Kepala BKKBN: Anak Ngobrol ke Ortu Rata-rata Cuma 15 Menit Sehari gegara HP

Posted on

Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN, Wihaji, mengungkap hasil survei yang menunjukkan rata-rata anak di Indonesia bermain handphone (HP) selama 8,5 jam dalam sehari. Sementara, waktu mereka berbicara dengan orang tua rata-rata hanya 15 menit sehari.

“Anak sekarang menurut survei, 8,5 jam per hari anak pegang HP. Ngobrol sama bapak ibu kira-kira berapa? Hanya 15 menit per hari,” kata Wihaji dalam peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-32 Tingkat Provinsi Sulsel di Lapangan Karebosi, Makassar, Minggu (27/7/2025).

Ia pun menyampaikan kekhawatirannya dengan gaya hidup digital saat ini. Sebab, handphone menjadi pusat aktivitas anak sejak bangun tidur hingga menjelang tidur malam. Bahkan, menurutnya, HP kini hadir di semua aktivitas, termasuk saat hendak salat atau makan.

“Kenapa 8,5 jam? Karena bangun tidur pegang handphone, mau tidur pakai handphone, mau salat pakai handphone, habis salat pakai handphone, mau sekolah pegang handphone. Semua yang mestinya diobrolkan sama orang tua, sekarang jangan salahkan kalau hari ini orang tuanya anak-anak bukan kita. Tapi HP,” ujar dia.

Menurutnya, perlu kehati-hatian dalam penggunaan ponsel bagi anak. Handphone mesti dijadikan sebagai alat yang memberikan manfaat bagi anak, bukan justru sebaliknya.

“Wihaji tidak anti handphone, Wihaji sangat-sangat menggunakan handphone, tetapi kalau nggak hati-hati, sehingga mohon maaf kalau kita enggak ajak ngobrol sama anak-anak kita, orang tua mereka bukan kita. Ya orang tua mereka adalah handphone, curhatnya ke handphone,” ujar Wihaji.

Wihaji menambahkan, survei UNICEF menunjukkan 20,9 persen anak-anak Indonesia kehilangan ayah, bukan karena ketiadaan fisik. Tapi, kata dia, karena hilangnya komunikasi dan kebersamaan dalam keluarga.

“Misalnya ada keluarga lima orang, anaknya tiga, orang tuanya dua. Tapi di situ ada sepuluh keluarga. Karena bapaknya pegang HP, ibunya pegang HP, anaknya semuanya pegang HP. Ketemu bareng tapi tidak ngobrol bersama keluarga. Yang terjadi ngobrol bersama handphone masing-masing,” bebernya.

Wihaji mengajak seluruh keluarga untuk berefleksi. Ia menilai fenomena ini tak hanya terjadi di kota besar, tapi sudah menjadi kebiasaan nasional. Bahkan ia menyindir, kalau di Indonesia, anak lahir sudah diazani pakai handphone.

“Bukan penting atau tidak penting, tapi hati-hati, di negara-negara maju diatur seperti di Australia diatur, di Amerika diatur, di Jepang diatur. Kalau di Indonesia lahir sudah diazani pakai handphone,” sebut Wihaji, sambil tersenyum.

Menurutnya, perlu kehati-hatian dalam penggunaan ponsel bagi anak. Handphone mesti dijadikan sebagai alat yang memberikan manfaat bagi anak, bukan justru sebaliknya.

“Wihaji tidak anti handphone, Wihaji sangat-sangat menggunakan handphone, tetapi kalau nggak hati-hati, sehingga mohon maaf kalau kita enggak ajak ngobrol sama anak-anak kita, orang tua mereka bukan kita. Ya orang tua mereka adalah handphone, curhatnya ke handphone,” ujar Wihaji.

Wihaji menambahkan, survei UNICEF menunjukkan 20,9 persen anak-anak Indonesia kehilangan ayah, bukan karena ketiadaan fisik. Tapi, kata dia, karena hilangnya komunikasi dan kebersamaan dalam keluarga.

“Misalnya ada keluarga lima orang, anaknya tiga, orang tuanya dua. Tapi di situ ada sepuluh keluarga. Karena bapaknya pegang HP, ibunya pegang HP, anaknya semuanya pegang HP. Ketemu bareng tapi tidak ngobrol bersama keluarga. Yang terjadi ngobrol bersama handphone masing-masing,” bebernya.

Wihaji mengajak seluruh keluarga untuk berefleksi. Ia menilai fenomena ini tak hanya terjadi di kota besar, tapi sudah menjadi kebiasaan nasional. Bahkan ia menyindir, kalau di Indonesia, anak lahir sudah diazani pakai handphone.

“Bukan penting atau tidak penting, tapi hati-hati, di negara-negara maju diatur seperti di Australia diatur, di Amerika diatur, di Jepang diatur. Kalau di Indonesia lahir sudah diazani pakai handphone,” sebut Wihaji, sambil tersenyum.