungan yang dikeluarkan.
“Ada gunungan Bromo atau gunungan yang mengeluarkan asap di puncaknya itu. Itu salah satu penanda, itu yang bisa dilihat oleh masyarakat umum,” jelasnya.
Sementara, untuk prosesi-prosesi di dalam Keraton Jogja yang berlangsung untuk kalangan terbatas, Bimo mengungkapkan terdapat prosesi khusus, yakni prosesi Bethak. Prosesi Bethak ini dilakukan oleh Raja Keraton Jogja Sri Sultan Hamengku Buwono X.
“Itu Ngarsa Dalem (Sultan) didampingi Pramiswari Dalem, itu menanak nasi dengan periuk atau kendil pusaka, Nyai Merico namanya, itu salah satu penandanya. Nah, itu penanda keistimewaan tahun Dal dibanding tahun-tahun yang lain,” terangnya.
Selain prosesi-prosesi tersebut, Bimo menambahkan, ada satu prosesi lain di tahun Dal. Yaitu puncak acara Pengetan Jumenengan Dalem atau puncak peringatan kenaikan takhta dari raja-raja yang bertakhta di Kasultanan Jogja yang ditandai prosesi Hajad Dalem Labuhan.
Sebagai informasi, Labuhan merupakan prosesi membawa uba rampe yang sudah disiapkan dari Keraton Jogja menuju beberapa petilasan.
“Kalau prosesi-prosesi tahun-tahun di luar tahun Dal, itu namanya Labuan Patuh atau Labuan Alit, tapi pada waktu tahun Dal, itu disebut sebagai Labuan Ageng,” ungkap Bimo.
“Di mana petilasan yang dikunjungi bukan hanya (gunung) Merapi, (pantai) Parang Kusumo, dan Gunung Lawu, tapi ada satu petilasan lagi yang dikunjungi, yaitu petilasan Dlepih yang berada di Jawa Tengah, tepatnya di Kabupaten Wonogiri,” jelasnya.
Selain di tahun Dal, menurut Bimo, penambahan kunjungan petilasan Dlepih saat Labuhan juga dilakukan di tahun Wawu. Alasannya, karena Sultan HB X diangkat takhta menjadi raja Keraton di tahun wawu.
“Pada tahun Wawu ini, meskipun bukan tahun Dal, Labuhan yang dilaksanakan ke petilasan Dlepih termasuk Labuan Ageng, karena Ngarsa Dalem yang sekarang Jumeneng, itu bertakhta pada tahun Wawu, pada masa itu,” pungkasnya.