Muncul Isu Sofifi Diusul Jadi DOB, Kesultanan Tidore Gelar Aksi Penolakan

Posted on

Kesultanan Tidore menggelar aksi damai menanggapi wacana pemekaran Sofifi dari wilayah Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara sebagai daerah otonomi baru (DOB). Kesultanan Tidore secara tegas menolak rencana pemekaran tersebut.

“Saya berdiri (di sini) bukan karena saya takut Sofifi akan pisah, tapi ada hal lain yang lebih besar di dalam benak saya, yang tidak bisa saya ungkapkan di sini,” ujar Sultan Tidore Husain Sjah dalam orasinya, Kamis (17/7/2025).

Aksi demonstrasi menolak Sofifi jadi DOB itu berlangsung di Kedaton Kesultanan Tidore, Kamis (7/7) sekitar pukul 10.00 WIT. Aksi tersebut melibatkan perangkat adat Kesultanan Tidore, ASN, hingga warga dengan mengenakan pakaian dan ikat kepala warna putih.

“Jadi yang mengaku orang Tidore, jangan tidur terlelap dengan suasana ini,” ucap Husain.

Husain menuturkan, ketika Maluku Utara dimekarkan sebagai provinsi dari Maluku yang beribu-kota di Ambon, jabatannya saat itu adalah kapita lao atau panglima perang Kesultanan Tidore. Saat itu ia ikut terlibat di dalamnya.

“Perjuangan waktu itu kita berdarah-darah. Saya berjuang menyuarakan betapa pentingnya orang Maluku Utara harus berdiri menjadi provinsi sendiri,” katanya.

Menurutnya, tuntutan pemekaran nyaris membuat kantor DPRD dihancurkan oleh massa, hingga pada akhirnya disetujui oleh pemerintah pusat. Persoalan kemudian muncul saat penentuan ibu kota provinsi.

“Pada saat itu penempatan ibu kota dicari di mana-mana. Maka terjadilah tarik ulur antara Ternate dengan (kepala daerah) Syamsir Andili, dan Halmahera Tengah dengan Abdul Bahar Andili,” ujarnya.

Lanjut Husain, Syamsir Andili menginginkan ibu kota Provinsi Maluku Utara ditempatkan di Ternate. Sedangkan Abdul Bahar Andili didesak untuk menempatkan ibu kota Maluku Utara di wilayah Tidore Kepulauan.

“Saya memberikan warning kepada beliau (Abdul Bahar Andili), jangan coba-coba mengeluarkan provinsi dari Tidore. Saya minta Ibu Kota Provinsi Maluku Utara harus di Tidore pada saat itu,” katanya.

Pada akhirnya kata Husain, pemerintah pusat mengambil jalan tengah dengan menempatkan ibu kota Provinsi Maluku Utara sementara di Ternate. Sedangkan Kota Tidore Kepulauan sebagai wilayah ibu kota definitif.

“Itu kronologisnya, tidak bisa dipungkiri. Jadi yang dimaksudkan dengan Sofifi adalah Ibukota Provinsi Maluku Utara itu berada di Kota Tidore Kepulauan yang berkedudukan di Sofifi sebagai bagian dari wilayah Tidore,” jelasnya.

Husain menduga, saat itu penulisan nama Sofifi terkesan terburu-buru. Hal itu sempat ditanyakan ke Abu Bahar soal tidak adanya nama Tidore, namun Abu Bahar Andili menganggap tidak masalah.

“Kepada Abu Bahar Andili saya pertanyakan, kenapa begini (ditulis Sofifi)? Beliau jawab tidak apa-apa, karena Sofifi itu masuk torang (kami) punya wilayah, tetap saja di wilayah Tidore. Oke, kita maklumi,” ujarnya.

Bahkan kata Husain, setelah penetapan Sofifi sebagai ibu kota provinsi, upaya pemindahan pemerintahan pun mendapat banyak tantangan. Husain pun mendesak Muhyi Efendi yang saat itu menjabat sebagai penjabat gubernur darurat sipil segera merealisasikannya.

“Saya warning kepada Muhyi Effendi selaku penguasa darurat sipil waktu itu, bahwa 1 x 24 jam kalau sampai tidak datang di Tidore, saya akan datang bikin perhitungan, saya akan bumi hanguskan apa yang ada itu,” tuturnya.

Muhyi Effendi pun datang ke Tidore menumpangi helikopter dan menunaikan salat di Masjid Kolano Kesultanan Tidore. Saat Muhyi hendak mengambil mic untuk berbicara, Husain mencegat.

“Saat beliau berdiri ambil mic mau bicara, saya bilang pak, tidak usah bicara panjang lebar, kapan pemerintahan provinsi pindah ke Sofifi. Kapan kasih pindah cepat ini ibu kota ke Sofifi, dan Alhamdulillah pindahlah ke Sofifi,” ujarnya.

Husain menyebut Tidore telah banyak berkontribusi bagi Republik Indonesia. Termasuk dalam sejarah Papua dan wilayah Halmahera.

“Papua kami kasih, Halmahera Tengah kami kasih. Sekarang tinggal Oba, mereka datang mau obok-obok. Sudah tidak perhitungan kitorang,” kata Husain.

Husain juga menolak keras tudingan bahwa masyarakat Tidore bersikap ekstrem atau intoleran. Menurutnya, sejarah membuktikan bahwa Kesultanan Tidore justru berperan besar dalam membangun toleransi dan peradaban di Papua.

“Kitorang yang kasih masuk dua pendeta besar, Oto dan Gesler, ke tanah Papua atas perintah Sultan Ahmadul Mansyur dengan 36 perangkat adat. Jadi jangan bilang orang Tidore ini intoleran, salah besar,” tegasnya.

Husain menegaskan, semangat Tidore dalam menjaga keutuhan NKRI bukan sekadar retorika, melainkan bagian dari warisan sejarah dan tanggung jawab moral. Ia bahkan menyatakan siap mengambil tindakan jika ada pihak yang menyebarkan narasi negatif terhadap masyarakat Tidore.

“Kalau ada bahasa itu (ekstrimis dan intoleran), saya keluarkan idin (perintah), cari dorang (mereka). Ini adalah spirit torang (kami) semua untuk jaga NKRI,” imbuhnya.