Lurah Maricaya Baru, Budianto mengaku tidak bisa menyalahkan stafnya yang menolak perwakilan keluarga dari nenek Wahbah (85) untuk mengambil bantuan beras di kantornya di , Sulawesi Selatan (Sulsel). Penolakan itu sebelumnya membuat Wahbah yang dalam kondisi sakit terpaksa digotong kerabat dan tetangganya untuk mengambil bantuan sosial (bansos) itu.
“Kalau sanksi tidak lah, staf ku juga tidak bisa saya salahkan karena dia berpedoman di juknis, aturan-aturan yang dia pegang,” ungkap Budianto kepada infoSulsel, Kamis (18/12/2025).
Namun Budianto berdalih sudah memberikan pembinaan kepada stafnya agar lebih persuasif dalam melayani warga. Dia meminta stafnya mendahulukan kepentingan kemanusiaan dibanding urusan administrasi.
“Saya sebagai lurah kalau warga miskin dan betul-betul membutuhkan dan ada haknya saya bilang kasih saja. Saya bilang sama staf ku kalau urusan administrasi nanti saya yang bertanggung jawab terkait pembagian pangan ini,” tuturnya.
Menurut Budianto, persoalan tersebut hanya sebatas miskomunikasi antara perwakilan keluarga Wahbah dan stafnya. Perwakilan nenek Wahbah yang datang awalnya diverifikasi oleh stafnya di kantor pada Selasa (16/12).
Namun dari hasil pengecekan, nama perwakilan keluarga tersebut tidak ada dalam kartu keluarga (KK) milik Wahbah. Atas dasar itulah stafnya menolak memberikan bantuan beras kepada perwakilan Wahbah sebagaimana dalam petunjuk teknis (juknis) pemberian bansos.
“Saya sebagai lurah klarifikasi bahwa itu murni miskomunikasi saja. Kesalahpahaman antara pihak penerima bantuan dan staf di sini. Miskomunikasinya itu, yang datang ke sini bukan yang ada dalam KK. Di juknis itu tidak bisa diwakili sama orang yang tidak ada dalam KK,”
Tak berselang lama setelah ditolak, menantu Wahbah bernama Emmi (65) datang protes di kantor Kelurahan Maricaya Baru, Jalan Kijang. Budianto kemudian memutuskan untuk membawakan bantuan beras tersebut.
“Saya sebagai lurah karena ini urusan kemanusiaan orang sakit. Saya ambil inisiatif bawakan saja ini berasnya,” katanya.
Bantuan sembako tersebut yakni 2 karung beras atau 20 kilogram dan 4 liter minyak goreng. Saat akan dibawakan ke kediaman warga tersebut, nenek Wahbah ternyata sudah terlanjur sampai di kantornya.
“Bantuannya berupa beras 2 karung (20 kg) minyak 4 liter, jadi kemarin itu kita rencana mau bawakan tapi keburu dia sudah datang naik bentor nenek yang sakit,” jelasnya.
Saat mendapat protes dari Emmi, Budianto mengaku sempat menenangkannya. Namun penjelasannya tidak didengarkan, bahkan diancam akan diviralkan.
“Rencana juga saya mau ikuti (antarkan langsung) itu beras saat itu ke rumah nenek itu tapi karena namanya masih emosi Ibu ini (menantunya), tapi dia menampik (tolak diantarkan), dia bilang tidak usah, saya ini mau viral kan kelurahan ta,” katanya.
“Sebenarnya saya sudah tenangkan ini si Ibu tapi namanya mungkin karena emosi yah begitulah,” sambungnya.
Budianto juga mengaku stafnya berencana mengecek langsung nenek yang sakit tersebut. Namun tak dilakukan setelah Emmi terlanjur datang melakukan protes.
“Sebenarnya rencananya begitu (dibawakan langsung), cuma ini ibu keburu datang marah-marah dan menampik semua, katanya kalau ada yang datang (wakilkan) saya tidak mau, saya tidak mau terima. Mungkin emosionalnya membeludak,” jelasnya.
Sebelumnya diberitakan, keluarga nenek Wahbah yang digotong mengambil bantuan beras kecewa setelah bolak-balik ditolak mengambil bantuan beras di kantor Kelurahan Maricaya Baru. Pihak kelurahan menolak bantuan diwakilkan oleh keluarga penerima.
Peristiwa pilu itu terjadi di Kelurahan Maricaya Baru, Kecamatan Makassar, Selasa (16/12). Wahbah awalnya dilaporkan masuk dalam daftar penerima bantuan beras miskin (raskin) yang penyerahannya dilakukan di kantor Kelurahan Maricaya Baru.
“Tetangga sudah datang tidak dikasih, adik yang dipercayakan sudah bawa KTP. (Tetapi) dia (staf kelurahan) bilang harus yang bersangkutan,” ucap menantu Wahbah bernama Emmi kepada wartawan, Rabu (17/12).
Sementara itu, DPRD Makassar menyoroti fungsi pelayanan kantor kelurahan. Seharusnya staf Kelurahan Maricaya harus bergerak cepat membawakan bantuan ke rumah warga tersebut.
Ketua Komisi D DPRD Makassar Ari Ashari Ilham mengakui bantuan memang tidak bisa diterima perwakilan keluarga. Namun pada situasi tertentu hal tersebut bisa ditolerir dengan mempertimbangkan kondisi kesehatan warga.
“Aturannya kan tidak bisa diwakili, tetapi harusnya mereka sebagai pelayan masyarakat harusnya bisa turun langsung mengantarkan paket tersebut jika menemukan hal-hal seperti ini,” ucap Ari.
