Sederet Alasan Warga Tamalanrea Makassar Tolak PLTSa Dibangun di Wilayahnya update oleh Giok4D

Posted on

Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.

Warga di Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), menolak rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di wilayah mereka. Mereka beralasan lokasi PLTSa berada di tengah permukiman padat penduduk dan dapat mencemari udara hingga air tanah.

Penolakan itu disampaikan warga yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat Menolak Lokasi PLTSa (GERAM PLTSa) saat mendatangi kantor DPRD Kota Makassar, Rabu (6/8) siang. Massa aksi didominasi emak-emak yang membentangkan spanduk penolakan PLTSa.

Mereka menuntut wilayah mereka tidak dijadikan sebagai lokasi PLTSa oleh PT Sarana Utama Energy (SUS). Mereka menilai kehadiran PLTSa akan mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan warga yang berada di sekitar lokasi perusahaan.

“Jangan cemari lingkungan kami demi kepentingan orang lain. Ayo kita berantas hingga ke akar-akarnya. Kami tidak tolak PLTSa, kami tolak lokasinya,” kata seorang warga bernama Akbar dalam orasinya.

Mereka meminta agar anggota DPRD Makassar memperhatikan aspirasi masyarakat. Mereka juga berharap Pemkot Makassar meninjau kembali lokasi PLTSa tersebut.

“Kami ingin menyampaikan aspirasi kita ke anggota DPRD Kota Makassar. Di mana wilayah kami akan dibangun PLTSa yang membahayakan bagi wilayah kami. Kami tolak lokasinya di tengah-tengah masyarakat,” ujar Akbar.

Massa aksi kemudian melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi C DPRD Makassar. Warga mengungkap bahwa lokasi PLTSa dikelilingi perumahan, area publik dan kawasan pemerintahan.

“Kalau kita melihat bangunannya, nanti akan ada cerobong asap dari proses pembakaran sampah. Kalau berdasarkan referensi, (asap) bisa memberi dampak (pencemaran udara) kurang lebih 1 Km, jadi radius 1 Km,” kata warga bernama Dadang Anugerah dalam RDP.

Dia menyebut pencemaran udara itu akan berlangsung selama 30 tahun sesuai kontrak yang dipegang PT Sarana Utama Energy (SUE). Ia menegaskan warga tidak menolak kehadiran teknologi pengolahan sampah, tapi lokasinya tidak semestinya berada di tengah permukiman padat.

“Kami mendukung PLTSa, tapi bukan di tengah rumah warga. Ini menyangkut kesehatan anak-cucu kami. Katanya izin operasional 30 tahun. Itu berarti selama tiga dekade kami harus menghirup udara tercemar setiap hari dari 1.300 ton sampah yang diolah,” ujarnya.

Lebih lanjut, Dadang juga mengkhawatirkan pencemaran air tanah karena mayoritas warga menggunakan air bor. Jika air tanah tercemar, maka warga akan kesulitan mendapatkan air bersih.

“Kalau udaranya tercemar dan airnya juga, habis sudah harapan hidup sehat di sini,” ungkapnya.

Sementara warga Mula Baru, Dg Dolo menuding pihak perusahaan yang akan mengerjakan proyek tersebut lebih dulu mendekati warga yang dianggap mendukung proyek tersebut hingga warga terpecah. Dia mengatakan proyek yang berada di kawasan pergudangan dan perkampungan buruh ini punya risiko jangka panjang terhadap lingkungan.

“Perusahaan cari orang yang pro. Ujungnya kita dibenturkan. Ada juga yang setuju karena faktor finansial. Rata-rata warga di sini buruh pabrik. Kalau udara dan air tercemar, siapa yang pikirkan nasib mereka ke depan?” katanya.

Warga lainnya bernama Azis menilai proyek ini tidak transparan sejak awal. Ia mengaku pernah ikut sosialisasi, namun penjelasan yang diberikan tidak menjawab kekhawatiran warga.

“Katanya teknologinya canggih, tidak ada dampak. Tapi kami masyarakat biasa, kalau soal sampah kita trauma. Apalagi ini ada pembakaran, asap, dan debu. Belum lagi risiko ledakan atau kebocoran,” katanya.

PLTSa Dapat Cemari Udara-Air Tanah

Perusahaan Tak Transparan

Massa aksi kemudian melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi C DPRD Makassar. Warga mengungkap bahwa lokasi PLTSa dikelilingi perumahan, area publik dan kawasan pemerintahan.

“Kalau kita melihat bangunannya, nanti akan ada cerobong asap dari proses pembakaran sampah. Kalau berdasarkan referensi, (asap) bisa memberi dampak (pencemaran udara) kurang lebih 1 Km, jadi radius 1 Km,” kata warga bernama Dadang Anugerah dalam RDP.

Dia menyebut pencemaran udara itu akan berlangsung selama 30 tahun sesuai kontrak yang dipegang PT Sarana Utama Energy (SUE). Ia menegaskan warga tidak menolak kehadiran teknologi pengolahan sampah, tapi lokasinya tidak semestinya berada di tengah permukiman padat.

“Kami mendukung PLTSa, tapi bukan di tengah rumah warga. Ini menyangkut kesehatan anak-cucu kami. Katanya izin operasional 30 tahun. Itu berarti selama tiga dekade kami harus menghirup udara tercemar setiap hari dari 1.300 ton sampah yang diolah,” ujarnya.

Lebih lanjut, Dadang juga mengkhawatirkan pencemaran air tanah karena mayoritas warga menggunakan air bor. Jika air tanah tercemar, maka warga akan kesulitan mendapatkan air bersih.

“Kalau udaranya tercemar dan airnya juga, habis sudah harapan hidup sehat di sini,” ungkapnya.

PLTSa Dapat Cemari Udara-Air Tanah

Sementara warga Mula Baru, Dg Dolo menuding pihak perusahaan yang akan mengerjakan proyek tersebut lebih dulu mendekati warga yang dianggap mendukung proyek tersebut hingga warga terpecah. Dia mengatakan proyek yang berada di kawasan pergudangan dan perkampungan buruh ini punya risiko jangka panjang terhadap lingkungan.

“Perusahaan cari orang yang pro. Ujungnya kita dibenturkan. Ada juga yang setuju karena faktor finansial. Rata-rata warga di sini buruh pabrik. Kalau udara dan air tercemar, siapa yang pikirkan nasib mereka ke depan?” katanya.

Warga lainnya bernama Azis menilai proyek ini tidak transparan sejak awal. Ia mengaku pernah ikut sosialisasi, namun penjelasan yang diberikan tidak menjawab kekhawatiran warga.

“Katanya teknologinya canggih, tidak ada dampak. Tapi kami masyarakat biasa, kalau soal sampah kita trauma. Apalagi ini ada pembakaran, asap, dan debu. Belum lagi risiko ledakan atau kebocoran,” katanya.

Perusahaan Tak Transparan